Perintah Berprasangka baik

Edisi 1943

  • Berprasangka baik termasuk ibadah, yaitu ibadah hati. (Al ‘Ubudiyyah, 1/130).
  • Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallammengingatkan supaya umatnya meninggal dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah. (H.R. Muslim  no. 2877).
  • Islam juga mengajarkan supaya seorang mukmin senantiasa berprasangka baik kepada sesama. (Q.S. Al Hujurat : 12).
  • Seorang hamba yang benar-benar mengimani sifat Allah yang Maha Penyayang, dia menyadari bahwa segala hal yang terjadi atas kehendak Allah. “Sungguh Allah lebih menyayangi hamba-hamba-Nya dari pada ibu ini menyayangi anaknya.” (H.R. Bukhari no. 5999).
  • Banyak contoh berprasangka baik yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul*

*selengkapnya dalam buletin

“Janganlah sampai salah seorang dari kalian meninggal dunia, kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.” (H.R. Muslim  no. 2877)

—-

Berprasangka baik adalah ibadah

Berprasangka baik termasuk ibadah hati. Sebagaimana ucapan mahsyur yang disampaikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu, “Ibadah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut semua yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) ataupun yang tampak (dzahir).” (Al ‘Ubudiyyah, 1/130).

Berprasangka baik termasuk ke dalam amalan hati yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Di antara tanda yang menunjukkan bahwa hal tersebut dicintai oleh Allah Ta’ala adalah perintah untuk melakukan amalan tersebut sebagaimana yang Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam sabdakan, “Janganlah sampai salah seorang dari kalian meninggal dunia, kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.” (H.R. Muslim  no. 2877).

Dalam hadits tersebut, Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan supaya umatnya meninggal dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala dan tidak berputus asa dari rahmat Nya. Hendaknya seorang mukmin berprasangka baik kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah banyak disebutkan dalam ayat Al Quran dan hadits Nabi tentang sifat Allah Ta’ala yang Maha Pemurah, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Berprasangka baik kepada Allah Ta’ala

Ada kalanya seseorang mengalami keadaan yang tidak menyenangkan, baik itu kesedihan, kekecewaan, kegagalan, keadaan terhimpit, keinginan yang belum terwujud, kesulitan ekonomi dan kesusahan lainnya. Pada kondisi tersebut terkadang muncul di dalam hati prasangka-prasangka buruk kepada Allah Ta’ala. Namun yang perlu selalu diingat oleh seorang hamba adalah tentang sifat Allah Ta’ala yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Telah dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu;

Ada serombongan tawanan perang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Di saat dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, dia mendekap dan menyusuinya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?”
Kami menjawab, “Tentu tidak, bagaimana mungkin dia akan melemparkannya sementara dia mampu untuk menyelamatkannya”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Sungguh Allah lebih menyayangi hamba-hamba-Nya dari pada ibu ini menyayangi anaknya.” (H.R. Bukhari no. 5999).

Seorang hamba yang benar-benar mengimani sifat Allah Ta’ala yang Maha Penyayang, dia menyadari bahwa segala hal yang terjadi atas kehendak Allah Ta’ala. Bukan berarti jika dia ditimpa kejadian tidak menyenangkan itu tanda bahwa Allah Ta’ala tidak menyayangi hamba Nya. Allah Ta’ala Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba Nya sebagaimana firmannya, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;  Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Q.S. Al Baqarah: 216).

Selain dalam keadaan sedang ditimpa musibah atau keadaan kurang menyenangkan, seorang hamba juga diperintahkan untuk berprasangka baik kepada Allah Ta’ala di saat hamba tersebut melakukan dosa. Apabila seorang hamba melakukan dosa, hendaknya ia segera bertaubat kepada Allah Ta’ala dan berprasangka baik bahwa Allah Ta’ala akan mengampuni kesalahan yang telah dilakukannya. Seorang hamba tidak putus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya dan menerima zakat(nya), dan bahwa Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang?” (Q.S. At Taubah: 104).

Berprasangka baik kepada sesama

Selain berprasangka baik kepada Allah Ta’ala, Islam mengajarkan supaya seorang mukmin senantiasa berprasangka baik kepada mukmin lainnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka buruk, karena sebagian dari berprasangka buruk itu dosa” (Q.S. Al Hujurat : 12).

Allah Ta’ala melarang banyak prasangka buruk seperti kecurigaan yang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi maupun apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh seorang mukmin. Terlebih lagi, Allah Ta’ala melarang prasangka buruk yang diikuti dengan perkataan dan perbuatan terlarang semisal mengghibahi atau semisalnya. Seringkali prasangka buruk tak hanya berhenti di hati, akan tetapi biasanya akan melahirkan ucapan dan perbuatan yang seharusnya tidak diucapkan dan tidak dilakukan.  Prasangka buruk memicu pemikiran buruk kepada sesama muslim, menimbulkan kebencian dan permusuhan, padahal hal-hal tersebut adalah perkara yang dilarang dalam Islam. (Tafsir As Sa’di, 801).

Seorang mukmin hendaknya memberikan banyak pemakluman kepada sesama mukmin. Hukum asal bagi seorang mukmin adalah haram berprasangka buruk kepada sesama mukmin yang tidak dikenal dengan kemaksiatan dan kefasikannya. Di zaman dengan canggihnya media sosial saat ini, besar peluang keadaan untuk mendorong seseorang  berprasangka buruk kepada sesama karena mudahnya informasi tersebar, baik itu fakta atau hoax. Di lain sisi, namanya manusia tentu ada salah dan kurangnya, dan seringkali kesalahan dan kekurangan itu terjadi karena kelalaiannya, bukan semata berniat berbuat dosa. Oleh karena itu, seorang mkmin hendaknya mengedepankan prasangka baik kepada sesama.

Umar bin Khattab Radhiyallahu’anhu berkata, “Tidak halal bagi seorang muslim ketika mendengar perkataan saudaranya lalu dia berprasangka buruk, padahal dia menemukan kemungkinan yang baik dari perkataan tersebut.” (Kitabul Jami’ fis sunan wal adab wal maghazi wat tarikh, 180).

 

Di antara teladan para Nabi dalam berprasangka baik
Banyak contoh berprasangka baik yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Kita ambil satu contoh, Nabi Zakariya ‘alaihissalam. Dikisahkan dalam berbagai ayat tentang doa beliau kepada Allah Ta’ala untuk diberikan keturunan. Padahal usia beliau ‘alaihissalaam sudah tua dan istrinya juga mandul. Namun beliau ‘alaihissalam tidak berputus asa dalam berdoa dan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, Dia (Nabi Zakariya ‘alaihissalam) berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku (yang mewarisiku) sepeninggalku, sedangkan isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang putera dari sisi-Mu, yang akan mewarisiku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, seorang yang diridhai, Ya Rabbku” (Q.S. Maryam: 4-6).

Di antara sikap berprasangka baik lainnya adalah teladan Nabi Muhammad Shalallaahu ‘alaihi wa sallam saat terjadi fitnah kepada ibunda ‘Aisyah  Radhiyallaahu ‘anha. Meskipun kabar (tuduhan) bahwa ibunda ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anha berzina saat itu sudah menyebar luas dan sebagian orang percaya dengan kabar tersebut, beliau Shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan prasangka baik, bukan perasaan tidak suka atau lainnya. Beliau bersabda, “…Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang keluargaku kecuali kebaikan. Dan mereka juga menuduh seorang laki-laki yang sepanjang pengetahuanku adalah orang baik-baik, ia tidaklah datang menemui keluargaku kecuali bersamaku…..” (Lihat H.R. Bukhari no. 2661 dan H.R. Muslim no. 2770).

Berprasangka baik adalah sikap yang seyogyanya dikedepankan seorang mukmin, baik prasangka baik kepada Allah Ta’ala maupun kepada sesama mukmin. Selain karena itu adalah perintah Allah Ta’ala, dengan berprasangka baik akan memudahkan hati menjadi lebih tenang. Semoga kita diberikan kemudahan oleh Allah Ta’ala untuk senantiasa berprasangka baik…

Ditulis : Pridiyanto, S.Farm., Apt. (Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)

Dimurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *