Hak dan Kewajiban Dalam Bekerja

Edisi 2038

  • Konsep pekerjaan dalam Islam, disebut sebagai Ijarah dalam ilmu fikih
  • Ijarah adalah akad antara pemberi upah dan pekerja yang diberi upah untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan imbalan upah yang diambil secara berkala
  • Kewajiban pemberi upah: memperlakukan pekerja dengan baik, tidak menunda pembayaran upah, dan tidak mengurangi upah tanpa alasan yang jelas
  • kewajiban pekerja:berterima kasih kepada pemberi upah, menunaikan pekerjaan dengan profesional, dan menjaga amanah dalam bekerja
  • Pentingnya takwa dan menjalankan kewajiban masing-masing bagi pemberi dan penerima upah agar selamat di hari kiamat

Islam adalah agama yang komprehensif. Tidak ada aspek kehidupan kecuali Islam memiliki aturan yang mengaturnya. Akan tetapi ini bukan berarti Islam adalah agama yang sulit, bahkan ini adalah bukti bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Ia adalah petunjuk dari Allah bagi manusia untuk menggapai kehidupan yang sempurna.

Salah satu aspek kehidupan tersebut adalah pekerjaan. Dunia pekerjaan adalah salah satu pembahasan dalam ilmu fikih yang disebut Ijarah. Ijarah secara istilah adalah akad yang terjadi antara pemberi upah dan pekerja yang diberi upah yang diambil berkala pada waktu yang telah ditentukan dengan timbal balik berupa manfaat yang mubah.  (Al-Mausū‘ah al-Fiqhiyyah dorar.net/feqhia/7942)

Dalam akad ijarah ada dua pihak yang terlibat, yaitu pemberi upah dan penerima upah. Pemberi upah memberi upah karena ia ingin agar pekerjaannya selesai, sedangkan penerima upah atau pekerja bekerja karena ia membutuhkan uang.

Hubungan keduanya sangat dibutuhkan bagi kemajuan masyarakat. Sebab tidak semua orang dapat memenuhi kebutuhannya masing-masing, sehingga satu sama lain bekerja sama untuk mempermudah jalannya kehidupan. Misalnya, dalam pembuatan kereta api, tidak mungkin dikerjakan oleh satu orang, akan tetapi dikerjakan oleh para pekerja yang diberi upah oleh pemilik modal, baik pemilik modal berasal dari individu atau dari negara. Allah Ta’ala  berfirman,

نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍۢ دَرَجَـٰتٍۢ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًۭا سُخْرِيًّۭا ۗ

“Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami tinggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, sehingga sebagian mereka dapat memperkerjakan sebagian yang lain.” (Q.S. Az-Zukhruf: 32)

Akan tetapi, sebagaimana bentuk interaksi antar manusia lainnya, ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Berikut penjelasannya.

Kewajiban Pemberi Upah

  1. Memperlakukan Pekerja dengan Baik

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan untuk memperlakukan pekerja seperti saudara dan tidak membebaninya pekerjaan di luar kesanggupannya. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

إخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أيْدِيكُمْ، فمَن كانَ أخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ، فَلْيُطْعِمْهُ ممَّا يَأْكُلُ، ولْيُلْبِسْهُ ممَّا يَلْبَسُ، ولَا تُكَلِّفُوهُمْ ما يَغْلِبُهُمْ، فإنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فأعِينُوهُمْ

“Pelayan kalian adalah saudara kalian. Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaan kalian. Barang siapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya (dipekerjakan), maka berilah makanan seperti yang ia makan, berilah pakaian seperti yang ia pakai, dan jangan bebani mereka sesuatu yang tidak dapat mereka lakukan. Jika kalian membebani mereka suatu pekerjaan maka berilah bantuan mereka.” (HR. Al-Bukhari)

 

  1. Tidak Menunda Pembayaran Upah

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

أعطوا الأجيرَ أجرَهُ قبلَ أن يجفَّ عرقُهُ

“Berilah pekerja upahnya sebelum keringat mereka mengering.” (HR. Ibnu Majah no 2443, dinilai sahih oleh Al-Albani)

 

Al-Munawi menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan upah adalah balasan dari pekerjaan badannya. Manfaat dari pekerjaannya langsung terealisasi. Jika manfaat itu langsung terealisasi, maka ia pun layak langsung mendapat upah. Sebab pedagang apabila menyerahkan barang, ia langsung menerima uang saat barang diserahkan. Perintah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam agar memberi upah sebelum keringat kering adalah kiasan wajibnya bersegera memberi upah setelah pekerjaan selesai, meskipun ia tidak berkeringat atau keringatnya sudah mengering.” (Faiḍ al-Qadir, hlm. 562)

 

Jika menunda pembayaran upah saja dilarang, apalagi tidak memberi upah sama sekali. Ia akan menjadi berhadapan langsung dengan Allah pada hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

“Allah Ta ‘ala berfirman, ‘Tiga golongan yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah dengan Nama-Ku lalu melanggarnya, seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan seseorang yang memperkerjakan orang lain, kemudian orang tersebut memenuhi pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikannya upah’” (HR. Al-Bukhari)

 

  1. Tidak Menzalimi Pekerja dengan Memotong Upahnya

Jika pekerja memenuhi pekerjaannya sesuai dengan kesepakatan, maka pemberi upah wajib memberi upah tanpa pengurangan, kecuali jika pekerja melanggar perjanjian-perjanjian yang telah disepakati. Sebagaimana  Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

“Barang siapa yang mengambil sebagian hak seorang muslim dengan sumpahnya, Allah masukkan ia ke neraka dan melarangnya masuk surga. Seseorang bertanya kepada Rasulullah: ‘Walaupun hanya sebagian kecil, wahai Rasulullah?’. Walaupun hanya sebatang siwak.” (HR. Muslim)

 

Adapun bagi orang yang menerima upah atau pekerja, maka dia juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi:

Kewajiban Penerima Upah

  1. Berterima kasih kepada Pemberi Upah

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan pemberi upah untuk berbuat baik kepada penerima upah, maka penerima upah juga diperintahkan untuk berterimakasih kepada pemberi upah. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

لا يَشْكرُ اللهَ مَنْ لا يشكرُ الناس

“Orang yang tidak berterimakasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Abu Daud no.4811, dinilai sahih oleh Al-Albāni)

 

  1. Menunaikan pekerjaan dengan profesional

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

إن الله يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه

“Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang dari kalian jika melakukan suatu pekerjaan, ia kerjakan dengan sempurna.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath 1/275, dinilai hasan oleh Al-Albani)

 

  1. Amanah dalam Bekerja

Seorang pegawai yang ideal adalah pegawai yang amanah. Orang yang diamanahi suatu pekerjaan maka bertanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut. Apabila bentuk amanahnya berupa menjaga harta semacam menjaga suatu usaha, maka:

  1. Ia tidak boleh mengambil atau mempergunakan barang, kecuali jika sebelumnya sudah ada akad yang mengizinkan dengan pemberi amanah.
  2. Mengganti barang jika hilang atau rusak karena kesengajaan atau keteledoran pegawai. Adapun jika barang hilang atau rusak karena sebab yang berada di luar kontrol pegawai, maka hukumnya dikembalikan menurut akad perjanjian, apabila tidak diwajibkan mengganti, maka ia tidak perlu mengganti, jika tetap diwajibkan mengganti maka dia wajib mengganti.
  3. Mengurangi takaran agar dapat dikorupsi, seperti mengurangi pengaturan timbangan. Hal ini sangat jelas merupakan tindakan kezaliman yang Allah Ta’ala ancam dalam surah al-Muthaffifin,

وَيْلٌۭ لِّلْمُطَفِّفِينَ (١) ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكْتَالُوا۟ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣)

“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!  (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan,   dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin: 1-3)

Adapun untuk hak-hak masing-masing pihak, maka terdapat pada kewajiban pihak lainnya. Hak-hak penerima upah adalah kewajiban-kewajiban pemberi upah, sedangkan hak-hak pemberi upah adalah kewajiban-kewajiban penerima upah.

Kesimpulan

Bagi pemberi dan penerima upah hendaknya agar bertakwa kepada Allah, takut dan merasa diawasi dalam pekerjaannya dengan menjalankan kewajibannya masing-masing, sehingga ia bisa selamat ketika ditanya Allah Ta’ala tentang perolehan hartanya pada hari kiamat nanti. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

لا تزول قدما عبدٍ حتى يُسألَ عن عمُرهِ فيما أفناهُ، وعن علمِه فيما فعل، وعن مالِه من أين اكتسَبه وفيما أنفقَه، وعن جسمِه فيما أبلاهُ

“Kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya dalam hal apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan.” (HR. Tirmizi no.2417, dinilai sahih oleh Al-Albani)

 

Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho (Alumni Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)

Murajaah: Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *