Thaharah, Hadas, dan Najis

Edisi 2025

<>

  • Thaharah: menghilangkan Hadasdan najis atau semacamnya dengan cara tertentu
  • Hadas: keadaan yang membuat tak suci sehingga menghalangi dari ibadah shalat atau semacamnya
  • Najis: sesuatu yang kotor yang menghalangi seseorang dari ibadah shalat atau semisalnya. Tidak semua yang kotor adalah najis
  • Hadasbesar disebabkan oleh junub, haidh atau nifas, serta dihilangkan dengan mandi besar
  • Hadaskecil dihilangkan dengan wudhu. Penyebabnya adalah keluarnya sesuatu dari dubur maupun qubul (kecuali mani), tidur dalam keadaan tak tetap, hilang akal, menyentuh wanita bukan mahramnya, atau menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.
  • Jenis najis secara zatnya: ‘aini (zatnya memang najis) dan hukmi (asalnya suci namun terkena najis)
  • Jenis najis menurut cara membersihkannya:
    • Berat/mughallazhah(dicuci 7x, yang pertama dengan tanah), misal air liur anjing
    • Sedang/mutawasithah(dihilangkan zat, rasa, warna, dan baunya), misal kencing, madzi, wadi, tinja
    • Ringan/mukhaffafah(cukup diperciki air), misal air kencing bayi laki-laki yang belum makan selain ASI

<>

Bismillah, segala puji milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah untuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Islam adalah agama yang syariat dan ajarannya menyeluruh hingga ke hal terkecil, termasuk dalam hal kesucian untuk menunaikan suatu ibadah (thaharah).

Pentingnya thaharah

Thaharah atau bersuci merupakan salah satu aspek penting bagi seorang muslim. Sahnya shalat -yang merupakan tiang agama- dan banyak ibadah lainnya tergantung pada thaharah atau kesucian seorang muslim. Allah Ta’ala berfirman,

<{یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُوا۟ وُجُوهَكُمۡ وَأَیۡدِیَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَیۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبࣰا فَٱطَّهَّرُوا۟ۚ}>

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kalian junub maka mandilah” (Q.S. Al Maidah: 6).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

“Allah tidak akan menerima shalat seseorang jika ia dalam keadaan berhadas sampai ia berwudhu” (Muttafaq’ alaihi).

Definisi

Secara fiqih, thaharah berarti menghilangkan Hadas dan najis atau yang semacamnya dengan cara tertentu (Al Mughni dan Al Majmu’).

Hadas berarti keadaan tertentu yang membuat seseorang tidak suci/menghalanginya dari ibadah shalat atau yang semacamnya sampai ia bersuci (Asna Mathalib, Nihayatul Muhtaj).

Najis berarti sesuatu yang kotor yang menghalangi seseorang dari ibadah shalat atau semacamnya (Fathul Wahhab).

Bersih/suci dalam konteks fiqih lebih khusus maknanya dari bersih dalam makna umum. Seseorang bisa jadi dikatakan “bersih” ketika ia menghilangkan kotoran dari badannya, namun dia belum dapat dikatakan “suci” karena belum melakukannya dengan cara yang telah ditentukan.

Hadas berbeda dari najis. Hadas berkaitan dengan keadaan seseorang, adapun najis berkaitan dengan zat/objek tertentu. Tidak segala yang kotor adalah najis. Seperti air liur yang teranggap kotor namun tidak termasuk najis, karena shalat seseorang tetap sah walaupun terkena air liur.

Bersuci/thaharah harus mencakup hilangnya hadas dan najis bersamaan, dan tidak cukup jika hanya salah satu saja. Misalnya seseorang yang kencing harus membersihkan dirinya dari najis air kencing sekaligus berwudhu untuk menghilangkan hadas kecilnya.

Jenis-jenis Hadas dan najis

Para ulama membagi hadas menjadi 2:

  1. Hadas besar: Keadaan yang mewajibkan seseorang untuk bersuci dengan mandi besar. Ada 3 keadaan Hadas besar (Al Majmu’):
  2. Junub. Penyebabnya adalah karena keluarnya mani atau bersetubuh, sebagaimana diterangkan di Q.S. Al Maidah ayat 6 di atas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Jika seseorang telah berjimak, dan telah bersentuhan satu alat kelamin dengan yang lainnya, maka ia wajib untuk mandi” (Muttafaq ’alaihi).

Ummu Sulaim bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah seorang perempuan wajib untuk mandi jika dia bermimpi?” Maka dijawab, “Iya, jika ia mendapati air (mani)” (H.R. Bukhari).

  1. Haidh, yaitu darah yang keluar dari kelamin perempuan saat sehat dalam siklus tertentu (Al Minhaj Al Qawim). Perempuan yang haidh tidak diperbolehkan melaksanakan shalat, membacadan memegangQuran, berpuasa, masuk masjid, dan bersetubuh hingga selesai siklus haidhnya dan bersuci dengan mandi besar (Fathul Qarib). Allah Ta’ala berfirman,

<{فَٱعۡتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَاۤءَ فِی ٱلۡمَحِیضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ یَطۡهُرۡنَۖ}>

“Jauhilah para wanita (istri) pada waktu haidh; dan jangan kalian dekati mereka (jima’) sebelum mereka suci” (QS. Al baqarah: 222)

 

  1. Nifas, yaitu darah yang keluar ketika melahirkan. Seorang wanita yang nifas seperti wanita yang sedang haidh. Ia berHadas besar dan dilarang untuk melakukan hal-hal yang dilarang bagi yang sedang haidh, sampai ia bersuci dengan mandi besar (Al Majmu’).

Cara mandi besar adalah dengan berniat menghilangkan Hadas besar; lalu memastikan mencuci seluruh badan dengan air hingga ke seluruh kulit, lipatan, rambut, dan sela-selanya (Fathul Qarib).

 

  1. Hadas kecil: Keadaan yang menghalangi seseorang untuk shalat, thawaf, dan menyentuh mushaf hingga ia bersuci dengan wudhu (Al Majmu’, Nihayatul Muhtaj, Fathul Qarib). Ada 5 jenis Hadas kecil yang masyhur dalam madzhab Syafi’i:
  2. Keluar sesuatu dari dubur (jalur belakang) atau qubul (jalur depan), kecuali air mani (karena itu masuk ke Hadas besar). Ini berdasarkan Q.S. Al Maidah ayat 6 di atas yang menjelaskan tentang wudhu dan macam-macam Hadas. Kalimat “atau kalian kembali dari tempat buang air” berarti setelah buang hajat kecil atau besar.
  3. Tidur yang lelap, sehingga hilang seluruh kesadaran. Adapun jika masih setengah tidur, maka tidak membatalkan wudhu.

Terdapat hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertidur (dalam keadaan duduk), kemudian mereka shalat tanpa berwudhu (kembali)” (H.R. Muslim) (Sunan Kabir).

  1. Hilangnya akal yang disebabkan mabuk, sakit, gila, pingsan dan yang semacamnya. Ini berdasarkan Ijma’ (konsensus) para ulama (Al Mughni, Al Majmu’).
  2. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan dengan syahwat. “Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka ia berwudhu”(H.R. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).

 

Najis dikelompokkan sebagai berikut:

Secara zat:

  1. Najis ‘Aini: Benda yang najisnya ada pada zatnya sendiri, misalnya kencing, bangkai, darah, dan yang lainnya.
  2. Najis ‘Hukmi: Sesuatu yang asalnya suci, namun menjadi najis karena terkena najis (‘aini). Contohnya adalah pakaian yang asalnya adalah suci lalu terkena kencing sehingga najis.

Berdasarkan cara membersihkannya, beberapa ulama mengelompokkannya menjadi 3:

  1. Najis berat (mughallazhah): harus dibersihkan dengan mencucinya sebanyak 7 kali, dan pencucian pertama menggunakan tanah (berdasarkan hadits riwayat Muslim). Najis yang termasuk dalam kategori ini adalah air liur anjing. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa najis dari babi cukup dicuci sekali saja jika sifat-sifat najisnya sudah hilang (Syarh Shahih Muslim Imam Nawawi), walau sebagian lainnya mengkiyaskan babi dengan anjing (Al Majmu’) karena babi lebih pasti kenajisannya daripada anjing.
  2. Najis sedang (mutawassithah):harus dibersihkan sampai zatnya hilang beserta sifat-sifatnya (rasa, warna, dan baunya) (Fathul Qarib). Di antaranya:

– Segala sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur manusia, seperti: kencing, kotoran, air madzi (putih lengket, keluar karena syahwat namun tidak menyebabkan lemas. Biasanya keluar sebelum air mani), air wadi (putih keruh, biasanya keluar setelah kencing atau keletihan) dan yang lainnya. Beberapa pengecualian dari poin ini adalah air mani dan telur hewan (Al Majmu’).

– Muntah

– Darah, kecuali yang sedikit dan sulit untuk dihindari seperti darah yang keluar dari luka sayatan atau darah yang tersisa di daging yang telah dibersihkan, darah orang syahid, serta hati dan limpa.

– Mayat atau bangkai, termasuk anggota badan yang terlepas dari makhluk hidup. Kecuali mayat manusia serta bangkai ikan dan belalang.

– Khamar. Berdasarkan hadis terkait bejana-bejana ahlu kitab yang dipakai untuk memasak daging babi dan meminum khamar, “Jika kalian memilik (bejana) lainnya, maka makan dan minumlah dengannya (bejana lain itu). Adapun jika tidak, maka cucilah (bejana) tersebut dengan air, kemudian makan dan minumlah dengannya” (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

  1. Najis ringan (mukhaffafah): cukup dibersihkan dengan memercikkan air kepadanya, contohnya air kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan kecuali ASI dari ibunya (Al Majmu’, Raudlah Thalibin, Fathul Qarib). “Kencing dari bayi perempuan (dibersihkan dengan cara) dicuci, dan kencing bayi laki-laki (dibersihkan dengan cara) diperciki” (H.R. Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

 

Semoga kita semuanya termasuk orang-orang yang senantiasa menjaga kesucian lahir dan batin kita. Wabillahit taufiq.

Penulis : Naufal Fuady Lc. (Mahasiswa S-2 Universitas Islam Madinah)

Pemuroja’ah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *