Taubat dan Inabah : Cara Menghapus Dosa

Edisi 2024

<>

  • Semua orang pernah berbuat kesalahan dan dosa, yang terbaikadalah yang bertaubat
  • Taubat: menyesali dan meninggalkan dosa karena takut kepada Allah, menganggapnya buruk, bertekad tak mengulanginya, dan memperbaiki diri
  • Syarat taubatnasuha: berhenti dan menyesali kemaksiatannya dengan sungguh-sungguh, bertekad tak mengulanginya, dan bila berkaitan dengan orang lain, meminta kerelaan orang yg dizalimi
  • Selama nyawa belum sampai kerongkongan/matahari terbit dari barat, jika ikhlas bertaubat dan memenuhi syarat, Allah akan ampuni
  • Derajat inabah lebih tinggidari taubat, karena disertai peningkatan kualitas ibadah
  • Di antara yang mengharuskan taubat: meninggalkan perintah Allah, mengerjakan larangan-Nya, memilih amal yang kurang utama, lalai, berkeyakinan atau beramal yang disangka baik padahal bukan, ujub, dan betikan hati yang jika diucapkan/dikerjakan akan berdosa
  • Jangan meremehkandosa sekecil apa pun, jangan bangga atau menceritakannya.
  • Hindari dosa jariyahyang terus mengalir walau kita sudah wafat

<>

Kaum muslimin yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala, kita semua pasti pernah terjerumus ke dalam dosa, bahkan mungkin setiap hari kita bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Di antara kita ada yang bisa menjauhi dosa besar namun tidak bisa lepas dari dosa-dosa kecil. Sebagian kita yang lain masih banyak yang bergelimang dosa-dosa besar dan meninggalkan banyak kewajiban. Bahkan yang paling parah di antara kita ada banyak yang masih berkubang dengan kesyirikan, yang mana kesyirikan merupakan dosa terbesar dan paling dimurkai oleh Allah Ta’ala.

Namun, apapun keadaan kita saat ini, selama nyawa belum dicabut oleh Allah Ta’ala, maka pintu untuk kembali kepada-Nya masih terbuka untuk kita, tak terkecuali kepada orang-orang yang sampai mengatakan, “Semua dosa telah saya lakukan, diri saya penuh dengan noda hitam kelam kemaksiatan, apakah masih bisa diampuni?”.

Allah Ta’ala berfirman,

<{ قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ}>

Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Az-Zumar : 53).

Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap manusia banyak berbuat salah dan sebaik-baik orang yang banyak salah adalah mereka yang mau bertaubat.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad). Maka selagi masih ada kesempatan, hendaknya kita bersegera untuk bertaubat kepada-Nya.

Makna taubat

Secara syari’at, taubat bermakna meninggalkan dosa karena takut pada Allah Ta’ala, menganggapnya buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan memperbaiki apa yang mungkin bisa diperbaiki kembali dari amalnya (Lihat At-Taubatu Ilallah).

Bertaubat merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk sering dilakukan oleh seorang hamba, terlebih lagi jika terjerumus ke dalam dosa-dosa besar, di mana taubat nasuha dibutuhkan untuk menghapusnya.

Allah Ta’ala berfirman,

<{يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ}>

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha! Mudah-mudahan Rabb kalian akan menutupi kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…” (Q.S. at-Tahrim : 8).

Syarat taubat nasuha

Para ulama menjelaskan bahwa taubat itu wajib untuk seluruh dosa. Taubat memiliki beberapa syarat sah, di antaranya:

  1. Berhenti dari kemaksiatan yang dilakukan.
  2. Menyesali dengan sungguh sungguh maksiat yang pernah dilakukan.
  3. Berniat kuat untuk tidak mengulangi lagi dosa tersebut di masa yang akan datang.
  4. Jikadosanya berkaitan dengan hak sesama manusia, maka hendaknya dia berusaha untuk meminta kehalalannya. (Lihat Riyadush Shalihin, dalam bab taubat).

Selama matahari belum terbit dari barat dan nyawa belum sampai kerongkongan, jika dia ikhlas bertaubat nasuha dan memenuhi persyaratan di atas, segala dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala.

Makna inabah dan perbedaannya dengan taubat

Secara istilah, inabah artinya kembali dan bertaubat kepada Allah Ta’ala serta beristiqomah diatas ketaatan kepada-Nya. (Lihat Syarhu Tsalatsatil Ushul).

Allah Ta’ala berfirman,

<{وَأَنِيبُوٓا۟ إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا۟ لَهُۥ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ ٱلْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ}>

“Dan inabahlah (kembalilah) kalian kepada Tuhan kalian, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepada kalian kemudian kalian tidak dapat ditolong lagi.” (Q.S. Az-Zumar : 54).

Secara umum taubat dan inabah adalah sama-sama kembali kepada Allah Ta’ala, akan tetapi tingkatan inabah lebih tinggi daripada taubat, artinya jika seseorang itu bertaubat kemudian setelah bertaubat ibadahnya semakin bertambah dan istiqomah di dalam ketaatan, maka ia disebut sebagai orang yang muniib (melakukan inabah) kepada Allah Ta’ala (Lihat Hushuulul Ma’mul hal. 90).

Hal-hal yang mengharuskan bertaubat dan beristighfar

  • Meninggalkan perintah Allah Ta’ala, baik perintah wajib semisal shalat fardhu, puasa ramadhan, membayar zakat, dan sebagainya.

[2] Mengerjakan larangan Allah Ta’ala (baik yang haram maupun yang makruh), terlebih lagi jika larangan itu berupa dosa-dosa besar, seperti berzina, minum khamr, durhaka kepada orang tua, berjudi atau main slot, dan sejenisnya.

[3] Lalai dalam bertaubat dan menunda-nunda taubat, artinya bertaubat karena selama ini sering lalai bertaubat dari kesalahan.

[4] Keyakinan atau amalan yang disangka sebagai perbuatan baik, padahal tidak (semisal kesyirikan, perkara yang diada-adakan, atau maksiat yang dikira bukan maksiat).

[5] ‘Ujub (bangga diri), merasa telah melakukan perbuatan baik dan beranggapan bahwa hal itu dilakukan karena semata-mata kemampuannya sendiri, ia lupa bahwa Allah Ta’ala-lah yang memberikannya karunia sehingga bisa mengerjakan ketaatan.

[6] Tekat yang kuat di dalam hati yang bila diucapkan dan dikerjakan niscaya ia mendapat dosa dan siksa.

Oleh sebab itu, taubat adalah suatu sikap yang harus selalu menyertai hamba sejak lahir hingga akhir hayat, semua makhluk wajib bertaubat dan memelihara taubatnya (lihat At-Taubatu wal Istighfar).

Beberapa perkara penting terkait dosa

  1. Jangan pernah meremehkan dosa sekecil apapun,

Terlebih lagi sengaja melakukannya berulang-ulang, kemudian ia berangan-angan akan bertaubat setelahnya. Padahal bisa jadi Allah Ta’ala cabut nyawanya manakala sedang bermaksiat, Na’udzubillah.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang beriman melihat dosa-dosanya seperti ketika duduk di bawah gunung, dia takut kalau gunung tersebut jatuh menimpanya. Adapun orang yang fajir melihat dosa-dosanya hanya seperti melihat seekor lalat yang lewat (terbang) di depan hidungnya.” (H.R. Bukhari no. 6308).

  1. Jangan merasa bangga akan dosa, apalagi menceritakan dan menyebarkannya

Jika kita melakukan dosa, hendaknya kita tutupi dosa tersebut, bukan diceritakan kepada orang lain, apalagi dengan rasa bangga yang membuatnya menjadi sulit bertaubat.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Seluruh umatku akan dimaafkan, kecuali yang berbuat dosa secara terang-terangan. Sesungguhnya, yang termasuk dalam berbuat dosa secara terang-terangan adalah seseorang yang melakukan suatu dosa di malam hari, kemudian pada pagi harinya Allah tutupi dosa tersebut (dari orang lain). Orang tersebut kemudian berkata, ‘Wahai fulan, semalam aku berbuat (dosa) demikian dan demikian.’ Padahal sungguh di malam harinya, Rabb-nya telah menutupi dosa yang dia lakukan, namun di pagi harinya dia sendiri yang membuka tutup Allah tersebut.” (H.R. Bukhari no. 6069).

  1. Jangan melakukan dosa jariyah

Sebagaimana ada pahala jariyah yang terus mengalir meskipun pelakunya sudah meninggal dunia, demikian pula ada dosa jariyah yang terus mengalir kepada pelakunya meskipun ia telah meninggal dunia, dan ini sangat berbahaya.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Dan barangsiapa yang membuat contoh yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa, dan (ditambah dengan) dosa-dosa orang-orang yang (mengikuti) dan mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa orang yang mengamalkannya sedikitpun” (H.R. Muslim no. 1017).

Oleh karena itu jangan sampai kita mengajak orang lain untuk melakukan suatu dosa dan keburukan, atau memposting di media sosial perkara-perkara yang haram, menyebarkan konten yang mengandung dosa dan maksiat, mengupload foto dan video di media sosial yang mengandung keharaman, dan lain sebagainya, yang itu bisa menjadi dosa jariyah bagi kita meskipun kita sudah meninggal dunia.     

Wallahu A’lam bish shawab.

Penulis : Nizamul Adli Wibisono S.T.

Pemuroja’ah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *