Mengenal Thiyarah, Anggapan Sial ala Jahiliyah

Edisi 2015

  • Thiyarah(beranggapan sial) pada masa Jahiliyah sebelum kedatangan Rasulullah, mereka meyakini bahwa mengusir rusa atau burung sebelum berangkat berpergian bisa memprediksi keberuntungan atau kesialan
  • Rasulullah mengajarkan bahwa Thiyarahadalah bentuk kesyirikan karena berkeyakinan ada unsur selain Allah memiliki pengaruh pada nasib seseorang
  • Beranggapan sial dapat membahayakan keislamanseseorang
  • Kafarah(denda penebus dosa) bagi yang telah beranggapan sial adalah bertaubat serta berdoa sebagaimana doa yang diajarkan Nabi
  • Prinsip penting dalam pengambilan sebab, menekankan bahwa seseorang tidak boleh bersandarpada sebab yang tidak ditetapkan oleh syariat atau ilmiah.
  • Menyandarkan sepenuhnya pada sebab tanpa mengingat dan bertawakal kepada Allah bisa mengarah pada syirik, baik yang kecil maupun yang besar

“At thiyarah itu termasuk kesyirikan, at thiyarah itu termasuk kesyirikan” beliau ulangi sampai tiga kali.

(HR. Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad)

Dahulu masyarakat Arab jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, memiliki kebiasaan yang aneh sebelum mereka berangkat untuk safar. Mereka akan mengusir rusa atau burung yang mereka jumpai. Jika rusa atau burung itu pergi ke arah kanan, maka mereka akan menganggap bahwa hari-harinya penuh keberuntungan dan keberhasilan, sehingga mereka melanjutkan safarnya. Namun jika hewan itu perginya ke arah kiri, mereka akan menganggap hari-harinya dipenuhi kesialan dan mereka menunda atau membatalkan niat safarnya.

Saudaraku, demikianlah anggapan sial masyarakat jahiliyah. Karena kebiasaan mereka mencari peruntungan nasib dengan menghalau burung (at-thayr) maka kebiasaan mereka ini disebut dengan thiyarah atau tathayyur. 

Meskipun tathayyur ini awalnya terkait dengan anggapan sial karena melihat burung, namun ini berlaku umum kepada semua anggapan sial dengan hal-hal yang tidak berhubungan secara logis dengan keberuntungan. Seperti beranggapan sial karena melihat kucing hitam lewat, anggapan adanya hari-hari nahas (sial) yang terkait dengan hari dan weton tertentu, Jum’at kliwon, malam satu suro, Rebo wekasan, dan hari-hari lain yang dianggap sial.

Beranggapan Sial Termasuk Kesyirikan

Dari Abdullah Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ

“At thiyarah itu termasuk kesyirikan, at thiyarah itu termasuk kesyirikan” beliau ulangi sampai tiga kali. (HR. Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad)

Hadis yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa beranggapan sial termasuk kesyirikan. Hal ini karena adanya keyakinan bahwa ada entitas selain Allah yang mampu mendatangkan kemanfaatan atau menolak marabahaya, maka yang demikian inilah perbuatan menyekutukan Allah Ta’ala. Karena hanya Allah-lah Dzat yang mampu mendatangkan kemanfaatan dan menolak marabahaya.

Ibn ‘Utsaimin rahimahullah berkata bahwa jika seseorang beranggapan sial karena melihat atau mendengar sesuatu hal, maka dia tidak langsung divonis seorang musyrik yang keluar dari agama Islam. Melainkan ia telah melakukan perbuatan menyekutukan Allah karena bersandar pada suatu sebab yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai sebab yang syar’i. Inilah yang melemahkan kadar tawakkal seorang hamba kepada Allah.

Beranggapan Sial dapat Membahayakan Keislaman Seseorang

Dari Imran Ibn Hushain radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ، أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ، أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ 

“Bukan golongan kami orang yang bertathayyur atau meminta orang lain untuk melakukan tathayyur, orang yang melakukan praktek perdukunan atau meminta orang lain untuk berdukun, dan praktek sihir atau meminta orang lain untuk menyihir (HR. Al Bazzar, At Thabrani, dinilai shahih oleh Al Albani)

Adanya redaksi “bukan golongan kami” ini menunjukkan bahwa seorang muslim yang beranggapan sial dapat membahayakan kadar keIslaman dalam dirinya.

Beranggapan Sial adalah Termasuk Perbuatan Sihir

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

العيافة والطيرة والطرق من الجبت   

“Al ‘Iyafah, At Thiyarah, At Tharqu, adalah termasuk Al Jibt (yaitu sihir -pent)” (HR Ahmad, Abu Daud dengan sanad yang jayyid)

Hal ini dikarenakan pelaku anggapan sial dan penyihir sama-sama bersandar pada anggapan ghaib yang tidak jelas asal-usulnya untuk menebak sesuatu yang samar, yaitu masa depan.

Kafarah (denda penebus dosa) Beranggapan Sial

Bagaimana jika sudah telanjur beranggapan sial karena sesuatu hal atau hari tertentu? Maka solusinya adalah :

  1. Taubat nasuha dengan sebenar-benar taubat dan bertekad tidak mengulangi anggapan sial.
  2. Berdo’a. Rasulullah shallalllaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan beberapa do’a sebagai penebus jika beranggapan sial,

اللّهُمَّ لَا خَيرَ إِلَّا خَيرُكَ، وَلَا طَيرَ إِلَّا طَيرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيرُكَ

“Allahumma laa khaira illa khairuk, wa laa thayra illaa thayruk, wa laa ilaaha ghayruk”

“Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan yang Engkau tentukan, dan tiada kesialan kecuali kesialan dari-Mu, dan tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau” (HR. Ahmad dan At Thabrani, dinilai shahih oleh Ahmad Syakir)

اللّهُمَّ لَا يَأتِي بِالحَسَنَاتِ إِلَّا أَنتَ، وَلَا يَدفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا حَولَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بَكَ

“Allahumma laa ya’ti bil hasanaati illaa anta, wa laa yadfa’us sayyi’aati illaa anta, wa laa haula wa laa quwwata illaa bika”

“Ya Allah tidaklah datang suatu kebaikan kecuali dariMu, tidaklah tertolak suatu keburukan kecuali dariMu, tiada daya dan kekuatan kecuali dariMu” (HR. Abu Daud)

Kaidah Pengambilan Sebab

Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan suatu kaidah penting,

أن كل من اعتمد على سبب لم يجعله الشارع سببا لا بوحيه ولا بقدره فإنه مشرك

“Setiap orang yang bersandar kepada sebab, padahal syariat tidak menjadikannya sebagai sebuah sebab, tidak dengan wahyu maupun qadari (rasional) maka orang tersebut telah berbuat syirik.”

Terdapat beberapa poin dan contoh terkait hal ini :

  1. Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab, kecuali telah terbukti secara syar’i atau qadari (melalui penelitian ilmiah).

Contohnya, memakaikan gelang pada anak kecil yang baru lahir agar tidak diculik genderuwo, menaruh gunting, paku di sebelah pembaringan ibu yang baru melahirkan agar tidak didatangi kuntilanak. Sebab-sebab ini tidaklah terbukti secara syar’i, apalagi secara qadari. Terkadang ditemui sebab yang terbukti secara rasional, namun syari’at tidak membolehkannya. Contohnya telah terbukti baik secara empirik maupun riset, bahwa tokek dapat menyembuhkan penyakit asma. Namun, karena terdapat dalil yang melarang memakan tokek, maka berobat dengan tokek hukumnya adalah haram. Seseorang yang terjatuh pada contoh yang pertama, hukum asalnya adalah syirik ashghar. Sedangkan yang kedua, terjatuh pada kemaksiatan.

  1. Tidak bersandar 100% kepada sebab tersebut.

Yaitu percaya sepenuhnya dengan keampuhan dan kemanjuran suatu sebab, tanpa menyandarkannya pada Allah Ta’ala. Contoh, ketika seorang sedang belajar untuk ujian, ia ketiduran. Pagi harinya ia belum belajar apapun hingga panik. Maka dalam hal ini ia telah bersandar pada sebab belajar saja, padahal kesuksesan sebuah ujian tidaklah 100% berdasarkan sebab belajar semata. Ciri-ciri paling mudah untuk mengindikasikan seorang telah bersandar 100% pada sebab, ialah hatinya merasa tidak tenang jika sebab tersebut belum terpenuhi. Seorang yang belum belajar ujian tersebut, akan merasa panik setengah mati hingga mendapatkan kembali sebab yang belum ia peroleh tersebut. Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan seorang terjatuh dalam syirik ashghar (syirik kecil).

  1. Mengetahui bahwa keampuhan suatu sebab, adalah bergantung sepenuhnya dan tidaklah keluar dari izin Allah semata.

Oleh karenanya kita jumpai kasus dimana sebab bisa saja menjadi tidak berlaku. Sebagaimana api yang seharusnya menjadi sebab terbakarnya Nabi Ibrahim alaihissalam, menjadi sejuk dan dingin atas izin Allah. Jika seseorang mengabaikan poin ini dalam mengambil suatu sebab, terancam baginya untuk terjatuh dalam syirik akbar (syirik besar yang dapat mengeluarkan dari Islam), akibat melalaikan kekhususan Allah Ta’ala dalam hal rububiyyahNya.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk dapat mengenal dan menjauhi berbagai sarana menuju kesyirikan, baik kecil maupun yang besar. Aaamin ya Rabbal ‘aalamin.

Ditulis : Yhouga Pratama (Alumni Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)

Dimurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *