Ini Cara Menyederhanakan Hati,

Membahagiakan Hidup

Edisi 2028

<>

  • Akhir-akhir ini, banyak orang yang hidupnya seperti “autopilot”, hari-hari terasa cepat berlalu, tanpa menikmati kehidupan, pikiran tak tenang
  • Luangkan waktu sejenak untuk muhasabah
  • Salah satu penyebab hidup autopilot: cemas terhadap masa depan. Di antara solusinya (bukan satu-satunya) adalah mengatur ekspektasi, qana’ah(merasa cukup), dan bersyukur
  • Qana’ahdan syukur bukan bentuk penolakan terhadap kekayaan dan kemakmuran
  • Justru dengan qana’ahdan bersyukur terhadap hal-hal “kecil”, kita bisa meraih ketenangan hidup, serta lebih bahagia ketika mendapat nikmat yang lebih besar

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (H.R. Tirmidzi)

“…Sungguh jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras” (Q.S. Ibrahim: 7)

<>

Fenomena hidup “autopilot”

Seiring waktu berlalu, perputaran dunia ini rasanya semakin cepat. Semua orang seolah saling berbalap, terburu-buru memenuhi tuntutan zaman yang sangat cepat berubah nan dipenuhi ketidakpastian.

Alhasil, hanya tubuh kita yang berada di masa kini, sedangkan hati dan pikiran kita ada di mana-mana. Kita tak benar-benar menyadari apalagi menikmati aktivitas yang sedang dilakukan. Boleh jadi di saat yang sama pikiran kita dipenuhi kecemasan, ia disandera oleh kekhawatiran akan masa depan, baik mengenai nasib diri, keluarga, hingga prediksi standar sosial dan ekonomi beberapa tahun mendatang. Hidup kita rasanya berjalan “autopilot”, bergerak sendiri tanpa ada yang mengemudi.

Sangat lumrah jika akhirnya ada yang lelah fisik maupun jiwa karena menjalani rutinitas ini. Beberapa langkah yang dapat menjadi jalan keluar dalam mengatasi dampak negatifnya akan dibahas dalam tulisan ini, tentunya dari sudut pandang tuntunan Ilahi.

Menata hati, menata hidup

Upaya menyederhanakan dan meluruskan hidup sedang marak digandrungi untuk menghindari dampak negatif hidup autopilot. Tidak hanya menyederhanakan barang dan konsumsi, namun juga menyederhanakan hati, karena menata hati sama dengan menata hidup. Banyak yang akhirnya merasa perlu menyederhanakan hati karena ia banyak memiliki keterbatasan. Hati kita tak akan bisa menampung semua masalah dan urusan. 

Cobalah luangkan waktu sebentar saja, sekedar untuk mengobrol dengan diri sendiri. Tak ada yang boleh mendengarnya kecuali Allah, karena Allah mencintai hamba-Nya yang berkenan untuk mencintai dirinya sendiri dengan bermuhasabah.

Boleh jadi, salah satu (bukan satu-satunya) sebab tidak tenangnya hati dan pikiran kita akhir-akhir ini berkaitan dengan cara kita mengatur ekspektasi. Lingkungan mendorong kita untuk meraih capaian yang tinggi. Alhasil, kita memasang standar maksimal, tapi tidak menentukan standar minimal. Benar bahwa bercita-cita tinggi itu terpuji, namun seringkali kita lupa menyiapkan hati kalau-kalau impian itu belum terpenuhi. 

Dari sini, terlihat betapa pentingnya peran qana’ah. Qana’ah adalah kerelaan pada seluruh pemberian Allah (Masyariqul Anwar 2/187). Imam Suyuthi rahimahullah memaknai qana’ah dengan merasa cukup pada yang ada, dan tidak berhasrat pada hal yang tiada. (Mu’jamu Maqalidil Ulumi fil Hudud war Rusum hal. 205). Di tanah Jawa, qana’ah dikenal dengan istilah nrimo ing pandum.

Qana’ah membantu kita untuk menyederhanakan hati dalam menilai arti kebahagiaan. Mari kita tilik sejenak bagaimana standar manusia paling bijak sepanjang sejarah dalam memandang kebahagiaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (H.R. Tirmidzi no. 2346, beliau menilainya hasan gharib).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seakan menyadarkan bahwa ternyata kita bisa berbahagia dengan hal-hal yang seringkali dianggap sepele. Dari sabda beliau ini kita belajar bahwa ternyata kita tak selalu perlu capaian yang muluk-muluk untuk bisa berbahagia. Perlu dipahami bahwa beliau menyampaikan standar minimal untuk bisa berbahagia, bukan melarang kita untuk mencari yang lebih dari tiga hal di atas.

Untuk merasa cukup, kita tidak selalu harus berlebih. Justru dengan merasa cukup, kita akan merasa lebih bahagia ketika mendapat yang lebih. Anggaplah kita merasa cukup saat mendapat 5000, bukankah kita akan sangat bahagia tatkala mendapat 5 juta? beda halnya jika sejak awal sangat mengidamkan 500 juta, mungkin tak akan terlalu bahagia bahkan ketika mendapat 50 juta. 

Sesederhana inilah konsep qana’ah. Walau demikian, tetap saja ada yang salah paham menyangka bahwa qana’ah seolah racun yang menyebabkan kemalasan dalam meningkatkan taraf hidup. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah berwasiat, “Wahai anakku, jika engkau mencari harta, maka carilah dengan qana’ah! Karena qana’ah itu adalah harta yang tak dapat ditebus (dengan apapun)! (Uyunul Akhbar 3/207). Beliau menyebut bahwa qana’ah itu tak dapat ditebus, karena tak akan ada yang mampu membeli isi hati yang jernih, beda halnya dengan kekuasaan atau saham mayoritas.

Dari wasiat tersebut, kita paham bahwa qana’ah tak menghalangi semangat mencari penghidupan. Inilah esensi dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kayanya hati (yang qana’ah). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (yang tak pernah puas).” (HR. Ibnu Hibban, dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Sebab kekayaannya itu ada di hati yang dipenuhi kelapangan dan kerelaan, baik kala ia fakir maupun saat hidup berada.

Bukannya melarang kaya, tapi mengajak untuk menjadi kaya dengan hati yang layak nan pantas untuk menerima kekayaan. Tak seperti sebagian orang kaya yang mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan agamanya karena terus menginginkan yang lebih, lebih, dan lebih!

Mensyukuri hal-hal kecil

Boleh jadi, sebab lainnya lagi (bukan satu-satunya) dari tidak tenangnya diri ini berkaitan dengan rasa syukur yang telah lama tak bersemi dalam hati. Sibuk mengejar impian tinggi membuat kita luput dari menikmati, apalagi mensyukuri berbagai hal kecil yang juga layak dihargai.

Ribuan tahun lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti, “Siapa yang tak mensyukuri yang sedikit, tak akan mensyukuri yang banyak.” (H.R. Ahmad). Kita memiliki nikmat berupa nafas ringan, pencernaan lancar, negeri aman, dan lainnya. Terlalu banyak hal ‘sepele’ yang tak kita syukuri selama ini.

Syukur itu obat ketidakbahagiaan. Dengannya, kita bisa menghargai yang ada dan mengalihkan perhatian yang sudah begitu terkuras untuk hal-hal yang belum tentu bisa diraih. Syukur adalah sikap mengakui dan tidak meremehkan nikmat yang didapat,  bertahmid memuji Sang Pemberi Karunia, serta yang paling penting adalah memanfaatkannya dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala, bukan malah bersikap tak tahu diri dengan menggunakan karunia itu untuk mendurhakai-Nya. (A’malul Qulub hal. 289, 293).

Syukur itu dapat menambah nikmat. Allah Ta’ala berfirman,

<{لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ…}>

“… Sungguh jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras” (Q.S. Ibrahim: 7).

Umar bin Abdil Aziz rahimahullahu berkata, “Ikatlah berbagai macam nikmat dengan syukur.” (Syu’abul Iman hal. 4546). Ketika kita mensyukuri sebuah hal, Allah akan tambahkan nikmat pada hal tersebut, bahkan juga pada berbagai nikmat lainnya. Ketika ketika mensyukuri nikmat kesehatan, boleh jadi Allah akan tambahkan nikmat kekayaan, kemudahan, hingga ketenangan. 

Bukankah ketenangan juga sebuah nikmat yang bernilai? Ketika kita mensyukuri nikmat-nikmat ‘kecil’, Allah akan berikan nikmat yang amat berharga, yakni ketenangan hidup. “Bertambah” berarti nikmat yang telah ada akan terus terjaga. Syukur adalah cara untuk merawat yang ada, sembari menambah yang baru. Syukur adalah jalan untuk menikmati yang kecil, seraya menerima yang besar.

Menyederhanakan hati dengan qana’ah dan syukur memang tak selalu mudah, kita perlu belajar sepanjang hayat untuk menerapkannya. Karenanya, kami ucapkan mari berjuang bersama, semoga Allah Ta’ala karuniakan kemudahan.

<>

Penulis : Reza Mahendra (Alumnus Ma’had Al-’Ilmi Yogyakarta)

Pemuroja’ah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *