PRAKTEK SUAP DAN KELAMBU VALENTINE

Edisi 2029

  • Suap:pemberian yang bertujuan untuk menyalahkan/menggagalkan hal yang benar, atau membenarkan dan mewujudkan hal yang salah
  • Suap termasuk dosa besar dan harambagi pemberi, penerima, yang meminta, dan bahkan perantaranya
  • Cara/jalan yang haram tidak akan menambah jatah rizkinya, justru membawanya kepada murkaAllah

“Laknat Allah kepada pemberi dan penerima suap” (HR. Ahmad)

  • Sejarah Hari Valentine terkait denganpraktik-praktik kesyirikan dan kebiasaan orang kafir yang tidak sesuai dengan ajaran Islam

Siapa yang meniru suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebut.” (H.R. Abu Daud)

Pacaran = jalan menuju zina. Mendekati zina dengan berbagai jalan saja tidak dibolehkan, apalagi jika sampai berzina (Lihat QS. Al Isro’: 32)

Sebentar lagi kita akan menjumpai tanggal 14 Februari, dimana tanggal tersebut ada dua perhelatan yang banyak kaum muslimin terperosok kedalam jurang kemaksiatan jika tidak mengetahui tentangnya. Pertama kita akan menjumpai pemilu/pilkada yang mana banyak praktek suap menjelang momen tersebut. Kedua kita akan menjumpai banyak anak muda yang hilang arah sehingga meniru kebiasaan kaum kafir dan terjatuh dalam perzinaan, yaitu di hari valentine.

Pembaca yang dirahmati Allah, mari sejenak kita renungkan hadits berikut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sungguh akan datang suatu zaman di tengah manusia, dimana orang tidak lagi peduli terhadap harta yang dia ambil, apakah dari yang halal ataukah yang haram.” (HR. Bukhari)

Apakah zaman tersebut tengah kita jalani saat ini? Suatu zaman dimana praktek suap (suap) sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, seolah menjadi syarat yang tidak tertulis yang harus dilakukan. Membenarkan yang biasa, padahal yang biasa tersebut adalah hal yang salah, bukanlah sifat seorang mukmin. Akan tetapi seorang mukmin tentu akan berusaha untuk membiasakan yang benar, hingga kebenaran itu menjadi sesuatu yang biasa dia lakukan.

Apa itu Suap?

Para Ulama telah memberikan penjelasan terkait makna suapSuap secara istilah adalah sesuatu yang diberikan untuk menyalahkan/menggagalkan hal yang benar atau membenarkan/mewujudkan hal yang salah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 22/220)

Bahaya suap

Para Ulama bersepakat bahwa suap merupakan hal yang haram dan termasuk salah satu dosa besar. Haram bagi pemberi, penerima, yang meminta, bahkan yang hanya sekedar menjadi perantara suap.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laknat Allah kepada pemberi dan penerima suap” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh al-Albani)

Macam-Macam suap

Para ulama mazhab Hanafiyyah membagi suap menjadi empat bagian:

Pertama, suap supaya diangkat menjadi hakim dan pejabat (termasuk anggota legislatif, PNS, atau lainnya -pen). Hukumnya haram bagi penerima dan pemberi.

Kedua, suap untuk seorang qadhi/hakim untuk memutuskan suatu perkara. Suap ini juga haram bagi penerima dan pemberi, meskipun keputusan dari perkara tersebut adalah keputusan yang benar. Karena memutuskan perkara dengan benar adalah kewajiban seorang qadhi/hakim.

Ketiga, memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang memiliki kewenangan dalam rangka mencegah bahaya (kezhaliman) orang tersebut atau untuk mendatangkan manfaat bagi pemberi (mendapatkan haknya). Hal yang demikian ini hukumnya haram bagi penerima saja.

Keempat, memberikan sejumlah harta kepada seseorang, selain pegawai dalam suatu qadhi/hakim, yang bisa membantu untuk mendapatkan hak. Memberi dan menerima harta semacam ini diperbolehkan. Karena harta yang diberikan adalah sebagai kompensasi atas bantuan yang diberikan sebagaimana upah untuk sebuah pekerjaan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 22/222-223)

Bertaubat dari praktek suap

Bertaubat dari suap adalah sebagaimana bertaubat dari dosa yang lain yaitu,

1- Ikhlas karena Allah.

2- Berpaling dari perbuatan dosa yang dilakukan.

3- Menyesali.

4- Berazam (tekad kuat) untuk tidak mengulanginya.

5- Bagi penerima suap, mengembalikan suap kepada pemberi suap.

Apabila diketahui pemiliknya maka dikembalikan kepadanya, apabila tidak diketahui maka diberikan untuk kemaslahatan kaum muslimin. (Kasyaf al-Qana’, 6/317)

Bagaimana dengan pekerjaan yang diperoleh dengan hasil suap?

Syaikh Shalih al-Munajjid hafizhahullah pernah ditanya tentang masalah tersebut. Jawaban beliau,“Jika pegawai ini telah bertaubat kepada Allah, dan telah menyedekahkan sebagian hartanya, maka tidak masalah dia tetap menjalani pekerjaannya tersebut. Dengan syarat, pegawai ini memiliki kemampuan yang memadai terkait pekerjaannya tersebut. Karena melaksanakan pekerjaan, sementara dia tidak memiliki kemampuan dalam pekerjaan tersebut adalah bentuk khianat terhadap amanah. Dampak buruknya bisa menimpa banyak orang.” (islamqa.info/ar/112128)

Tak akan mati sampai jatah rezekinya habis

Permasalahan mencari rizki adalah sebuah permasalahan yang akan terus menemani manusia selama hidupnya. Telah kita ketahui bersama, bahwa kematian tidak akan menjemput seseorang hingga ia menghabiskan jatah rizkinya. Sedangkan dalam mencari rizki, kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan mencari rizki yang halal. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rizkinya, karena itu, jangan kalian merasa rizki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rizki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi, dishahihkan oleh Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

Sebagai seorang yang beriman, ia pun mengetahui bahwa jalan yang haram tidak akan menambah jatah rizkinya, justru membawanya kepada murka-Nya.

Penulis: Muhammad Oksa, S.Si. (Alumni Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)

Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., B.A.

 

Valentine: Tak Ada yang Spesial Darinya

Dilihat dari sejarahnya, Hari Valentine tidak lepas dari pengkultusan kepada seorang pendeta Romawi yang bernama St. Valentine (wafat 269 M atau sumber lain mengatakan 270 M). Penetapan tanggal 14 Februari juga berkaitan dengan upacara kesyirikan yang dilakukan oleh masyarakat Romawi sebelum agama nasrani masuk, yaitu Upacara Lupercalia (Ritual Kesuburan), serta keyakinan bahwa burung-burung kawin pada tanggal tersebut (Everyman’s Encyclopedia, volume XII, hal 388).

Tak bisa dipungkiri, bagaimanapun mereka menyebut hari tersebut, nyatanya kerusakan demi kerusakan terjadi setiap hari ini datang. Perzinaan merajalela dan banyak perempuan kehilangan kesuciannya atas nama cinta palsu.

Memeriahkan Valentine = Meniru kebiasaan orang kafir

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan ancaman yang sangat keras, bagi orang yang meniru kebiasaan orang kafir dalam sabdanya,

Siapa yang meniru suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebut.” (H.R. Abu Daud dan dishahihkan Syaikh Al-Albani).

“Kan hanya sekedar memeriahkan dan menyatakan kasih sayang, tanpa bermaksud melakukan kesyirikan?

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, beliau menjumpai masyarakat Madinah merayakan hari raya Nairuz dan Mihrajan. Hari raya ini merupakan hari raya yang diimpor dari orang Persia yang beragama Majusi. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, beliau bersabda,

“Saya mendatangi kalian (di Madinah), sementara kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyah. Padahal Allah telah memberikan ganti dua hari yang lebih baik untuk kalian: Idul Qurban dan Idul Fitri”. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Nasai, dan dishahihkan Syaikh Ali Al-Halabi)

Kasih Sayang dalam Islam itu Sepanjang Masa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (H.R. Bukhari)

Hadis di atas tidak membenarkan bahwa kita boleh memberikan hadiah kepada pacar atau pasangan yang belum sah untuk mendapatkan cintanya, karena setiap amalan itu tergantung dengan niatnya dan boleh jadi amalan yang asalnya halal berubah menjadi haram jika diniatkan untuk sesuatu yang haram.

Pacaran adalah jalan menuju zina

Mendekati zina dengan berbagai jalan saja tidak dibolehkan, apalagi jika sampai berzina. Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32).

Solusi terbaik bagi yang ingin memadu kasih adalah dengan menikah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1847)

Ditulis : Rafi Pohan, S.T., M.Sc. (Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)

Dimurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *