GELAR RAJA SEGALA RAJA

Edisi 1911

  • Ilmu tauhid merupakan ilmu paling pentingyang harus dipelajari oleh seorang muslim
  • Tujuan kita diciptakan ke muka bumi adalah untuk mengesakanAllah
  • Seorang muslim hendaklah fokus terhadap amalandan bukan gelar
  • Tidak diperkenankan menggunakan nama yang bersifat penghambaan kecuali disematkankepada Allah
  • Jangan berkata ‘atas kehendakmu/pertolongamu’ tapi ‘atas kehendak Allah melaluimu’

Telah kita ketahui bersama bahwasannya ilmu tauhid merupakan ilmu paling penting yang harus dipelajari oleh seorang muslim. Hal tersebut tidak lain dikarenakan tujuan kita diciptakan ke muka bumi adalah untuk mengesakan Allah semata, dalam kalbu, lisan, maupun amalan kita. Seperti yang telah difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla (yang artinya),

“Tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin manusia kecuali supaya mereka beribadah (hanya) kepadaKu” (Q.S. Adz Dzariyat: 56)

Dan salah satu tafsiran dari “supaya mereka beribadah kepada-Ku” adalah “supaya mereka bertauhid kepada-Ku/mengesakan-Ku”. Maka dari itu, ibadah yang tepat haruslah berlandaskan ilmu yang agung ini, sesuai yang disebutkan dalam salah satu pepatah arab,

“Belajarlah, karena sesungguhnya Allah tidaklah disembah dengan kejahilan

Maka dalam kesempatan kali ini, kita akan mengulang kembali beberapa permasalahan yang berkaitan tentang tauhid, terutama amalan-amalan yang tersebar di masyarakat dan perlu untuk jadi poin perhatian, yang mana jika kita tidak memberikan perhatian dan salah dalam melakukannya, maka hal tersebut akan menodai keislaman (tauhid) kita.

Gelar “Raja diraja” atau yang semisalnya

Masalah pertama dalam pembahasan kali ini adalah salah satu larangan dalam syariat untuk seseorang dengan gelar yang berkespresi superlatif. Atau dengan ibarat lain, berlebih-lebihan dalam memberi gelar kepada seseorang. Seperti gelar “Raja diraja”, “Syahansyah”, “Raja segala raja”, “Hakim segala hakim”, atau yang semisalnya

Hal tersebut dilandasi oleh hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

Sesungguhnya panggilan/gelar yang paling hina di sisi Allah, adalah seseorang yang dipanggil/digelari “raja diraja/raja segala raja”. Tidak ada raja (yang hakiki) kecuali Allah”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dari hadis tersebut, para ulama mengambil kesimpulan bahwa haram hukumnya bagi seseorang untuk menggelari dirinya sendiri, atau diberi gelar dan dia ridha dengan itu, dengan gelar yang sedemikian rupa; “Raja diraja”, “Raja segala raja”, “Syahansyah”, “King of the Kings”, dan yang semisalnya. Karena Allah mengancam dan mensifati orang yang bergelar dengan gelar tersebut dengan kehinaan. Berkata Ibnu Batthal, “Inilah bentuk hukuman Allah bagi yang mengharapkan kedudukan tinggi yang tidak selayaknya di dunia, maka dibalas dengan kehinaan di akhirat kelak” (Syarh Shahih Bukhari 9/354)

Seorang muslim hendaklah fokus terhadap amalan dan bukan gelar. Nabi kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, manusia termulia, yang sudah dijamin surga oleh Allah, yang tidak perlu ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas amalan beliau, tidak ingin untuk digelari kecuali hanya dengan panggilan “Hamba Allah” atau “Rasulullah”.

Aku hanyalah hambaNya, maka katakanlah hamba Allah dan rasulNya(H.R. Bukhari).

Menamakan dengan nama “Hamba selain Allah”

Sudah menjadi urf dan adat yang kita temukan di masyarakat Muslim untuk menamai anak-anak mereka dengan nama-nama seperti “Abdullah”, “Abdul Ghaffar”, “Abdul Karim”, dan yang semisalnya. Nama-nama ini dikenal dengan istilah al asma’ al mu’abbadah atau “nama-nama yang menunjukkan penghambaan”. Ciri-cirinya adalah diawali dengan kata “abdu”.

Tentu saja kita sudah tahu bahwa tidaklah kita menunjukkan penghambaan hakiki kecuali kepada Allah semata. Maka nama-nama penghambaan ini juga selalu mengandung nama Allah atau salah satu dari Asmaul Husna. Seperti yang telah disebutkan di atas; Abdullah yang artinya adalah “hamba milik Allah”, Abdul Ghaffar yang artinya adalah “hamba milik Yang Maha Pengampun”, Abdul Rahim yang artinya adalah “hamba milik Yang Maha Penyanyang” dan sebagainya.

Permasalahan yang muncul adalah, bagaimana jika nama-nama yang berunsur penghambaan ini kemudian disematkan kepada selain Nama-nama Allah? Seperti “Abdul Uzza”, “Abdul Husain”, “Abdul Hasan”, “Abdu Rasul”, “Abdu Nabi” dan yang sebagainya? Apakah hal tersebut diperkenankan?

Pendapat terkuat adalah bahwa hal tersebut tidaklah diperkenankan. Karena seperti yang sudah dijelaskan, penghambaan hanyalah kepada Allah semata, bukan kepada yang lainnya. Ada riwayat juga bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemukan seorang yang bernama “Abdul Hajar”, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya,

Sesungguhnya kamu adalah Abdullah (hamba Allah)”. (H.R. Ibn Abi Syaibah dan Bukhari di Adab Mufrad)

Pengingkaran beliau terhadap nama sahabat tersebut menjadi bukti bahwa tidak diperkenankan menggunakan nama yang bersifat penghambaan kecuali disematkan kepada Allah Azza wa Jalla.

Menamakan dengan nama khusus Allah

Permasalahan selanjutnya yang berkaitan dengan nama, adalah menamai anak atau seseorang dengan Asmaul Husna, seperti orang yang menamai anaknya “Malik”, atau “Hakim”, atau “Aziz”, dan yang semisalnya. Apakah yang tersebut diperbolehkan? Ataukah termasuk kesyirikan karena itu adalah Asmaul Husna yang khusus untuk Allah saja?

Para ulama menjelaskan bahwa Asmaul Husna / Nama-Nama Allah terbagi menjadi dua:

1- Nama-Nama yang maknanya khusus untuk Allah Azza wa Jalla, seperti “Allah”, “Rabb” (Tuhan), “Rahman” (Yang Maha Pengasih), “Ahad” (Yang Maha Esa), “Shamad” (Tempat Bergantung), “Jabbar” (Yang Maha Perkasa), “Khaliq” (Sang Pencipta), Razzaq (Yang Maha Pemberi Rizki), dan yang sejenisnya. Maka hukumnya tidak boleh untuk bernama dengan Nama-nama ini, kecuali jika disambung dengan unsur penghambaan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Abdul Jabbar, Abdu Shamad, Abdul Khaliq, Abdu Razzaq, dsb.)

2 – Nama-Nama yang maknanya tidak khusus untuk Allah Azza wa Jalla, dan boleh untuk dipakai bagi makhlukNya, seperti Karim, ‘Ali, Halim, Aziz, dan yang lainnya. Maka boleh untuk dipakai tanpa perlu menambahkan unsur penghambaan. Allahu A’lam. (Lihat: Tuhfatul Maudud, hal. 125, Asna Mathalib, hal. 4/244, Taisir Aziz Hamid, hal. 534)

Menyandingkan seseorang dengan Allah (semisal “atas kehendakmu dan Allah”)

Poin selanjutnya dalam pembahasan tauhid, adalah pembahasan tentang kalimat-kalimat yang kita anggap biasa jika dilihat sekilas, namun ternyata dilarang untuk diucapkan karena mengandung unsur kesyirikan. Salah satunya adalah kalimat “atas kehendak Allah dan kehendakmu”.

Dan hadis yang berkaitan tentang larangan ucapan ini tegas dan jelas. Diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dalam Sunan Kubra, dan Amal Yaum wa Lailah, dari sahabat Qutailah radhiyallahu ‘anhaa, bahwa seorang Yahudi datang kepada Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,

“Sesungguhnya kalian telah membuat tandingan bagi Allah dan mensyirikannya, (dengan) kalian berkata ‘atas kehendak Allah dan kehendakmu’ dan (dengan) kalian berkata ‘demi Ka’bah”.

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menyuruh mereka jika ingin bersumpah agar mengatakan ‘demi Rabb Ka’bah’ dan berkata ‘atas kehendak Allah dengan perantaramu’.

Dan diriwayatkan juga oleh imam Ahmad dan yang lainnya, dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa bahwasannya seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam menjawab,

“Apakah engkau menjadikanku dan Allah sama? Katakanlah: ‘atas kehendak Allah semata”

Dari riwayat di atas, bisa kita pahami bahwa sebab nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kalimat tersebut adalah karena ia mengandung unsur kesyirikan.

Demikianlah pembahasan singkat tentang beberapa permasalahan yang berkaitan dengan tauhid dalam kehidupan kita sehari-hari. Semoga kita semua bisa tetap menjaga kemurnian hati kita dan tidak menodainya dengan melakukan hal-hal yang dilarang, sehingga dapat tercermin dalam akhlak dan perbuatan kita terhadap sesama. Wa Shallallahu ‘alaa nabiyyina Muhammad, wa ‘alaa aalihi wa ashabihi ajma’iin.

Ditulis : Naufal Fuady Lc. (Alumnus Universitas Islam Madinah)

Dimurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *