AGAR ISTIKAMAH SELALU BERSEMI INDAH


EDISI 2137

Q.S. Fushshilat : 30

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.”

  • Istikamah bukan merupakan perkara yang ringan bahkan pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Istikamah yang adalah dengan menjalankan seluruh syariat Islam.
  • Untuk menggapai istikamah tidak bisa hanya dengan bergantung dengan diri sendiri, namun harus dengan banyak memintanya kepada Allah.
  • Dengan sadar diri bahwa amal ibadah kita belum tentu diterima, niscaya akan membuat kita lebih bersemangat mengerjakan amal kebaikan setelahnya.

Ramadan telah lewat beberapa pekan. Masih teringat betapa semangatnya diri kita beramal ketaatan. Namun, bagaimanakah kadar semangat kita saat ini? Apakah kita senantiasa istikamah dalam beribadah?

Istikamah Itu Berat dan Istimewa

Allah Ta’ala berfirman,

فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ

“Maka istikamahlah kamu sebagaimana yang diperintahkan kepadamu.” (Q.S. Hud

: 112).

Terkait ayat ini, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, “Tiada satu ayatpun yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini. Oleh karenanya, tatkala beliau ditanya oleh para sahabatnya, “Betapa cepat engkau terlihat beruban!” Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang telah membuatku (cepat) beruban adalah surat Hud dan yang semisalnya.” (Tafsir Al Qurthubi 9/107)

Istikamah merupakan hal yang amat berat, kecuali bagi yang diberikan taufik oleh Allah Ta’ala. Istikamah merupakan karunia yang sangat istimewa. Ibnul Qayyim rahimahullah bercerita, “Aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Seagung-agungnya karomah adalah ketika bisa terus isitikamah.” (Madarijus Salikin, 2/105

Hakikat Seseorang Yang Istikamah

Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengartikan, “Mereka yang istikamah adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (Tafsir Ath Thobari, 21/465). Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan, “Orang yang istikamah adalah yang terus langgeng mengerjakan apa yang diwajibkan.” (An Nukatu wal ‘Uyun, 5/275). Qotadah rahimahullah menerangkan, “Orang yang istikamah adalah mereka yang terus senantiasa melaksanakan ketaatan kepada Allah.” (Mushannaf Abdurrazzaq, no 2618).

Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah merangkum arti keistikamahan dengan cukup koomprehensif. Beliau artikan hakikat keistikamahan, Berada di atas jalan yang lurus, yakni agama yang kokoh, tanpa condong menyimpang ke sisi kiri dan kanan.  Cakupannya ialah segala amal ketaatan baik yang zahir atau batin dan juga meninggalkan semua larangan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, Hal. 383-384)

Untuk Istikamah, Kita Perlu Banyak Berdoa

Kita ini adalah hamba yang diciptakan dalam keadaan lemah sehingga sangat membutuhkan pertolongan-Nya. Allah Ta’ala juga berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ

“Wahai manusia, kamulah yang sangat butuh kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Fathir : 15)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Seluruh makhluk amat butuh pada Allah dalam tiap aktivitas geraknya dan juga diamnya. Sungguh Allah Ta’ala tidak membutuhkan mereka sedikitpun. Oleh karena itu, Allah Ta’ala nyatakan bahwa Dialah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/316)

Segala amal ibadah yang kita lakukan adalah bentuk kebaikan dan kasih sayang dari Allah Ta’ala. Ibnul Qayyim mengungkapkan, “Jika terdapat segala macam kebaikan, maka itu semua berasal dari taufik Allah Ta’ala bagi hamba-Nya. Taufik itu kuasanya di tangan Allah Ta’ala bukan di tangan hamba. Kunci untuk mendapatkan taufik tersebut ialah doa, merasa butuh, tulus memohon, dan juga benar-benar berharap menginginkan taufik tersebut. Tatkala seorang diberikan kunci-kunci ini, maka sungguh Allah Ta’ala mengehendaki terbukanya pintu kebaikan baginya. Namun sebaliknya, tatkala seorang hamba tidak mendapatkan kunci-kunci ini maka pintu-pintu kebaikan itu telah tertutup baginya.” (Al Fawaid, Hal. 130)

Untuk bisa beramal kebaikan dan beribadah, kita butuh pertolongan Allah. Ibadah dan memohon pertolongan Allah Ta’ala adalah dua aktivitas yang saling berkaitan, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. As Si’di menjelaskan, “Disebutkannya memohon pertolongan setelah ibadah, menegaskan bahwa betapa butuhnya seorang hamba kepada pertolongan Allah Ta’ala dalam setiap ibadah. Sebab bila Allah tidak menolongnya, maka tidak akan dapat terwujud suatu ibadah, yakni berupa melaksanakan perintah ataupun menjauhi larangan-Nya.” (Taisir Karimir Rahman, Hal. 37)

Sadari Bahwa Ibadah Kita Belum Tentu Diterima

Dengan menghadirkan perasaan khawatir bahwa ibadah belum tentu diterima, niscaya akan membuat kita lebih bersemangat mengerjakan amal kebaikan setelahnya. Menggabungkan dua rasa ini sejatinya merupakan karakter orang beriman. Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya orang beriman akan menggabungkan di dalam dirinya bersegera berbuat kebaikan dan merasa takut.” (Az Zuhd, Hal. 985).

Hal ini senada dengan apa yang Allah Ta’ala firmankan,

وَٱلَّذِينَ يُؤۡتُونَ مَآ ءَاتَواْ وَّقُلُوبُهُمۡ وَجِلَةٌ أَنَّهُمۡ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ رَٰجِعُونَ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Q.S. Al Mu’minun : 60).

Terkait ayat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan siapa yang dimaksud dalam ayat tersebut,

ولكِنَّهم الذين يصومون ويُصَلُّونَ ويتصَدَّقون وهم يخافون ألَّا تُقبَلَ منهم، أولئك الذين يسارِعونَ في الخيراتِ وهم لها سابِقونَ

“Mereka adalah orang yang berpuasa, mengerjakan shalat, bersedekah namun mereka khawatir amalnya tidak diterima. Oleh karenanya, mereka bersegera dalam berbuat kebaikan.” (HR. Tirmidzi no. 3175, dinilai shahih oleh Al Albani).

Bersemangatnya beramal shalih setelah melakukan ketaatan juga merupakan diantara tanda-tanda amal yang diterima. Sebagian salaf mengatakan “Sesungguhnya balasan dari amal yang diterima adalah dimudahkan mengerjakan amal kebaikan yang berikutnya.” (Ad-Daa Wa Ad-Dawaa’, Hal. 65). Dengan membangun kesadaran bahwa ibadah belum tentu diterima, akan membuat kita semangat beribadah dan menjaga keistikamahan.

Berusaha Istikamah dan Berjuang Mendekatinya

Dalam perjuangan kita meniti jalan istikamah pastilah tidak sempurna. Itulah sebabnya, Allah Ta’ala perintahkan kita memohon ampunan setelah adanya perintah untuk istikamah. Allah Ta’ala berfirman,

فَٱسۡتَقِيمُوٓاْ إِلَيۡهِ وَٱسۡتَغۡفِرُوهُ

“Istikamahlah di jalan Allah dan mohon ampunlah.” (Q.S. Fushshilat : 6).

Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin  Al Badr hafizhahullah menjelaskan, “Penyebutan perintah istighfar setelah istikamah merupakan isyarat bahwa seorang hamba memiliki keterbatasan dan kekurangan untuk bisa sempurna bersungguh-sungguh atas dirinya untuk meniti jalan keistikamahan.” (Asyru Qowaid fil Istiqomah, Hal. 19)

Sekiranya sulit untuk benar-benar sempurna istikamah maka berjuanglah untuk mendekati titik puncak keistikamahan tersebut dengan tetap berada di atas sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mampu mengerjakan semua yang aku perintahkan. Akan tetapi, berusahalah untuk sadaad (mendekati atas apa yang diperintahkan dan tepat sesuai sunnah, -pent) dan berilah kabar gembira.” (HR. Abu Dawud no. 1097, dinilai hasan oleh Al Albani)

Semoga Allah karuniakan kita untuk senantiasa bisa istikamah dan wafatkan kita dalam keadaan husnul khatimah. Aamiin.

Penulis : Ustadz Erlan Iskandar, S.T. (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta, Founder Yayasan Anak Muslim Ceria)

Pemuroja’ah :  Ustadz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *