3 AMALAN HATI

Muraqabah, Khauf, Ihsan

Edisi 1935

  • Selain amal lahiriah (shalat, puasa, …) ada juga amalan hati
  • Muraqabah : senantiasa menyadari dan meyakini hak Allah, secara lahir dan batin. Rasa ini akan menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan yang besar
  • Khauf : cemasnya hati karena khawatir akan terjadinya sesuatu yang tidak disukai di masa depan. Ada rasa takut akan adzab Allah, ada juga takut yang disertai pengagungan kepada-Nya. Rasa ini berfungsi menghalangi hamba dari melanggar batasan Allah
  • Ihsan : memperbagus kualitas amal, secara lahir dan batin.
  • 2 tingkatan ihsan:
    • Musyahadah : beramal dengan seakan mempersaksikan Allah dengan hatinya
    • Ikhlash : beramal dengan meyakini bahwa Allah mengawasinya
  • Jangan lupa untuk fokus memperbaiki kualitas amal, tak hanya kuantitasnya

<>

Amalan seorang muslim bisa jadi bersifat tampak (zhahir) maupun tidak tampak (batin). Amalan zhahir sudah familiar di telinga umat Islam, contohnya shalat, puasa, zakat, dzikir, dan lain-lain. Adapun amalan batin, masih relatif jarang dibahas jenis dan jumlahnya. Berikut tiga amalan hati yang amat penting bagi kehidupan mukmin yaitu muraqabah, khauf, dan ihsan.

Hakikat muraqabah

Muraqabah adalah senantiasa menyadari dan meyakini hak Allah, secara lahir dan batin. Keadaan muraqabah ini adalah buah dari pengetahuan hamba, bahwa Allah itu selalu mengawasi, melihat, dan mendengar perkataannya, serta Allah amat teliti terhadap amalan hamba pada setiap waktu hingga setiap kedipan matanya. (Madarij As-Salikin, 449).

 

Allah Ta’ala berfirman,

<{إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا}>

 “Sesungguhnya Allah Maha menjaga mengawasi atas kalian.” (T.Q.S. An-Nisa: 1).

Ath-Thabari menjelaskan makna dari Ar-Rāqīb dalam ayat di atas adalah Dzat Yang senantiasa menjaga dan mengawasi dengan teliti amal-amal hamba-Nya. Adapun Al-Ghazali, beliau menjelaskan Ar-Rāqīb sebagai Dzat Yang Maha Mengetahui dan Menjaga. Barangsiapa yang mengawasi sesuatu sampai-sampai tidak ada yang terluput darinya, memperhatikannya dengan terus-menerus, maka ini disebut ar-rāqīb. Makna Ar-Rāqīb bisa dikembalikan pada pengetahuan dan  penjagaan yang sempurna. (An-Nahju Al-Asma, 273-274)

Manfaat muraqabah

Muraqabah akan membuahkan kebahagiaan, ketentraman, dan kesejukan bagi hati, karena muraqabah membutuhkan hati yang selalu menghadirkan Allah dan menghilangkan hal-hal yang menyibukkan dari-Nya -baik saat beribadah maupun selainnya- serta membutuhkan hati yang terisi dengan pengagungan dan kecintaan kepada Allah. Dengan demikian, kedekatan kepada Allah akan menumbuhkan kebahagiaan yang amat besar.

Ibnul Qayyim menukil perkataan Dzun Nun Al-Mishry, “Tanda-tanda adanya muraqabah adalah mendahulukan apa yang Allah turunkan, mengagungkan apa yang Allah agungkan, dan menganggap kecil apa yang Allah anggap kecil dari suatu perkara.”

Sementara itu, Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang tidak menjumpai dampak dari amalannya berupa manis dan lapangnya hati, maka curigailah keadaan tersebut! Karena sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri.” Maksudnya, Allah pasti membalas amalan seorang hamba di dunia dengan kebahagiaan, kelapangan, dan sejuknya hati. Jika seseorang tidak merasakannya, maka amalannya terindikasi rusak. (Madarij As-Salikin, 449-451).

Hakikat khauf

Khauf adalah perasaan sakit atau cemasnya hati karena khawatir akan terjadinya sesuatu yang tidak disukai di masa depan. Seorang yang paling takut kepada Allah adalah orang yang paling mengenali-Nya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku adalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya.” (H.R. Bukhari). (Minhaj Al-Qashidin, 348).

Terdapat kata-kata yang mirip dengan takut (al-khauf), yaitu al-wajal, al-khasyah, ar-rahbah, dan al-haibah. Al-Khasyah adalah adalah al-khauf disertai dengan ilmu, inilah rasa takut yang dimiliki para ulama. Ar-Rahbah adalah rasa sangat takut sehingga menjauh dari hal yang dikhawatirkannya. Al-Wajal adalah goncang dan sempitnya hati terhadap seseorang yang ditakuti kekuasaan dan kekuatannya atau takut karena melihatnya. Al-Haibah adalah takut yang disertai rasa pengagungan dan pemuliaan, karena dibersamai ilmu dan kecintaan.

Tingkatan rasa takut

Rasa takut dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah rasa takut kepada adzab Allah. Takut jenis ini dimiliki oleh kebanyakan manusia dan dapat diperoleh dengan beriman kepada surga dan neraka. Takut jenis ini akan melemah jika seorang hamba lalai atau imannya berkurang. Yang kedua, takut yang dimiliki oleh para ulama yang berilmu. Allah Ta’ala berfirman,

<{وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفْسَهُ}>

Dan Allah memperingatkan kalian akan diri (siksa)-Nya.” (T.Q.S. Ali Imran : 28).

Dengan memahami konsekuensi sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah, akan muncul rasa takut yang penuh pengagungan kepada-Nya. Maka dari itu, para ulama memiliki rasa takut akan terhalang dari Allah. (Minhaj Al-Qashidin, 353).

Manfaat memiliki rasa takut

Takut itu ibarat tali kekang dari Allah, tali yang berfungsi menggiring hamba untuk terbiasa dalam ilmu dan beramal agar mencapai kedekatan kepada Allah. Maka dari itu, rasa takut kepada Allah yang jujur akan menghalangi hamba dari melanggar batasan-batasan Allah. Seandainya dia menerjangnya, timbullah rasa kecewa dan putus asa. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa takut yang terpuji adalah takut yang menghalangimu dari batasan-batasan Allah. (Madarij As-Salikin, 393).

Hakikat ihsan

Ihsan secara bahasa berarti memperbagus kualitas keikhlasan amal. Penyebutan ihsan dalam syariat ditafsirkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan engkau melihat-Nya. Adapun jika engkau tidak melihat-Nya, maka engkau yakin bahwa Dia melihatmu” (H.R. Bukhari).

Penyebutan ihsan dalam hadits tersebut dapat dikaitkan dengan istilah islam dan iman. Islam ditafsirkan dengan berbagai amalan perkataan dan perbuatan yang tampak, sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan perkataan dan perbuatan batin. Adapun ihsan, ditafsirkan sebagai memperbaiki kualitas amalan yang tampak dan yang batin. Ketiga hal tersebut pada hakikatnya adalah semua ajaran Islam itu sendiri (Ma’ariju Al-Qabul, 2/726).

Derajat ihsan itu lebih tinggi daripada yang lainnya karena telah mencapai level di mana seseorang itu memperbagus kualitas amalan ibadahnya sehingga ia bisa menghadirkan dalam hati dan jiwanya seakan-akan melihat Allah.

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwasanya Ihsan itu adalah inti, ruh, dan bentuk sempurna dari keimanan seorang hamba. Ihsan pada hakikatnya adalah mewujudkan seluruh ajaran agama Islam dengan sebaik-baiknya. Ihsan memiliki bentuk kesempurnaan sadarnya hati bahwa ia bersama Allah, mendekat kepada-Nya dibarengi rasa takut, cinta, pengakuan akan kebesaran-Nya, penyandaran kepada-Nya, keikhlasan kepada-Nya, dan dalam mengerjakan semua bentuk keimanan.  (Madarij As-Salikin, 735).

Tingkatan ihsan

Ihsan memiliki dua tingkatan. Yang pertama adalah musyahadah, tingkatan ini adalah yang paling tinggi. Yang kedua adalah ikhlas.

Tingkatan musyahadah adalah ketika seorang hamba beramal dengan landasan seakan ia mempersaksikan Allah Ta’ala dengan hatinya, yaitu dengan hati yang penuh cahaya iman dan penglihatan yang tertuju pada pengetahuan kebesaran-Nya, sehingga seakan-akan hal yang ghaib bisa dilihat. Maka barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan menghadirkan perasaan mendekat kepada-Nya, fokus tertuju kepada-Nya, dan ia memposisikan dirinya berada di hadapan Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka akan timbul rasa takut, pengagungan, dan pemuliaan kepada Allah.

Adapun tingkatan ikhlas adalah ketika seorang hamba beramal dengan menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah melihat, mengawasi, dan dekat dengan diri hamba tersebut. Dengan demikian, bisa dipastikan ia adalah seorang yang ikhlas kepada Allah. Penghadiran rasa dan keyakinan ini akan mencegah dirinya berpaling kepada selain Allah atau berpaling menginginkan pujian atas amalan yang dia kerjakan.

Tingkatan ikhlas adalah tingkatan yang dapat mengantarkan kepada tingkatan yang pertama, karena barangsiapa beramal dengan keyakinan bahwa Allah melihat dan mengawasi secara teliti apa yang dikerjakannya, saat sendiri maupun ramai, yang batin maupun yang zhahir (tampak) oleh dirinya, akan mudah bagi hamba tersebut berpindah kepada tingkatan ihsan yang pertama. (Ma’arij Al-Qabul, 2/1170-1171).

Renungan Amalan-Amalan Di Atas

Ketiga amalan di atas merupakan amalan hati. Amalan hati ini memiliki porsi besar dalam terciptanya kualitas amalan seorang hamba. Sikap lebih mementingkan kualitas amalan daripada terlalu fokus dalam memperbanyak amalan merupakan prinsip para salaf. Abu Darda mengatakan bahwa mengetahui satu shalatnya diterima oleh Allah itu lebih beliau cintai daripada dunia dan isinya, karena Allah berfirman,

<{… إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ}>

Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” (T.Q.S. Al-Maidah : 27) (Tafsir Ibnu Katsir, 516).

 

Penulis : Sakti Putra Mahardika (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Pemuroja’ah : Ustadz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *