JANGAN LUPAKAN AMALAN HATI

Edisi 30 Tahun 17

 

Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat sekerat daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (sekerat daging) itu ialah hati” (H.R. Muslim).

  • Ibadah : semua yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Baik berupa ucapan atau perbuatan, tersembunyi atau tampak1
  • Di antara amalan hati yang merupakan ibadah:
    • Cinta (mahabbah). Cinta yang melazimkan pengagungan, perendahan diri, dan ketaatan kepada yang dicintainya.  Beribadah tanpa rasa cinta kepada Allah seperti beribadah tanpa ruh. Cinta seseorang kepada Allah tak boleh ditandingi oleh cintanya kepada makhluk.
    • Takut (khauf) :  rasa takutdalam hati dan berdebarnya hati karena prediksi hal yang tidak disukai di masa depan2.  Allah memerintahkan hamba-Nya untuk takut kepada-Nya, tidak kepada wali setan (makhluk).
    • Harap (roja`). Rasa harap dan keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan, dan terkandung di dalamnyadiiringi penghinaan diri dan ketundukan, adalah ibadah3.
  • Setiap ibadah harus dibangun di atas ketiganya.
  1. Al ‘Ubudiyyah,1/ 130.
    2. Madarijus Salikin, 1/513
    3.  Taisirul Wushul, hal 78

<<<>>>

Pentingnya memperhatikan hati

Sebuah kenikmatan besar bagi seorang hamba yang diberikan kesempatan untuk memperhatikan amalan badannya. Sebagai contoh, seseorang bersungguh-sungguh memperbaiki gerakan dan bacaan dalam sholat yang dilakukannya setiap hari.  Namun, terkadang ada yang hanya memperhatikan keadaan badannya (zhahiriahnya) saja tanpa memperhatikan keadaan hatinya. Padahal kondisi hati juga sangat mempengaruhi kualitas amalannya.

“Sesungguhnya seseorang selesai dari sholatnya dan tidaklah dicatat baginya dari pahala sholatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya.” (H.R. Abu Dawud no. 796, dishahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Al-Munaawi rahimahullah menjelaskan tentang hadits tersebut. Perbedaan pahala sholat tersebut sesuai dengan perbedaan kekhusyukan,  tadabbur bacaan sholat, dan yang semisalnya dari perkara-perkara yang membuat kesempurnaan sholat (Faidhul Qodiir, 2/422). Oleh karena itulah seorang hamba hendaknya memperhatikan keadaan hatinya, karena amalan hati seorang hamba sangatlah mempengaruhi kualitas amalan yang dilakukan. Sebagaimana pula sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat sekerat daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (sekerat daging) itu ialah hati” (H.R. Muslim).

Amalan hati bagian dari ibadah

Perlu kita ingat kembali, bahwa ibadah tidak hanya terdiri dari amalah badan saja, namun juga termasuk amalan hati. Sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu, “Ibadah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut semua yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak.” (Al ‘Ubudiyyah, 1/ 130).

Segala sesuatu yang Allah Ta’ala cintai dan ridhai merupakan suatu ibadah. Sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala dapat diidentifikasi dengan beberapa cara, seperti diperintahkan oleh Allah untuk mengerjakan hal tersebut, Allah memuji pelakunya, mengabarkan bahwa orang yang melakukannya berada dalam keridhaan-Nya, diberikan pahala atasnya, atau dengan janji berupa limpahan ganjaran dari-Nya (Tajriidut Tauhid, hal. 14).

Di antara amalan hati yang merupakan ibadah adalah rasa cinta (mahabbah), takut (khauf), dan harap (raja`).

Mahabbah (Cinta)

Cinta ada yang merupakan sebuah ibadah dan ada yang tidak. Cinta yang merupakan ibadah adalah cinta yang melazimkan pengagungan, perendahan diri, dan ketaatan kepada yang dicintainya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).(Q.S. Al Baqarah: 165).

Pada ayat tersebut, Allah Ta’ala memuji orang beriman dengan kecintaannya yang besar kepada Allah, sehingga bisa disimpulkan bahwa cinta yang melazimkan pengagungan kepada yang dicintainya merupakan suatu ibadah. Selain itu, Allah juga memberikan ancaman berupa siksaan yang berat kepada orang yang mencintai selain Allah sebagaimana ia mencintai Allah.

Cinta ini merupakan landasan dari setiap amalan. Seseorang melakukan sesuatu dikarenakan sesuatu yang ia cintai. Ketika ia melakukan suatu amalan, bisa jadi ia mencintai amalan tersebut secara dzatnya, misalnya makan (ia memang suka dengan makanan tersebut) atau bisa jadi bukan pada dzatnya, semisal berobat (yang ia sukai adalah keadaan sehat dengan sebab berobat, bukan minum obatnya). Dan ibadah kepada Allah itu dilandasi di atas cinta, bahkan itulah hakikat dari ibadah. Orang yang beribadah tanpa disertai rasa cinta kepada Allah Ta’ala berarti dia melakukan ibadah tersebut sekedar kulit tanpa ruh (Al Qaulul  Mufid Alaa Kitabit Tauhid, 2/44).

 

Khauf (takut)

Khauf adalah rasa takut dalam hati dan berdebarnya hati disebabkan prediksi hal yang tidak disukai di masa depan (Madarijus Salikin, 1/513). Ada khauf yang termasuk ibadah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman” (Q.S. Ali Imran: 175). 

Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala memerintahkan para hamba untuk takut kepada-Nya dan melarang dari takut kepada wali-wali setan (makhluk). Apa yang Dia perintahkan berarti dicintai-Nya, sesuatu yang dicintai-Nya merupakan sebuah ibadah. Di dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala juga menjadikan rasa takut sebagai syarat keimanan. Suatu perkara yang dijadikan syarat sahnya keimanan adalah ibadah.

Roja` (Harapan)

Di antara jenis roja` ada yang tergolong ibadah. Roja` yang termasuk ibadah adalah rasa harap dan keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan, dan terkandung di dalamnya diiringi dengan penghinaan diri dan ketundukan (Taisirul Wushul, hal 78). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah mempersekutukan dengan apapun dalam beribadah kepada Rabbnya” (Q.S. Al-Kahfi: 110).

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala memuji orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Amalan yang Allah Ta’ala puji itu berarti suatu ibadah. Selain itu, Allah juga melarang mempersekutukan Allah Ta’ala dengan selainnya dalam peribadahan, termasuk di dalam peribadahan adalah raja` yang telah disebutkan sebelumnya.

Pilar Ibadah

Mahabbah, khauf, dan raja` juga merupakan pilar ibadah. Setiap ibadah harus dibangun di atas tiga hal ini; yakni mahabbah, khauf dan raja`. Ibnul Qayyim rahimahullaahu menjelaskan bahwa sebagian Ulama’ masa silam mengatakan, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan mahabbah, maka ia adalah zindiq. Barangsiapa yang beribadah kepada Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy. Barangsiapa yang beribadah kepada Nya hanya dengan raja` maka ia adalah murji’. Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan mahabbah, khauf, dan Raja`, maka ia adalah mukmin.” (Taisirul Wushul, hal. 75).

Zindiq adalah orang munafik, sesat, dan mulhid (menyimpang). Haruriy merupakan golongan Khawarij yang pertama kali muncul di Harura’ (nama tempat) yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar maka ia kafir. Adapun murji’ adalah orang murji’ah, yakni golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, karena iman hanya dalam hati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan bahwa apabila hati kosong dari mahabbah, khauf, dan raja`, maka rusaklah imannya dan tidak diharapkan kebaikan padanya sama sekali. Apabila salah satu dari ketiga pilar ini lemah, maka lemahlah keimanannya berbanding lurus dengan lemahnya salah satu dari ketiga pilar tersebut (Al Fatawa, 15/21).

 

Ditulis oleh Pridiyanto, S.Farm., Apt. (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta).

Dimurojaah oleh Ustaz Abu Salman B.I.S.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *