UCAPAN NATAL DIANGGAP BERBUAT BAIK

Edisi 1921

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)

  • Perlu kiranya dipahami bahwa ihsan(berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal)
  • Berbuat baikpada non muslim adalah sesuatu yang dituntunkan tetapi loyal  pada orang kafir adalah terlarang
  • Bolehnya memberi hadiah kepada saudara non muslim, menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua, kerabatdan tetangga non muslim
  • Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama

“…hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan (menganggap) Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.

(Q.S. Maryam: 90-92)

 

Sebagian orang beralasan bolehnya mengucapkan selamat natal pada orang nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang mereka bawakan adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. Al Mumtahanah: 8). Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal? Temukan jawabannya pada pembahasan berikut.

Sebab Turun dan Makna Ayat

Untuk siapa sebab diturunkannya ayat di atas? Di sini ada beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir. Di antara pendapat tersebut adalah yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada Asma’ binti Abi Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, di mana ibundanya –Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 8/236-237).

Ibnu Katsir –rahimahullah– menjelaskan makna ayat tersebut, bahwa Allah tidak melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak larang untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin Muhammad Salamah, 8/90).

Loyal (Wala’) pada Orang Kafir itu Terlarang

Wala’ (loyal) tidaklah sama dengan berlaku ihsan (baik). Wala’ secara istilah bermakna menolong, memuliakan dan loyal dengan orang yang dicintai. (Al Wala’ wal Baro’, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani, hal. 307). Sehingga wala’ (loyal) pada orang kafir akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dengan mereka dan agama yang mereka anut. Di antara larangan loyal (wala’) pada orang kafir dapat kita lihat pada firman Allah (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al Maidah: 51). Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. (Al Muhalla, Ibnu Hazm, 11/138)

Perlu Dibedakan antara Ihsan (Berbuat Baik) dan Wala’ (Loyal)

Perlu kiranya dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkanIhsan itu diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir.

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Berbuat baik dan berlaku adil tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir. Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik dengan orang tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut. ” (Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 166)

Contoh Berbuat Ihsan pada Non Muslim

Pertama: Memberi hadiah kepada saudara non muslim agar membuat ia tertarik pada Islam. Seperti ‘Umar pernah memberi hadiah pakaian kepada saudaranya ( ‘Utsman bin Hakim) di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (H.R. Bukhari no. 2619).

Kedua: Menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua dan kerabat non muslim

Dari Asma’ binti Abu Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, “Ibuku mendatangiku, padahal ia seorang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku ingin meminta nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku, padahal ia sangat benci Islam. Apakah aku boleh tetap menyambung hubungan kerabat dengan ibuku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya boleh. Silakan engkau tetap menjalin hubungan dengannya.” (H.R. Bukhari no. 2620).

Allah melarang memutuskan silaturahmi dengan orang tua atau kerabat yang non muslim dan Allah tetap menuntunkan agar hak mereka sebagai kerabat dipenuhi walaupun mereka kafir. Jadi, kekafiran tidaklah memutuskan hak mereka sebagai kerabat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Q.S. Luqman: 15). Jubair bin Muth’im berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi (dengan kerabat).” (H.R. Muslim no. 2556)

Ketiga: Berbuat baik kepada tetangga walaupun non muslim

Mujahid berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata, ”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang berkata, “(Anda memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisi anda.” Abdullah bin ’Amru lalu berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” (Adabul Mufrod Imam Bukhari no. 95/128. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)

Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal (Selamat atas kelahiran Tuhan)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan (menganggap) Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (Q.S. Maryam: 90-92).

Perkataan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah,

Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.

Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. (Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441)

Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama. (Majmu’ Fatawa wa Rosail, 3/28-29)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(Q.S. An Nisa’: 115).

Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama di masa silam yang menganggap bahwa ucapan selamat natal termasuk bentuk berbuat baik dan dibolehkan, padahal acara natal sudah ada sejak masa silam?!

Menyerupai Orang Nashrani dalam Merayakan Natal

Begitu pula diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan (yang disimbolkan dengan ‘santa clause’ yang berseragam merah-putih, lalu membagi-bagikan hadiah, pen) atau sengaja meliburkan kerja (karena bertepatan dengan hari natal). Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat baik dengan hal-hal yang dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas. Semoga Allah selalu menunjuki kita pada jalan yang lurus. Hanya Allah yang beri taufik.

Ditulis : Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.

Diringkas dari buletin At Tauhid edisi V/49 https://buletin.muslim.or.id/mengucapkan-selamat-natal-dianggap-berbuat-baik/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *