Loyalitas Seorang Muslim

<<<>>> 

Dalam konteks akidah :

  • Al-wala’ : loyal terhadap apa yang dicintai dan diridai Allah
  • Al-bara’ : berlepas diri / tidak loyal terhadap apa yang Allah benci / murkai.
  • Kedua sikap tersebut bisa terkait perkataan, perbuatan, kepercayaan, atau person tertentu.

 

Kekeliruan yang sering terjadi:

1) Sebagian muslimin ada yang mengaku benci terhadap kekufuran, namun masih ikut menyemarakkan, memfasilitasi, dan mengucapkan selamat atas hari perayaan kekufuran.

2) Meremehkan penggunaan atribut khas agama lain.

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.
(H.R. Ahmad dan Abu Daud, sahih).

 

Jangan salah kaprah, Al-bara’ terhadap kekafiran dan para pelakunya tidaklah menghalangi untuk:

  1. Berakhlak mulia kepada mereka
  2. Berdamai dengan mereka
  3. Berbuat baik dan adil

 

“… Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada (diri Nabi) Ibrahim … ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu…’.”

(Q.S. Al-Mumtahanah:4).

 

<<<>>> 

 

 

Mengenal istilah al-wala’ dan al-bara’

 

Salah satu bagian dari keyakinan (akidah) seorang muslim adalah adanya apa yang dikenal dengan istilah al-wala’ dan al-bara’. Makna asli dari al-wala’ di dalam bahasa Arab berkisar pada makna menolong, mencintai, memuliakan, menghormati, dan makna-makna lainnya yang semisal. Dalam bahasa Indonesia kata yang maknanya mendekati makna al-wala’ adalah loyalitas.

 

Adapun al-bara’ merupakan kebalikan dari al-wala’. Secara bahasa maknanya berkisar pada makna menjauh, melepaskan, membenci dan memusuhi. Karena al-bara’ merupakan kebalikan dari al-wala’, maka al-bara’ bisa diterjemahkan sebagai sikap tidak loyal atau berlepas diri terhadap sesuatu.

 

Di dalam konteks akidah, al-wala’ bermakna loyal terhadap apa yang dicintai dan diridai Allah, sedangkan al-bara’ bermakna berlepas diri atau pun tidak loyal terhadap apa yang Allah benci serta murkai. Loyal dan benci tersebut bisa terhadap perkataan, perbuatan, kepercayaan, ataupun person tertentu.

 

Keberadaan prinsip al-wala’ dan al-bara’ di dalam Islam telah banyak Allah jelaskan di dalam Al-Quran dan dijelaskan pula oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda Beliau, di antaranya Allah sebutkan dalam dua ayat berikut (yang artinya):

 

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada (diri Nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata’.” (Q.S. Al-Mumtahanah:4).

 

Dalam ayat ini sangat jelas Allah mencontohkan al-bara’ yang telah dipraktikkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan para pengikutnya terhadap kesyirikan dan kekufuran.

 

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Q.S. Al-Mujaadilah:22).

 

Dalam ayat ini Allah menyebutkan tentang karakter orang yang beriman, yaitu mereka tidak memberikan al-wala’ berupa kasih sayang kepada orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Adapun dalam hadis, di antaranya bisa dilihat pada dua hadis berikut:

 

“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena-Nya, maka sungguh telah sempurna keimanannya.” (H.R. Abu Dawud dan Al-Hakim, sahih).

 

“Ikatan iman yang paling kuat adalah memberikan loyalitas karena Allah, memberikan sikap permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah.” (H.R. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 3: 429; hasan. Lihat Ash-Shahihah).

 

Dua hadis di atas sangat jelas menunjukkan bahwa al-wala’ dan al-bara’ merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seseorang.

 

Contoh penerapan al-wala’ dan al-bara’

 

Sebagaimana telah disebutkan di awal, al-wala’ dan al-bara’ bisa diterapkan dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan, atau pun person tertentu untuk memperjelas penerapannya. Berikut contoh apa yang dicintai dan diridai oleh Allah:

  • Contoh perkataan: kalimat takbir “Allahu Akbar”
  • Contoh perbuatan: salat
  • Contoh kepercayaan: meyakini wajibnya salat
  • Contoh person: orang yang salat

 

Seorang muslim yang ingin menyempurnakan akidahnya, maka wajib baginya untuk wala’ (loyal, mencintai) terhadap kalimat takbir, perbuatan salat, kepercayaan tentang wajibnya salat, dan juga orang-orang yang menegakkan salat.

 

Sebaliknya, jika seseorang bara’ (memusuhi atau membenci) terhadap kalimat takbir, perbuatan salat, kepercayaan tentang wajibnya salat, dan juga bara` terhadap orang-orang yang menegakkan salat, maka dia adalah orang yang cacat akidahnya.

 

Adapun contoh apa yang dimurkai dan dibenci oleh Allah:

  • Contoh perkataan: kalimat “Allah memiliki anak
  • Contoh perbuatan: mendatangi dukun
  • Contoh kepercayaan: percaya bahwa dukun mengetahui hal yang ghaib
  • Contoh person: orang yang datang ke dukun

 

Seorang muslim yang ingin menyempurnakan akidahnya, maka wajib baginya untuk bara’ (memusuhi atau membenci) terhadap kalimat “Allah memiliki anak”, perbuatan mendatangi dukun, kepercayaan bahwa dukun mengetahui hal yang ghaib, dan juga terhadap orang-orang yang datang ke dukun.

 

Juga sebaliknya, jika seseorang wala’ (loyal atau mencintai) terhadap kalimat “Allah memiliki anak”, perbuatan mendatangi dukun, kepercayaan bahwa dukun mengetahui hal yang ghaib, dan juga terhadap orang-orang yang datang ke dukun, maka dia adalah orang yang cacat akidahnya.

 

Kekeliruan yang sering terjadi

 

Pertama, sebagian kaum muslimin ada yang mengaku benci terhadap kesyirikan dan kekufuran, namun masih ikut menyemarakkan dan mengucapkan selamat atas hari raya agama lain yang pada hakikatnya adalah perayaan kesyirikan dan kekufuran. Menyemarakkan dan mengucapkan selamat atas hari raya tertentu merupakan bentuk al-wala’. Allah berfirman tentang di antara karakteristik hamba-Nya yang sejati, yaitu “orang-orang yang tidak mempersaksikan kedustaan.” (Q.S. Al-Furqan: 72). Sebagian ulama menafsirkan kedustaan di ayat tersebut sebagai perayaan-perayaan orang-orang kafir.

 

Kedua, hal yang mirip dengan poin pertama, yaitu kaum muslimin yang tidak ikut menyemarakkan dan mengucapkan selamat atas hari raya mereka, namun ikut menolong atau memfasilitasi terselenggaranya hari raya tersebut, semisal dengan memfasilitasi tempat dan menyediakan makanan dan minuman untuk perayaan tersebut. Padahal Allah berfirman, “Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, serta janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Q.S. Al-Maidah: 2).

 

Ketiga, menganggap remeh penggunaan atribut-atribut tertentu yang itu merupakan ciri bagi agama lain, seperti penggunaan pakaian dan topi dengan warna dan model tertentu. Menggunakan atribut yang merupakan ciri agama lain tergolong sebagai wujud dari al-wala’. Terdapat ancaman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait hal ini, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud, sahih).

 

Jangan Salah Kaprah

 

Prinsip al-wala’ dan al-bara’ sering dijadikan alasan oleh musuh-musuh Islam untuk menyerang Islam dengan mengatakan Islam sebagai agama yang tidak toleran. Bahkan al-wala’ dan al-bara’ dikatakan sebagai ajaran biang terorisme.

 

Anggapan tersebut tidaklah benar. Perlu ditekankan bahwa adanya prinsip al-bara’ terhadap kekafiran, kesyirikan, dan para pelakunya tidaklah menghalangi seorang muslim untuk melakukan hal-hal berikut:

  1. Berakhlak mulia kepada mereka, lebih-lebih jika akhlak mulia tersebut ditujukan untuk berdakwah kepada mereka dan melembutkan hatinya. Kebencian terhadap kekafiran, kesyirikan, dan para pelakunya tidaklah bertentangan dengan akhlak mulia.
  2. Berdamai dengan mereka. Membenci kekafiran, kesyirikan, dan para pelakunya tidaklah kemudian kita harus selalu hidup dalam keadaan berperang. Bahkan seharusnya dalam kebanyakan kondisi diusahakan berdamai. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (S. Al-Anfal: 61). Hidup berdamai tidaklah bertentangan dengan membenci praktik kesyirikan, kekafiran, dan pelakunya.
  3. Berbuat baik dan berlaku adil. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (S. Al-Mumtahanah: 8). Lebih-lebih jika pelaku kesyirikan dan kekafiran itu adalah orang-orang yang memiliki hak yang lebih, semisal orang tua, kerabat, dan tetangga, maka berbuat baik pada mereka lebih dianjurkan.

 

Allah adalah Dzat Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Ketika Allah menetapkan adanya suatu syariat maka pasti di dalamnya terdapat unsur keadilan dan hikmah, termasuk di dalam prinsip al-wala’ dan al-bara’ ini. Wallahu A’lam.

Penulis: Muhammad Rezki  Hr, S.T., M.Eng., Ph.D. (Alumnus Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta)

Murajaah Ustaz Abu Umair BA. M.Pdi

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *