Toleransi Seharusnya Begini

Edisi 2021

<>

  • Tanggal lahir Nabi ‘Isa ‘alaihissalaamtidak diketahui secara pasti
  • Toleransi adalah batas ukur penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan (KBBI). Agama memiliki batas-batas yang tak boleh dilanggar
  • Mengucapkan selamat hari raya agama lain kepada non-muslim atau terlibat dalam syiar merekaadalah haram berdasarkan kesepakatan ulama. Karena, secara tak langsung ia mengakui keyakinan mereka dan mendustakan Al Quran
  • Toleransi yang benar: tetap berbuat baik tanpa ikut merayakan hari rayanya
  • Dalam Islam suatu ucapan itu sangat bernilai harganya, dengannya bisa menyatukan (akad nikah), memisahkan (talak), masuk islam (syahadat), bahkan bisa membuat amal jadi hancur (riya’/sum’ah).

Siapa yang meniru suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka.

(H.R. Abu Dawud)

<>

Bismillah. washshalaatu wassalamu ‘ala Rasulillah

Sebentar lagi kita akan melewati dua perayaan yang dinanti-nantikan banyak orang, sebab libur panjang yang diakibatkannya, yaitu Natal dan Tahun Baru. Dua perayaan tersebut sering disebut secara bersamaan, karena waktunya saling berdekatan. Tetapi sayangnya banyak kaum muslimin yang masih ikut-ikutan merayakannya, baik karena ingin dianggap “toleran” atau karena minimnya ilmu agama yang dimiliki.  Tetapi tahukah Pembaca sekalian, bahwa dua perayaan yang diadopsi agama Kristen tersebut sebenarnya merupakan perayaan paganisme (penyembah berhala dan dewa-dewa) dari bangsa Romawi dan tidak ada asal-usulnya di dalam kitab agama Kristen atau Bibel!

Berikut ini beberapa alasan mengapa kita tidak seharusnya merayakan Natal dan Tahun Baru:

Ketidakpastian waktu kelahiran Nabi ‘Isa alaihissalam

Salah satu sebab 25 Desember ditetapkan sebagai perayaan Natal (Natal: kelahiran) adalah karena Nabi ‘Isa ‘alahissalam diklaim lahir pada tanggal tersebut. Seorang pakar agama Kristen, Bruce Forbes, menerangkan bahwa setelah ditelaah, disimpulkan bahwa tanggal lahir Yesus/Isa ‘alaihissalam tidak dapat dipastikan secara historis,

Pada abad kedua dan ketiga beberapa orang Kristen mencoba menentukan tanggal lahir Yesus, tetapi kesimpulan mereka sangat beragam. Beberapa dari mereka mengatakan tanggal 25 dan 28 Maret, 19 dan 20 April, 20 Mei dan 18 November sebagai tanggal lahirnya.” (Christmas: A Candid History, hlm. 20.).

Salah satu budaya para penyembah berhala dan dewa bangsa Romawi

Dionysius bar Salibi, Uskup abad ke-12 dari Suriah menjelaskan bahwa alasan mengapa Bapa-bapa Gereja memindahkan perayaan Epifani (Hari Kelahiran Yesus) dari tanggal 6 Januari menjadi 25 Desember adalah karena mereka mengatakan, “Pada tanggal tersebut bertepatan dengan budaya para penyembah berhala dan dewa dalam merayakan kelahiran matahari, dan mereka menyalakan lilin untuk menghormati hari tersebut, dan mengundang serta mengajak orang-orang Kristen kepada ritual tersebut. (Christianity and Paganism in the Fourth to Eighth Centuries, hlm. 155.).

Bentuk penghinaan kepada Allah dan Mendustakan Al-Quran

Dengan ikut merayakan atau mengucapkan Natal, berarti kita secara tidak langsung ikut mengakui bahwa Yesus/’Isa ‘alahissalam adalah anak Allah atau jelmaan Allah di muka bumi. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

<{وَقَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱلرَّحْمَٰنُ وَلَدًا لَّقَدْ جِئْتُمْ شَيْـًٔا إِدًّا تَكَادُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنشَقُّ ٱلْأَرْضُ وَتَخِرُّ ٱلْجِبَالُ هَدًّا}>

“Dan mereka (orang Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak.’ Sungguh, kalian telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu)’” (Q.S. Maryam: 88-90).

Mengkhianati Umat Islam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang meniru (kebiasaan) suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka.” (H.R. Abu Dawud No. 4031, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Terdapat juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalian akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang dhabb (kadal padang pasir), kalian akan ikut memasukinya.” Para sahabat Nabi bertanya, “Wahai Rasulullah, (apakah mereka) kaum Yahudi dan Nashrani?” Beliau bersabda, “Siapa lagi?” (H.R. Bukhari no. 3456).

Cuma demi toleransi saja kok!

Sebagian muslimin bersikukuh tetap merayakan dan mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru dengan alasan toleransi antar umat beragama. Pembaca sekalian—yang semoga dirahmati Allah Ta’ala—, pertama-tama perlu kita ketahui apa itu toleransi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.

Mari kita analogikan toleransi dengan produksi manufaktur mobil. Jika sebuah pabrik memproduksi seratus ribu mesin mobil, maka sudah pasti tidak ada mesin mobil yang hasil produksinya sama persis, pasti akan selalu ada perbedaan, tetapi perbedaan tersebut masih berada dalam batas toleransi. Jika mesin tertentu hasil produksinya di luar batas toleransi spesifikasi tertentu, maka mesin tersebut akan menjadi tidak berfungsi dan harus diproduksi ulang.

Demikian pula agama. Setiap agama memiliki batas-batas yang perlu dijaga dan dihormati. Jika batas tersebut dilanggar, maka ia telah melanggar toleransi yang diperbolehkan dalam agama tersebut. Merayakan atau mengucapkan selamat pada perayaan umat lain adalah bentuk toleransi yang tidak diizinkan dalam Islam. Sebab Islam menegaskan bahwa Tuhan hanyalah Allah semata, Dia tidak memiliki anak maupun menjelma ke dalam tubuh manusia, sebagaimana yang diklaim pada perayaan Natal. Sehingga ikut merayakan berarti ikut mengakui.

Toleransi yang benar: tetap berbuat baik tanpa ikut merayakan

Tidak ikut merayakan atau mengucapkan perayaan Natal dan Tahun Baru bukan berarti kita tidak berbuat baik kepada umat beragama lainnya. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan untuk tetap berbuat baik dengan penganut agama lain.

Allah Ta’ala berfirman,

<{لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ}>

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. Al Mumtahanah : 8).

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ada jenazah yang lewat di hadapan kami, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri. Maka kami pun berdiri bersama beliau, kemudian kami berkata, ‘Wahai Rasulullah! Itu adalah jenazah orang Yahudi?’ Beliau pun bersabda, ‘Jika kalian melihat jenazah, berdirilah’” (H.R. Bukhari no. 1311).

Sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pernah ada seorang anak Yahudi melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia sakit, kemudian Nabi datang menjenguknya dan duduk di sisi kepalanya”. (H.R. Bukhari).

Bergulirnya waktu sebagai sarana muhasabah

Jadikanlah bergulirnya waktu sebagai sarana muhasabah diri. Ini adalah fase baru. Kita berdiri di hadapannya sembari mengarungi perahu kehidupan. Berkurang lagi satu tahun umur kita. Tidakkah kita berhenti sejenak untuk berpikir, mengingat-ingat, menghitung, dan mengambil pelajaran?

Sudah berapa banyak ibadah kita? Sudah seberapa sering kita mengingat akhirat? Sudah berapa ayat atau surat yang kita baca atau hafal? Sudahkah kita membalas kebaikan orang tua?

Hidup ibarat perjalanan dan setiap perjalanan membutuhkan bekal. Sudahkah kita menyiapkan bekal perjalanan kita di dunia ini menuju kampung akhirat?

Washallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

Penulis : Fadhil Fikrian Nugroho (Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)

Pemuroja’ah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Ziyadah: Tak Sekedar Ucapan

Dalam Islam suatu ucapan itu sangat bernilai harganya. Dengan ucapan bisa menyatukan dua insan dan keluarga (akad nikah), dengan ucapan bisa memisahkan suami dan istri (talak), dengan ucapan dapat membuat seseorang masuk ke dalam islam (syahadat) atau keluar dari Islam, dengan ucapan seseorang akan di masukan ke dalam surga atau neraka, dengan ucapan salat seseorang bisa menjadi batal, dengan ucapan pula seseorang bisa mendapatkan pahala (zikir) atau dosa (berkata buruk), bahkan amalannya dapat musnah tak tersisa (riya’ dan sum’ah).

Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat (HR. Bukhari)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *