Ketika wabah melanda

Edisi 1630

<<<>>>

  1. Bolehnya salat lima waktu dan salat Jumat di rumah saat ada uzur syar’i, semisal terkait wabah di daerah sekitar.
  2. Selain beriman kepada takdir, kita juga harus bersabar dan bertawakkal dengan berusaha.
  3. Musibah yang menimpa agama semisal kesyirikan lebih berbahaya dari musibah penyakit badan. Suatu musibah tidak dihindari dengan musibah lain yang lebih besar.
  4. Taat kepada Allah membawa kepada kemaslahatan. Menaati pemerintah pada hal yang tak bertentangan dengan syariat termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada Allah.

“… Tidaklah seorang hamba ada di suatu negeri yang terjangkit wabah di dalamnya, lantas ia tetap di dalamnya, ia tidak keluar dari negeri tersebut lalu bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah wabah itu terkena melainkan dengan takdir Allah, maka ia akan mendapatkan pahala syahid.

(H.R. Bukhari).

<<<>>>

Bismillah, wash-shalatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du.

Saat ini negara Indonesia dan negara-negara lain di dunia sedang menghadapi wabah penyakit yang berbahaya, yaitu Covid-19 (virus Corona). Penyebaran virus tersebut begitu cepat hingga ribuan orang harus kehilangan nyawa. Banyak orang mengalami ketakutan dan kekhawatiran untuk keluar rumah hingga banyak negara mengeluarkan aturan lockdown bagi rakyatnya. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan bagi kaum muslimin terkait bagaimana pelaksanaan salat yang sebelumnya berjamaah di masjid, apakah boleh melaksanakan salat di rumah karena takut terjangkit virus? Lalu bagaimanakah sikap seorang muslim dalam menghadapi wabah virus ini? 

Salat Berjamaah dan Salat Jum’at Saat Terjadi Wabah

Di antara syariat yang Allah wajibkan bagi hamba-Nya adalah salat lima waktu. Allah menjadikan salat satu-satunya ibadah yang Nabi shallallahualaihi wa sallam terima langsung dari langit pada peritiwa Isra’ Mi’raj. Selain itu, salat adalah amalan pertama kali yang akan dihisab di akhirat kelak. Meskipun salat lima waktu diwajibkan, Allah juga memberikan keringanan kepada hamba-Nya. Salah satu keringanan yang Allah berikan adalah salat di rumah (bagi laki-laki) jika ada uzur syar’i(halangan yang menyebabkan orang tidak dapat pergi berjamaah ke masjid), yaitu seperti hujan deras, sakit, angin bertiup kencang (badai), dan sebagainya.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Allah tidak menjadikan agama ini sebagai kesukaran untukmu.” (Q.S. Al-Hajj : 78).

Ketika terjadi wabah virus Corona (Covid-19) pada saat ini, maka orang yang khawatir terjangkit virus (karena sudah menyebar di daerahnya) atau karena dirinya sendiri takut dapat mencelakai orang lain, maka ia diberi keringanan tidak menghadiri shalat berjamaah dan shalat Jumat (diganti shalat zhuhur). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.”(Hadits hasan, H.R. Ibnu Majah).

Apakah Perlu Takut Wabah Corona?

Ada beberapa orang yang mengatakan, “Corona adalah ciptaan Allah, jangan takut Corona, Berimanlah Kepada Allah!”. Tentunya pernyataan tersebut kurang tepat karena Allah dan Rasul-Nya selain memerintahkan kita untuk beriman kepada takdir juga memerintahkan untuk bertawakkal dengan mengambil sebab dan usaha. Hal ini bertujuan agar kita dapat terhindar dari wabah penyakit tersebut. Beriman terhadap qadha dan qadar tidaklah menafikan mengambil sebab dan mengambil sebab, tidaklah bertentangan dengan kesabaran.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga merekamengubah diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d:11).

Untuk mencegah tertularnya suatu penyakit Rasulullah memerintahkan untuk menjauh dari si penderita, “Larilah dari orang yang terkena lepra sebagaimana engkau lari dari singa” (H.R. Al-Bukhari). Beliau juga bersabda, “Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat” (H.R. Al-Bukhari).

Ada yang Lebih Bahaya dari Corona

Sesungguhnya ada bahaya yang lebih besar dari virus Corona. Bahaya tersebut adalah musibah yang menimpa agama, yang mana merupakan puncak dari kerugian dan akhir dari harapan.

Ketika seseorang ditimpa suatu penyakit, maka Allah gugurkan dosa-dosanya. Ketika seseorang diberikan cobaan kehilangan harta dan benda, Allah angkat derajat karena kesabarannya. Tapi tatkala musibah itu menimpa agamanya, dijadikan dia senang kepada maksiat, dijadikan pula dia berat untuk melakukan ketaatan.

Maka inilah hakikat dari sebuah musibah, bahaya yang akan menyengsarakan seseorang tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. 

Menghindari Musibah dengan Musibah

Beberapa orang mencoba melakukan ritual tolak bala untuk menangkal wabah Corona dengan benda-benda tertentu. Tentu yang dilakukan tersebut selain tidak logis juga tidak mendatangkan manfaat apapun karena tidak sesuai dengan arahan pakar kesehatan dan bertentangan dengan ajaran agama (berbuat syirik).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik.” (H.R. Ahmad, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Daripada melakukan ritual yang tidak ada tuntunannya dari Nabi, lebih baik kita perbanyak doa yang sudah diajarkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, tidak lupa juga membaca dzkir pagi dan petang. Jangan sampai menghindari musibah dengan musibah, sudah datang musibah kita datangkan lagi musibah yang lebih besar yaitu dengan berbuat kesyirikan.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(Q.S. An Nisa’: 48).

Syahidkah Mati Karena Wabah Corona?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena ath-tha’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (H.R. Bukhari).

Agar mendapat pahala syahid, maka seseorang hendaknya bersabar dan berharap pahala dari Allah. Syahid adalah bagi siapa yang beriman kepada Allah dan apa yang ditakdirkan untuknya, sedangkan azab adalah bagi yang ingkar dan ahli maksiat.

Sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ath-tha’un (wabah yang menyebar dan mematikan), maka beliau menjawab, 

Itu adalah adzab yang Allah turunkan pada siapa saja yang Allah kehendaki. Namun Allah menjadikannya sebagai rahmat kepada orang beriman. Tidaklah seorang hamba ada di suatu negeri yang terjangkit wabah di dalamnya, lantas ia tetap di dalamnya, ia tidak keluar dari negeri tersebut lalu bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah wabah itu terkena melainkan dengan takdir Allah, maka ia akan mendapatkan pahala syahid.” (H.R. Bukhari).

Taat Agar Selamat

Sebagai seorang muslim yang beriman, hendaklah kita taat dan patuh terhadap apa yang telah Allah perintahkan. Karena di balik perintah tersebut terkandung hikmah dan kemaslahatan bagi kehidupan kita. Salah satu yang Allah perintahkan kepada kita adalah untuk menaati ulil amri (pemerintah) pada hal yang tidak bertentangan dengan syariat.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan ulil amri kalian.” (Q.S. An-Nisaa: 59).

Ketika pemerintah menghimbau dan memberi aturan kepada rakyatnya terkait pencegahan virus Corona (Covid-19), hendaknya kita menaati dan mengikuti prosedur yang telah pemerintah tetapkan. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi perluasan penularan dan penyebaran virus tersebut.

Kita memohon ampunan kepada Allah Ta’ala untuk seluruh kaum muslimin, mengangkat wabah penyakit ini dan menjadikan kita rakyat yang selalu bertakwa kepada-Nya dan taat kepada pemimpin. Kita juga memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan para pempimin kaum muslimin senantiasa berada dalam ketakwaan dan diberi kekuatan untuk memimpin negara dengan adil. Aamiin.


Penulis : Arif Muhammad Nur Wijaya, S.Pd.

Murajaah : Ustadz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *