Ini Kedudukan Akal dan Dalil Syar’i

Edisi 1940

<>

  • Islam memuliakan dan menjaga akal sehat, di antara buktinya:
    • Semua yang merusak akal itu diharamkan
    • Islam mendorong untuk menuntut ilmu
    • Syarat utama agar seseorang diwajibkan melakukan suatu syariat
    • Termasuk 5 hal primer yang harus dijaga: agama, jiwa, harta, nasab (keturunan), dan akal
  • Akal ditempatkan secara tepat pada posisinya. Walau memiliki keterbatasan, logika dan akal sehat tidak diremehkan, tak juga diperlakukan berlebihan sehingga menjadikan standar kebenaran agama semata-mata dari akal.
  • Akal tetap memerlukan bimbingan wahyu, baik Al Quran maupun As Sunnah.
  • Akal sehat tak bertentangan dengan dalil syari’i. Jika tampak seakan-akan bertentangan, maka dahulukan dalil. Ini bisa dikarenakan:
    • Kurangnya ilmu kita
    • Dalil yang digunakan lemah
    • Belum bisa membedakan yang “membingungkan” dari yang “tak masuk akal”
  • Tinggalkan pemahaman yang lebih mendahulukan akal dan perasaan daripada dalil syar’i yang shahih.

<>

Bismillaah, alhamdulillaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasuulillaah, wa ba’du. Di antara nikmat besar yang dikaruniakan oleh Allah Ta’ala kepada kita adalah akal sehat, yang dengannya kita bisa berfikir, membangun peradaban, dan membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal kita. Dengan adanya akal pula kita dibedakan dari hewan.

Allah Ta’ala banyak mendorong manusia supaya mau menggunakan akalnya untuk berfikir. Di antaranya adalah firman-Nya,

<{وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ ۖ وَٱلنُّجُومُ مُسَخَّرَٰتٌۢ بِأَمْرِهِۦٓ ۗ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ}>

 “Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (Q.S. an-Nahl:12).

Definisi akal

Secara bahasa, ‘aql (akal) bisa bermakna al-hikmah (kebijakan) atau tindakan yang baik dan tepat. Akal juga bisa bermakna sifat. Ada perkataan ‘uqila lahu shay’un’, yang artinya “dijaga” atau “diikat” (hubisa) akalnya dan dibatasi”. (lihat Lisanul ‘Arab karya Muhammad Ibnu Mukarram).

Sedangkan secara istilah, akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah Ta’ala (untuk manusia), kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah Ta’ala. (lihat Syarh ‘Aqidah Ahlu Sunnah karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas).

Islam memuliakan akal

Agama Islam adalah agama yang sangat adil dan sempurna. Agama kita memuliakan akal sehat karena kemampuan berfikir dan memahami sesuatu dengan baik merupakan anugerah yang besar dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Islam menetapkan syariat untuk menjaga dan mengembangkan akal, di antaranya:

  1. Islam memasukkan akal ke dalam dharuriyatul khamsah, yaitu 5 kebutuhan primer yang harus dijaga. 5 hal tersebut adalah agama, jiwa, harta, nasab (keturunan), dan akal.
  2. Syari’at Islam mengharamkan semua yang bisa merusak akal, baik yang maknawi (abstrak) seperti perjudian, (musik) dan nyanyian, memandang sesuatu yang diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr (minuman keras), narkoba, dan lainnya serta memberikan sanksi kepada yang melakukannya. (lihat Maqasidu Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyah karya Dr. Yusuf bin Muhammad Al-Badawi).
  3. Islam menjadikan akal sebagai salah satu syarat utama taklif (pewajiban / pembebanan dalam syari’at). Orang yang masih belum sempurna akalnya seperti anak-anak, atau yang memang memiliki kekurangan dalam akalnya seperti orang gila, kewajibannya menjalankan syari’at menjadi gugur.
  4. Islam memerintahkan umatnya untuk belajar dan menuntut ilmu, yang dengannya akal dapat lebih berkembang dan meningkat. Kemudian memberikan derajat yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu dan mengamalkannya, sebagaimana firman-Nya,

<{… يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ…}>

“Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujadilah:11)

Menempatkan akal sesuai kedudukannya

Meskipun Islam menghormati akal sehat, namun akal tetap ditempatkan di tempat yang layak sesuai dengan kedudukannya. Artinya, Islam memuliakan akal namun tidak berlebihan dalam memposisikannya, karena akal manusia juga memiliki keterbatasan sebagaimana penglihatan, pendengaran, serta indera manusia lainnya.

Sebaliknya, walaupun akal memiliki keterbatasan, agama Islam juga tidak meremehkan dan mencela akal serta logika yang benar. Akal yang baik justru akan menyempurnakan suatu ilmu dan amal. Intinya, sikap yang benar dalam memposisikan akal adalah bersifat pertengahan, tidak merendahkan logika dan akal sehat, dan juga tidak berlebih-lebihan sehingga menjadikan standar kebenaran agama semata-mata dari logika dan akal pemikiran manusia.

Akal membutuhkan dalil

Sepintar-pintarnya manusia dan setinggi apa pun kecerdasan akal manusia, pasti takkan bisa berjalan dengan lurus tanpa bimbingan wahyu, baik Al-Qur`an maupun As-Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Akal tidaklah bisa berdiri sendiri, akal baru bisa berfungsi jika dia memiliki naluri dan kekuatan sebagaimana mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapatkan cahaya iman dan al-Qur’an barulah akal bisa seperti mata yang mendapatkan cahaya matahari. Jika tanpa cahaya tersebut, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiyah).

Akal yang sehat dan dalil syar’i tidak akan bertentangan

Setelah kita mengetahui bahwa akal membutuhkan dalil, maka kita juga bisa memahami bahwa akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan dalil syar’i, baik dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah, karena semuanya berasal dari Allah Ta’ala Yang Maha Sempurna lagi Maha Bijaksana. Akal yang sehat adalah ciptaan Allah Ta’ala dan dalil syar’i merupakan Firman Allah Ta’ala. Mustahil segala sesuatu yang sama-sama bersumber dari Allah Ta’ala saling bertentangan.

Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya mempertentangkan antara akal dengan wahyu adalah asal-usul segala kerusakan di alam semesta. Itu adalah lawan dari dakwah para rasul dari semua sisi karena mereka (para rasul) mengajak untuk mengedepankan wahyu daripada pendapat akal.” (lihat Mukhtashar Shawa’iqul Mursalah karya Ibnul Qayyim).

Wajib mendahulukan dalil daripada akal

Jika kita sudah berusaha untuk memahami dalil syar’i dengan metode yang benar namun masih tampak bagi kita seolah-olah dalil tersebut bertentangan dengan akal maupun perasaan kita, wajib bagi kita untuk mengedepankan dalil syar’i daripada akal dan perasaan kita. Karena sesungguhnya anggapan kita bahwa dalil syar’i tidak selaras dengan akal sehat bisa disebabkan karena tiga hal :

  1. Kurangnya ilmu kita, sehingga menyebabkan adanya kerancuan dan syubhat bagi kita dalam memahami dalil.
    2. Dalil yang dijadikan pijakan adalah dalil yang lemah, bukan dalil yang shahih.
    3. Kita belum bisa membedakan mana yang “membingungkan akal” dan mana yang “tidak masuk akal”. Terkadang dalil syar’i memang bisa jadi membuat kita bingung memahaminya, namun tidak mungkin dalil syar’i tidak masuk akal sehat kita. 

Contohnya adalah peristiwa isra’ dan mi’raj, yaitu peristiwa naiknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke langit ke-7 dalam waktu satu malam. Maka bisa jadi kita bingung memikirkannya, bagaimana bisa dalam satu malam saja seorang manusia tanpa teknologi canggih bisa menembus langit tertinggi. Namun hal tersebut bukanlah hal yang tidak masuk akal, bahkan hal tersebut sangat mungkin dan masuk akal karena Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan mudah bagi-Nya untuk mewujudkan hal tersebut.

Oleh karena itu, shahabat Nabi yang mulia ‘Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa dalil syar’i wajib didahulukan daripada akal dan perasaan kita. Beliau berkata tentang mengusap khuf (alas kaki yang menutupi mata kaki, semacam sepatu boot), Seandainya (tolok ukur) agama ini dengan akal maka tentu bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (H.R . Abu Daud, shahih)

Tinggalkan pendapat yang menyimpang

Oleh karena itu, hendaknya kita meninggalkan pemahaman dan pendapat yang lebih mendahulukan akal dan perasaan daripada dalil syar’i yang banyak tersebar di masyarakat, semisal anggapan orang-orang liberal bahwa syari’at Islam kejam dan tidak adil serta Al-Qur`an dan Islam sudah tidak relevan lagi dengan zaman ini sehingga harus direvisi. Na’udzubillaahi min dzaalik.

Demikian pula hendaknya kita tinggalkan pendapat-pendapat menyimpang dari para filosof, mu’tazilah, dan yang semisalnya yang beranggapan bahwa adzab kubur dan rangkaian hari kiamat tidak ada, penolakan dan penyelewengan mereka terhadap sebagian shifat-shifat Allah Ta’ala, serta pemahaman dan perkataan mereka yang lain yang tidak bersumber dari dalil-dalil syar’i. Mudah-mudahan dengan kembalinya kita kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadikan kita sebagai seorang muslim yang lurus. Wallahu A’lam.

Penulis : Nizamul Adli Wibisono, S.T. (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Muroja’ah : Ust. Abu Salman, B.I.S.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *