Genggam Kesetiaanmu kepada Islam

Edisi 1925

<>

  • Para pendakwah hendaknya lebih gigih dalam menjelaskan pentingnya tauhid dan bahaya syirik, karena itulah jalan dakwah seluruh Rasul.
  • Seyogyanya kita mendukung dakwah tauhid dan para pendakwahnya, bukan menjatuhkannya dengan membela para penyeru kesyirikan atau kekafiran.
  • Seorang mukmin wajib mencintai segala yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan membenci apa pun yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah bagian dari keimanan.
  • Kita wajib merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dalam perihal cinta, benci, dan menentukan loyalitas serta permusuhan, bukan merujuk kepada perasaan dan akal manusia yang penuh kekurangan.
  • Seorang muslim tetap dapat bermuamalahdengan orang kafir dengan cara yang baik, tanpa menzhalimi mereka.
  • Nabi Ibrahim ‘alahis salaam telah memberikan teladan bagaimana cinta dan benci yang seharusnya diterapkan oleh umat Islam. Simak selengkapnya dalam buletin.

<>

Keanehan sebagian masyarakat

Ketika kita melihat perilaku beberapa tokoh masyarakat di zaman ini, mungkin terbetik suatu rasa penasaran. Mengapa sebagian pendakwah Islam jarang menjelaskan kepada umat tentang betapa krusialnya tauhid dan betapa mengerikannya kesyirikan? Para pendakwah itu kurang gigih dalam mendakwahkan tauhid, padahal itulah jalan dakwah seluruh Rasul ‘alaihimush shalaatu was salaam.

Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), Sembahlah Allah (semata), dan jauhilah thaghut!’ (Q.S. An-Nahl: 36). Yang dimaksud thaghut pada ayat ini adalah sesembahan selain Allah (Tafsir Al-Qurthubi 10/103).

Hal mengherankan lainnya, mereka justru mengkritik tajam orang-orang yang mendakwahkan tauhid dan berusaha menjauhkan umat dari berbagai macam kesyirikan. Padahal, pendakwah tauhid ini sudah menyampaikan peringatan mulia tersebut dengan santun.

Anehnya lagi, kritikan tajam itu tak tampak ketika Islam dijadikan bahan candaan dan ejekan. Di momen-momen itu, tiba-tiba mereka justru menjadi “bijaksana”. Sayangnya, “kebijaksanaan” itu hanya tersampaikan kepada orang kafir dan penggemar maksiat saja, bukan kepada saudara seiman yang sedang berusaha menapaki segenap petunjuk dan sunnah Nabinya. Lantas, sebenarnya mereka berpihak ke mana?

Beberapa orang setiap tahunnya menyerukan bolehnya mengucapkan selamat hari raya orang kafir. Itulah yang tersebar di berbagai media. Sayangnya seruan nyaring mereka hanya terdengar sampai di situ saja. Justru hampir tak pernah terdengar beliau-beliau ini mengingkari kesalahan fatal orang-orang kafir itu dalam ceramah maupun tulisan-tulisan mereka. Mengapa jari begitu kaku menuliskannya? Mengapa lisan begitu kelu untuk menyampaikannya?

Bukannya mengingkari kemungkaran, mereka justru mengingkari orang-orang yang bersemangat memeringatkan masyarakat dari bahaya kemungkaran tersebut. Sebenarnya ke mana cinta dan loyalitas mereka berlabuh? Andai ingin dikumpulkan, masih banyak tanda tanya lainnya yang muncul tatkala melihat sikap mereka. Tentu lidah mereka bisa berkelit, namun biarlah hati mereka sendiri yang menjawabnya. Itu pun kalau hati mereka belum mati, semoga saja.

Bagaimana sikap muslim sejati dalam hal cinta & benci

Pada dasarnya, seorang mukmin wajib mencintai siapa pun yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula sebaliknya, tidak boleh loyal dan mencintai kepada siapa pun yang tak dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kita wajib mencintai wali-wali Allah dan memusuhi musuh-musuh Allah. Bagaimana bisa seseorang mengaku beriman, tetapi ia malah mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya? (Syarh Kitab Al-Kabair hal. 93).

Ada 2 jenis cinta. Yang pertama adalah mahabbah ubudiyyah, yaitu cinta yang khusus ditujukan kepada Allah. Rasa cinta ini mengandung pengagungan, ketundukan, ketataan, dan sifat mendahulukan yang dicintai daripada yang lain. Ini tak boleh kita berikan kepada selain Allah. Adapun cinta yang kedua, yakni mahabbah musytarakah –seperti cintanya laki-laki kepada perempuan atau cinta orang tua kepada anaknya dan sebaliknya–  diperbolehkan selama sejalan dengan rasa cinta kepada Allah dan tidak membawa kepada pelanggaran syariat (Hasyiyah Kitab At-Tauhid hal. 236).

Kebencian dan permusuhan terhadap orang-orang beriman termasuk dosa besar, sedangkan kebencian kepada orang kafir dan munafik termasuk salah satu tanda kesempurnaan iman. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.(H.R. Ath-Thabarani, dinilai hasan oleh Al-Albani).

Bersikap pertengahan: tidak ekstrem kanan maupun kiri

Ada yang berkata bahwa kita tidak boleh membenci siapa pun –bagaimana pun aqidah dan agamanya–  dengan dalih “kemanusiaan”. “Tak boleh membenci siapa pun selama ia masih seorang manusia”, katanya. Mereka menganggap semua rasa benci sebagai sikap ekstrem. Alasan lain mereka adalah karena Allah memerintahkan kita untuk bermuamalah dengan baik terhadap orang kafir.

Ada juga yang beranggapan bahwa kita harus memboikot orang kafir secara total, serta tidak bermuamalah dengan mereka selamanya, karena Allah melarang kita untuk mencintai mereka. Anggapan kedua ini juga termasuk sikap ekstrem.

Kedua golongan ini mencampuradukkan kecintaan di dalam hati dengan perkara muamalah duniawi (Syarh Kitab Al-Kabair hal. 85).

Sebagian tokoh terlihat sangat semangat memanusiakan manusia, namun tanpa menuhankan Tuhan. Mereka melanggar ketentuan Rabb yang menciptakan manusia, seakan Allah Ta’ala bukanlah yang paling memahami seluk-beluk kemanusiaan. Sebagian yang lain berbuat zhalim bahkan melakukan teror kepada orang kafir dengan dalih benci kepada mereka.

Agar rasa ini dapat kita tempatkan dengan tepat, kita wajib merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dalam perihal cinta, benci, dan menentukan loyalitas serta permusuhan, bukan merujuk kepada perasaan dan akal manusia yang penuh kekurangan. Rasa benci kepada orang kafir tak boleh membuat kita berlaku zhalim kepada mereka. Bahkan, hendaknya kita membalas kebaikan orang kafir sebagai bentuk berbuat adil dalam muamalah. Hal ini bukan berarti bahwa kita loyal dan mencintai mereka. Rasa benci kepada orang kafir tidaklah membenarkan tindakan teror seperti membunuh mereka yang tak boleh dibunuh tanpa alasan yang benar (Syarh Kitab Al-Kabair hal. 84).

Naluri mencintai dan membenci

Rasa cinta dan benci adalah sesuatu yang wajar, bahkan bisa beriringan. Kita mencintai sisi-sisi kebaikan seseorang, namun membenci sisi-sisi keburukannya. Kita benci siapa pun yang mengusik ketenangan hidup orang-orang yang kita cintai.

Orang tua pada dasarnya mencintai anaknya. Namun ketika anaknya durhaka, timbullah kebencian kepada anaknya akibat kedurhakaannya. Bisa jadi benci itu baru sirna ketika anaknya berubah menjadi lebih baik. Tentu bukan berarti orang tua itu sama sekali tak mencintai anaknya.

Rasa cinta seorang istri kepada suaminya dapat berubah menjadi benci karena suaminya terciduk berselingkuh. Ia tidak hanya membenci perselingkuhan, tapi juga sang peselingkuh. Rasa benci itu lahir dari kekecewaan dan kesedihan atas perilaku orang yang ia cintai.

Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam merupakan figur panutan bagi umat Islam. Tentu saja beliau bukan figur yang dipenuhi kebencian, dan sungguh tak pantas digelari sebagai penebar kebencian. Namun, dengan lantang beliau berkata kepada kaumnya yang termaktub dalam Kitabullah (yang artinya), “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata.” (Q.S. Al-Mumtahanah : 4).

Beliau tidak hanya membenci dan memusuhi kekufuran, tetapi juga membenci orang-orang yang memilih kekafiran dalam hayatnya. Kecintaan Nabi Ibrahim kepada ayahnya, kecintaan Nuh kepada anaknya, dan kecintaan Nabi Muhammad ‘alaihimush shalaatu was salaam kepada pamannya, tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk menyampaikan dakwah tauhid kepada orang-orang tercinta.

Tentunya rasa benci kepada orang kafir itu bukan disebabkan karena sisi kemanusiaan semata, melainkan karena kedurhakaan mereka terhadap Rabb yang menciptakan alam semesta beserta seluruh manusia di dalamnya. Bersama rasa benci tersebut, teriring sikap bersedih atas pilihan mereka dan berharap agar mereka bisa kembali kepada jalan yang lurus selagi badan masih dikandung hayat. Tujuannya, agar mereka tidak hanya dimanusiakan di dunia, melainkan juga di akhirat, negeri keabadian kelak. Ketika mereka sudah kembali kepada fitrahnya menjadi hamba Allah yang mentauhidkan-Nya, maka berubahlah rasa benci pada mereka menjadi setulus-tulus cinta.

Demikianlah cara orang-orang yang beriman mengelola cinta dan rasa bencinya. Berlainan dengan orang yang bertutur manis mengaku tak membenci siapapun, bagaimana pun agama dan akidahnya. Jelas tercermin dari diri mereka keberpihakan dan loyalitas kepada musuh-musuh Allah, baik dalam hati, ucapan, hingga perbuatannya.

Mereka inilah orang-orang munafik. Ribuan tahun untaian tinta sejarah menyuguhkan kisah mereka sebagai musuh dalam selimut bagi orang-orang yang beriman. Mereka menyimpan kekafiran dalam hati, dan tentulah Allah Ta’ala mengetahuinya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Q.S. Al-Imran : 54). Usaha mereka dalam membuat tipu daya kepada orang-orang beriman takkan berhasil hingga hari penyesalan akan menyapa mereka kelak.

Ya Allah, lindungilah kami dari kemunafikan dan dari para pelakunya. Lindungilah kami dari sikap sombong dan merasa bahwa diri ini telah suci. Ya Rabb, hanya kepada-Mu lah kami berharap.

<>

Penulis : Reza Mahendra (Alumnus Ma’had Al-’Ilmi Yogyakarta)

Pemuroja’ah : Ustadz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *