Bagaimana Ruqyah Yang Syar’i? 

Edisi 1826

Ruqyah secara bahasa Arab artinya menjampi atau menghalau. Secara syar’i, ruqyah adalah jampi-jampi yang dirapalkan (dibacakan) untuk menyembuhkan demam, kejang-kejang, dan penyakit lainnya (Kitabut Tauhid lil Fauzan, hal. 48). Bedakan ruqyah dengan rukyah. Adapun ru’yah (‘= hamzah), maknanya adalah melihat, contohnya ru’yatul hilal untuk menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. 

Cara melakukan ruqyah secara umum adalah dengan merapalkan atau membacakan bacaan-bacaan ruqyah kepada orang yang sakit. Dan ruqyah tidak identik dengan kesurupan, karena ruqyah biasa digunakan juga untuk menyembuhkan penyakit baik penyakit badan yang nampak (seperti batuk, pilek, demam, dan semisalnya) maupun penyakit yang tidak nampak (seperti kesurupan dan penyakit ‘ain). 

 

Hukum Ruqyah 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa ruqyah hukumnya boleh jika memenuhi tiga syarat

Pertama, menggunakan bacaan yang jelas maknanya, tidak ada rapalan mantra-mantra yang samar atau tidak jelas maknanya. 

Kedua, bacaan yang digunakan tidak mengandung perkara yang bertentangan dengan syariat (bisa diambil dari ayat qur’an maupun doa dari hadist). 

Ketiga, hati tidak bergantung kepada ruqyah secara dzatnya, namun meyakini bahwa ruqyah adalah sekedar sebab untuk mengusahakan kesembuhan, yang terkadang Allah berikan kesembuhan dengannya dan terkadang tidak. 

Jika tiga syarat ini terpenuhi maka ruqyah yang dilakukan tersebut hukumnya boleh menurut para ulama. Berdasakan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, “Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan” (H.R. Muslim). 

Dan juga karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri melakukan ruqyah dan beliau pun pernah di-ruqyah. Demikian juga para sahabat Nabi pun melakukannya. Maka tidak mengapa melakukan ruqyah jika memenuhi kriteria-kriteria di atas, semisal meruqyah menggunakan ayat-ayat Al Qur’an, atau menggunakan doa-doa yang dikenal, atau lafadz-lafadz lain yang dipahami maknanya dan tidak terdapat pelanggaran syariat di dalamnya. 

Adapun jika dalam ruqyah terdapat unsur minta bantuan setan, atau minta bantuan kepada orang mati, atau tawasul dengan kedudukan orang yang sudah mati, atau terdapat mantra-mantra dari huruf muqata’ah (seperti alif, ba dan seterusnya) yang tidak jelas maknanya, maka ini semua ruqyah yang terlarang” (Syarah Kitabut Tauhid, rekaman nomor 11). 

Sehingga ruqyah itu dibagi menjadi dua : 

Pertama, ruqyah syar’iyyah. Yaitu ruqyah yang sesuai dengan tuntunan syariat, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz di atas. 

Kedua, ruqyah ghayru syar’iyyah. Yaitu ruqyah yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Ruqyah jenis ini dibagi menjadi dua lagi: yaitu [1] ruqyah bid’iyyah, yaitu ruqyah yang mengandung ibadah-ibadah yang tidak pernah dituntunkan oleh syariat [2] ruqyah syirkiyyah, yaitu ruqyah yang mengandung kesyirikan, seperti meminta bantuan dukun, menggunakan mantra-mantra setan, meminta bantuan kepada jin atau orang mati, menggunakan jimat, menggunakan sihir dan semisalnya. Inilah yang disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi), jimat dan pelet adalah kesyirikan” (H.R. Abu Daud no. 3883, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud). 

 

Hukum Meminta Di-Ruqyah 

Meminta di-ruqyah hukumnya mubah (boleh). Berdasarkan hadits dari Asma bintu Umais radhiallahu’anha, ia berkata, “Wahai Rasulullah, Bani Ja’far terkena penyakit ‘ain, bolehkah kami minta mereka diruqyah? Nabi menjawab: iya boleh. Andaikan ada yang bisa mendahului takdir, itulah ‘ain” (H.R. Tirmidzi no.2059, Ibnu Majah no. 3510, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah). 

Juga hadits dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memintaku agar aku diruqyah untuk menyembuhkan ‘ain” (H.R. Muslim no.2195). 

Namun, jika orang yang meminta di-ruqyah ia bertawakal kepada peruqyah atau kepada ruqyah-nya, inilah yang dilarang dalam hadits tentang 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Adapun orang yang meminta di-ruqyah dan tetap bertawakal kepada Allah, hukum asalnya boleh. 

 

Bacaan Ruqyah Dari Al Qur’an Dan Hadits 

Pada dasarnya, semua ayat-ayat Al Qur’an bisa digunakan untuk ruqyah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian” (Q.S. Al Isra’ : 82). 

Dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah masuk ke rumah Aisyah lalu mendapati ada wanita sedang menyembuhkan atau meruqyah Aisyah. Maka Nabi bersabda: sembuhkanlah ia dengan Al Qur’an” (H.R. Ibnu Hibban no.6098, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1931). 

Sehingga boleh membacakan ayat Al Qur’an apa saja kepada orang yang sakit. Namun, ada beberapa ayat Al Qur’an yang dianjurkan oleh para ulama untuk dibacakan untuk ruqyah. Di antaranya: surat Al Fatihah, surat An Nas, surat Al Falaq, surat Al Ikhlas, surat Al Baqarah ayat 1-5, surat Al Baqarah ayat 102-103, surat Al Baqarah ayat 123-124, surat Al Baqarah ayat 255, surat Al Baqarah ayat 285-286, surat Ali Imran ayat 18-19, dan lainnya (Diringkas dari kitab Al Iidhahul Mubin li Kasyfi Hiyalis Saharah wal Musya’wadzin, karya Syaikh Shadiq Ibnul Haaj, hal. 44-53). 

Sedangkan bacaan ruqyah dari hadits-hadits Nabi yang shahih lebih banyak lagi. Di antaranya dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam merasakan sakit, Malaikat Jibril meruqyahnya dengan doa: /bismillahi yubriik, wa min kulli daa-in yasyfiik, wa min syarri haasidin idza hasad, wa syarri kulli dzii ‘ainin/ (dengan nama Allah yang menyembuhkanmu. Ia menyembuhkanmu dari segala penyakit dan dari keburukan orang yang hasad dan keburukan orang yang menyebabkan ‘ain) (H.R. Muslim no.2185). 

Juga dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca doa ruqyah: “/adzhibil ba’sa rabbannaas, isyfii, antasy syaafi, laa syifaa-a illaa syifaa-uka syifaa-an laa yughadiru saqaman/ (wahai Rabb-nya manusia, hilangkanlah musibah ini, sembuhkanlah, Engkau adalah yang memberi kesembuhan, tidak ada kesembuhan kecuali dari-Mu, berilah kesembuhan yang sempurna sehingga penyakit tidak kembali lagi)” (H.R. Abu Dawud no. 3883, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

 

Cara Meruqyah 

Cara meruqyah adalah dengan membacakan ayat-ayat Al Qur’an kepada orang yang sakit dengan niat ruqyah. Atau membacakan doa-doa dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

Boleh juga dengan cara yang ada dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meniupkan kepada diri beliau sendiri dengan al mu’awwidzat (ayat-ayat dan doa-doa) ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Ketika sakit beliau semakin parah, akulah yang meniup beliau dengan al mu’awwidzat dan aku mengusapnya dengan tangan beliau sendiri karena berkahnya kedua tangan beliau” (HR. Al-Bukhari no. 5735 dan Muslim no. 2192). 

Boleh juga dengan membacakan ayat Al Qur’an atau doa-doa dalam hadits di depan air minum, kemudian air tersebut diminumkan kepada orang yang sakit. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan, “Malaikat Jibril pernah meruqyah beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ketika beliau sakit, dengan menggunakan air yang dibacakan: /bismillaah arqiika min kulli syai’in yu’dziika wa min syarri kulli nafsin aw ‘ainin hasidin allaahu yasyfiika bismillaahi arqiika/ sebanyak 3 kali. Ini adalah metode ruqyah yang disyariatkan dan ada manfaatnya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga pernah membacakan (ayat Qur’an dan doa-doa yang ma’tsur, ed.) pada air untuk Tsabit bin Qais radhiallahu’anhu lalu memerintahkan ia untuk memercikkan air tersebut pada dirinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Ath Thib dengan sanad yang hasan” (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/1899). 

Dan ruqyah itu pada hakekatnya adalah doa. Sebagaimana kita berdoa kepada Allah dianjurkan sesering mungkin, maka demikian juga ruqyah hendaknya dilakukan dengan sering dan konsisten. Dan ruqyah itu tidak harus dilakukan oleh seorang ustadz atau ulama. Bahkan setiap orang dapat meruqyah dirinya sendiri

 

Jual-Beli Air Ruqyah 

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah pernah ditanya tentang jual-beli air ruqyah. Beliau menjawab, “Realitanya, orang-orang yang biasa menjual air atau hal lain yang ditiupkan bacaan-bacaan semacam ini hanya sedikit sekali faidah dan manfaatnya. Karena ruqyah yang semacam ini, orang yang membacakan (ayat-ayat dan doa-doa) pada air atau yang lainnya tersebut tidaklah memaksudkannya kecuali untuk perkara duniawi dan maslahah pribadi.

Oleh karena itu kami nasehatkan untuk mencukupkan diri pada metode ruqyah yang biasa (bukan yang diperjual-belikan), yang diniatkankan untuk memberi manfaat bagi saudaranya sesama muslim dan menghilangkan gangguan darinya. Dan tidak perlu mengambil upah dari aktifitas ruqyah tersebut kecuali sekedar untuk biaya ganti air atau hal lain yang dibacakan ayat-ayat dan doa” (Sumber: http://www.almoslim.net/node/162974). 

Semoga sedikit penjelasan ini bisa memberikan ilmu yang bermanfaat seputar ruqyah syar’iyyah dan bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

 

Ditulis: Ustaz Yulian Purnama, S.Kom.

Dimurajaah: Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *