Tidak Semua Yang Berlabel Syar’i itu Syar’i

At Tauhid edisi III/10

Oleh: Didik Suyadi

Pada zaman sekarang, banyak penyakit yang menimpa manusia. Ada yang sudah diketahui obatnya dan ada pula yang belum diketahui obatnya. Hal ini merupakan cobaan dari Allah Ta’ala, yang juga akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia, Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Alloh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. (QS Asy Syuro: 30).

Ketika Seorang Muslim Sakit

Sesungguhnya ketika penyakit menimpa seorang muslim, maka dia mempunyai kewajiban untuk berikhtiar mencari obatnya dengan berusaha semaksimal mungkin. Dalam usaha mengobati penyakit yang dideritanya, maka wajib baginya memperhatikan tiga hal:

Pertama, dia harus meyakini bahwa obat dan dokter hanya sebagai sarana disembuhkannya penyakit saja, sedangkan yang benar-benar menyembuhkan penyakit hanyalah Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala ketika mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam yang artinya, “Dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkanku”. (QS Asy Syu’ara: 80)

Kedua, tidak boleh menggunakan barang yang haram sebagai obat, demikian juga cara pengobatannya tidak boleh dengan cara-cara yang haram apalagi syirik. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan (dari penyakit) kalian dari sesuatu yang haram”. (Hasan, HR Ibnu Hibban)

Tidak boleh juga berobat dengan hal-hal yang syirik, seperti: pengobatan alternatif dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, orang pintar, menggunakan jin, pengobatan jarak jauh dan sebagainya yang tidak sesuai dengan syari’at Islam, sehingga dapat mengakibatkan terjatuh ke dalam perbuatan syirik yang merupakan dosa besar yang paling besar.

Ketiga, dianjurkan untuk melakukan pengobatan dengan sesuatu yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ruqyah, yaitu membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa yang shahih, begitu juga dengan madu, habbatus sauda’ (jintan hitam), air zam-zam, bekam, dan lainnya.

Dan berikut ini kami akan menjelaskan pengobatan dengan cara ruqyah yang belakangan ini banyak terdapat praktek ruqyah yang tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Fenomena Ruqyah Yang Ada

Seiring dengan semakin merebaknya praktek ruqyah di tengah-tengah masyarakat, semakin bertambah minat masyarakat untuk menjadikan ruqyah sebagai solusi bagi penyakit mereka. Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa di sana ada praktek ruqyah yang sesuai dengan syari’at islam dan ada juga yang menyimpang, meskipun banyak orang yang melabeli praktek ruqyahnya sebagai ruqyah syar’i. Sehingga perlu bagi kita untuk mengetahui ruqyah yang syar’i dan ruqyah yang keliru.

Al Qur’an adalah As Syifa’ (Obat)

Tidak diragukan lagi bahwa pengobatan dengan Al Qur’an dan dengan cara yang diajarkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ruqyah, merupakan pengobatan yang bermanfaat, sekaligus penawar yang sempurna. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Kami turunkan dari Al Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al Isro’: 82). Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan bahwa Al Qur’an adalah obat/penawar. Bahkan Al Qur’an merupakan obat bagi semua penyakit hati dan penyakit fisik. Tetapi yang perlu diingat bahwa tidak semua orang mampu melakukan pengobatan terhadap suatu penyakit menggunakan Al Qur’an. Orang yang melakukan ruqyah harus mempunyai ilmu tentang ruqyah, mempunyai keyakinan yang kuat terhadap Allah Ta’ala, dan juga terpenuhi syarat-syarat ruqyah.

Syarat-Syarat Ruqyah Syar’i

Para ulama’ telah bersepakat bahwa ruqyah itu diperbolehkan jika memenuhi tiga syarat, yaitu :

Pertama, ruqyah tersebut harus menggunakan firman Allah Ta’ala, nama dan sifat-Nya, atau sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, ruqyah tersebut harus diucapkan dengan bahasa Arab, diucapkan dengan jelas dan dapat dipahami maknanya.

Ketiga, harus diyakini bahwa yang memberikan pengaruh bukanlah dzat ruqyah itu sendiri, tetapi pengaruh itu terjadi semata-mata karena kekuasaan Allah Ta’ala. Sedangkan ruqyah, itu hanya sebagai salah satu sebab saja.

Praktek Ruqyah Yang Tidak Syar’i

Penting untuk diketahui bahwa tidak semua praktek ruqyah yang dilakukan oleh kaum muslimin itu benar. Tetapi tersebar pula praktek ruqyah yang keliru. Sehingga bagi orang yang memperhatikan praktek pengobatan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, niscaya dia akan melihat berbagai penyimpangan dalam tata cara dan tujuan pada praktek ruqyah yang keliru tersebut. Terjadinya penyimpangan ini, di antaranya berpangkal pada dua hal:

Pertama, karena kurang memahami permasalahan agama dengan pemahaman yang benar.

Kedua, karena membenarkan perkataan jin yang merasuki badan seseorang. Karena pada asalnya jin itu pendusta meskipun terkadang perkatannya benar.

Berikut ini adalah dua contoh dari praktek ruqyah yang keliru yang sering terjadi di masyarakat:

1. Mengajak berkomunikasi jin dan membenarkan perkataannya

Hal ini sering kita dapati pada praktek ruqyah yang terjadi pada jaman sekarang. Fenomena ini hanya akan mengantarkan manusia menuju kerusakan dan pelanggaran. Orang-orang tersebut seolah-olah lupa kalau hukum asal jin adalah seorang pendusta. Para jin juga bukan sumber untuk mendapatkan ilmu. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, “Dia (saat ini) jujur kepadamu, tetapi ia makhluk yang pendusta”.

Praktek ruqyah yang seperti ini mengandung unsur pelanggaran terhadap pentunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dampak buruk berkomunikasi dengan jin adalah:

  • Terjadi fitnah dan perseturuan di antara manusia. Sebab tatkala jin mengatakan bahwa si Fulan adalah orang yang menyusupkan pengaruh sihir, dan ini didengar oleh orang banyak, maka dapat mengakibatkan timbulnya permusuhan dan kebencian di antara kaum muslimin. Berapa banyak terjadi perpecahan, permusuhan, putusnya tali silaturrahmi, keluarga yang tercerai berai lantaran perkataan jin yang ada dalam tubuh orang yang kerasukan jin??
  • Jin akan lebih lama tinggal dalam tubuh korban karena bacaan Al Qur’an dihentikan dengan komunikasi tersebut.

2. Menjadikan Ruqyah Sebagai Profesi

Ini adalah fenomena yang banyak terjadi pada zaman ini. Ada sebagian orang yang menyibukkan diri untuk mengobati penyakit dengan cara ruqyah. Tempat tinggal mereka diperluas dan siap menerima kedatangan para pasien. Jadwal kunjungan mereka tetapkan layaknya rumah sakit. Sehingga orang tersebut menjadikan ruqyah sebagai pekerjaan untuk mencari penghidupan.

Apabila kita melihat perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, perjalanan hidup para sahabat serta sejarah ulama’-ulama’ kaum muslimin yang tidak diragukan lagi keimanan dan keilmuan mereka. Maka kita tidak menemukan seorang pun di antara mereka yang mengkhususkan diri membuka praktek pengobatan dengan cara ruqyah. Kita juga tidak mendapati salah seorang di antara mereka yang menjadikan ruqyah sebagai mata pencaharian.

Oleh karena itu, kita dapat mengetahui bahwa mengkhususkan diri menjadi tukang ruqyah tidak pernah ada pada zaman salafush sholeh (generasi terbaik umat ini). Dan kita mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan, seandainya menjadikan ruqyah sebagai profesi itu baik niscaya mereka sudah melakukannya.

Semoga penjelasan yang ringkas ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya. Untuk lebih jelas tentang ruqyah silakan lihat buku “Ruqyah Mengobati Guna-Guna dan Sihir” yang ditulis oleh Al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah. [Didik Suyadi]

3 comments

  1. bila praktek ruqyahnya sudah benar sesuai syar’i tetapi dilakukan sebagai pekerjaan tetap, ko saya tidak melihat ada kesalahannya di sana. Menurut saya ini tidak bid’ah karena ini bukan ibadah, tetapi persis seperti praktek dokter. Kalau suatu profesi dulu tidak dikerjakan oleh salafus sholeh, dan hal itu terlarang, maka banyak sekali pekerjaan yg tidak boleh dilakukan sekarang. Bagaimana dengan dakwah yg jelas2 ibadah, dahulu tidak ada salafus sholeh yg dakwah lewat intenet, trus kenapa tidak dilarang?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *