Antara Tawa dan Tangis

Edisi 1947

  • Allah-lah Yang menciptakan segala hal, termasuk kebahagiaan dan kesedihan
  • Tawa dan tangis selalu datang silih berganti, tak bisa dihindari. Kebahagiaan abadi hanya di surga nanti
  • Kesedihan akan berlalu, jangan berputus asa dari mendapat kebahagiaan
  • Kesedihan adalah ujian yang dapat menghapus dosa-dosa
  • Tertawa belum tentu bahagia, dan menangis tak selalu terkait dengan derita, bahkan ada tangis yang berbuah sukacita
  • Jangan bergantung pada diri sendiri dalam mencari kebahagiaan maupun dalam menghindari kesedihan. Tempuhlah usaha dan serahkan kepada Allah
  • Jangan pernah berfikir bahwa maksiat dapat membuat bahagia atau menjauhkan kesedihan, justru itulah yang membuat hidup sempit
  • Jika ada pecandu maksiat yang terus menerus senang, itu adalah penangguhan bagi mereka di dunia, lalu siksa yang amat dahsyat di akhirat

<>

Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Pencipta. Tak hanya menciptakan tujuh lapis langit dan bumi, Ia juga menciptakan manusia dengan berbagai emosi dan ekspresi yang dirasakannya, termasuk tawa dan tangis. Allah Ta’ala berfirman,

<{وَأَنَّهُۥ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ}>

“Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (Q.S. An-Najm: 43).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan, “Dia lah yang membuat sebab-sebab tertawa dan menangis, yaitu kebaikan, keburukan, kesenangan, kebahagiaan, duka, dan kesedihan. Dan Allah memiliki hikmah yang tinggi akan hal itu.(Taisirul Karim Ar-Rahman hal. 977).

Berikut beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari setiap tawa dan tangis yang kita lalui di sepanjang episode kehidupan dunia ini.

Tawa dan tangis akan selalu datang silih berganti

Tawa dan tangis akan terus silih berganti mengiringi setiap momen hidup kita. Seorang ahli hikmah pernah berkata “dawamul hal minal muhal”. Artinya, tetapnya suatu keadaan merupakan sebuah kemustahilan.

Maka, bagimu yang masih mendambakan dan berusaha keras untuk hidup tanpa keberadaan tangis dan kesedihan sedikitpun di dunia ini, kita perlu berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak akan bisa sepenuhnya menghindar dari setiap tangisan dan kesedihan di dunia ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia paling sempurna nan paling dicintai Allah pun pernah menangis dan bersedih. Salah satu momennya ketika anak beliau yaitu Ibrahim wafat. Kala itu beliau bersabda, “Sungguh mata menangis dan hati bersedih, akan tetapi tidak kita ucapkan kecuali yang diridhai oleh Allah, dan sungguh kami amat bersedih berpisah denganmu wahai Ibrahim. (H.R. Al-Bukhari).

Begitu juga untukmu yang hidupnya banyak dirundung tangis dan kesedihan. Perlu kita sadari bahwa tangis maupun kesedihan akan berlalu, dan tak akan bertahan selamanya. Jangan berputus asa dari mendapat tawa dan kebahagiaan, karena tak ada kehidupan yang tak pernah diwarnai kebahagiaan sama sekali.

Mengapa aku masih saja menangis dan bersedih?

Barangkali ada yang bertanya, mengapa hidupku masih saja dilanda tangis dan kesedihan? Jawabannya, karena Allah ingin menguji kejujuran iman kita melalui beragam ujian. Allah Ta’ala berfirman,

<{… وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ}>

Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.(Q.S. Al-Anbiya: 35).

Boleh jadi Allah jadikan kita menangis dan bersedih dalam rangka menghapus dosa-dosa kita yang begitu amat jarang memohon ampunan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (H.R. Al-Bukhari & Muslim).

Kemudian, sebagaimana Allah karuniakan rasa takut untuk membantu kita bertahan hidup dan menghindari marabahaya, Dia juga menganugerahi kemampuan untuk menangis sehingga kita dapat mencurahkan perasaan serta meringankan beban pikiran dan emosional yang sedang kita alami.

Selain itu, tangis dan kesedihan dalam hidup menjadikan kita bisa memahami bahwa memang beginilah adanya dunia. Allah jadikan dunia ini diisi berbagai musibah dan kesedihan sebagai pertanda bahwa dunia ini hanya persinggahan yang penuh kekurangan, pertanda bahwa dunia ini bukanlah kampung halaman ideal kita. Hanyalah surga, kampung halaman yang dipenuhi kegembiraan tanpa sedikit pun duka di dalamnya, kampung yang layak untuk dicita-citakan dan diusahakan sekuat daya dan upaya.

Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara

Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim berkata, “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tertawa dan kesedihan bisa membuat menangis.(Tafsir Al-Baghawi 4/255).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (H.R. Muslim).

Namun, orang yang banyak tawanya ternyata tak selalu berbahagia. Ada kawan-kawan kita yang kesehariannya penuh canda tawa, bahkan pekerjaannya adalah membuat orang-orang tertawa. Setelah diskusi mendalam, ternyata mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka sedih karena orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk merasakan sedih. Oleh karena itu, hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu membawa kebahagiaan.

Di sisi lain, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga saudara kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Mereka menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, dan merasa lega setelahnya. Mereka menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Inilah tangisan yang akan membuahkan kebahagiaan.

Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan maupun kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia. Ikrimah rahimahullah berkata, “Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, jadikanlah sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar(Umdatut Tafsir 3/460).

Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keadaan seorang mukmin itu benar-benar mengagumkan. Semua urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar, dan itu pun baik baginya(H.R. Muslim).

Jangan bergantung pada diri sendiri..

Tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah. Oleh karena itu, jangan bergantung pada diri sendiri dalam mencari kesenangan dan tawa, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan.

Boleh-boleh saja kita pergi liburan atau bersenang-senang menekuni hobi untuk rehat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, sebagaimana orang sakit yang pergi berobat, yang memberi kesembuhan bukanlah sang dokter atau obatnya. Berobat hanyalah sebab. Hanya Allah Ta’ala yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah-lah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa pun yang Ia kehendaki.

Lebih penting lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah sebab hidup bahagia dan bisa menjauhkan kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari berbagai masalah hidup. Sebagian orang bergelut berbagai perbuatan haram, minum khamr, berjudi, berzina, selingkuh, dan lain-lain dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan.

Tatkala dinasihati karena kita semata-mata mengharapkan kebaikan untuknya, ia kurang lebih menjawab, “Kamu nggak tau apa-apa tentangku, kamu nggak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling paham apa aja yang bisa bikin diriku bahagia dan apa aja yang bisa meredakan kesedihanku.”

Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung bahagia hingga akhir hayat. Padahal, bahagia yang hakiki itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan cara dan hal yang Allah larang. Kalaupun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah yang namanya istidraj sebagaimana firman-Nya, 

<{فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ}>

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa(Q.S. Al An’am: 44).

Mungkin kita lebih tahu dari orang lain perihal apa saja yang bisa membuat kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Jika pun demikian, kita hanyalah yang lebih tahu dari yang lain, bukan yang paling tahu, bahkan tentang diri kita sendiri. Allah-lah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi berbagai masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketaqwaan yang dapat membawa kita kepada kebahagiaan di hari kemudian.

<>

Penulis : Reza Mahendra (Alumnus Ma’had Al-’Ilmi Yogyakarta)

Muroja’ah : Ustadz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *