Mengenal Tauhid dan Keutamaannya

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Bagi setiap muslim, kehidupan di alam dunia adalah kesempatan emas untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah. Karena dengan ibadah itulah dia akan bisa meraih kebahagiaan dan keselamatan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki dampak yang baik serta keutamaan beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16).

Makna Tauhid

Para ulama menjelaskan bahwa ibadah kepada Allah tidak akan diterima tanpa tauhid. Apakah yang dimaksud dengan tauhid? Syaikh Muhammad At-Tamimi rahimahullah menjelaskan dalam risalah Ushul Tsalatsah, bahwa tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Hal ini menunjukkan bahwa tauhid mengandung penetapan ibadah, hanya boleh dipersembahkan kepada Allah dan wajibnya meninggalkan sesembahan selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. An-Nisaa’ : 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas setiap hamba adalah supaya mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)

Makna Ibadah

Para ulama juga menjelaskan, bahwa ibadah kepada Allah mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Ibadah harus dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Ibadah adalah hak Allah semata, tidak ada yang berhak menerima ibadah selain-Nya. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dengan hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah : 5). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)

Kandungan Kalimat Tauhid

Ibadah kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya inilah makna dan kandungan dari kalimat tauhid laa ilaha illallah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiya’ : 25). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah -sesembahan- yang haq, sedangkan segala yang mereka seru/ibadahi selain-Nya, itulah -sesembahan- yang batil.” (QS. Al-Hajj : 62). Oleh sebab itu tidak boleh ibadah ditujukan kepada malaikat, nabi, wali, orang salih, matahari, api, apalagi batu dan pohon.

Segala sesembahan selain Allah yang dipuja oleh manusia -dan dia ridha dengannya- adalah thaghut. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl : 36). Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Ibadah kepada thaghut maksudnya adalah ibadah kepada selain Allah subhanahu. Sebab ibadah tidaklah sah jika dibarengi dengan syirik. Dan ia tidaklah benar kecuali apabila dilakukan dengan ikhlas/murni untuk Allah ‘azza wa jalla. Adapun orang yang beribadah kepada Allah namun juga beribadah kepada selain-Nya, maka ibadahnya itu tidak sah/tidak diterima.” (Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah fi Hadzal ‘Ashr, hal. 12).

Keutamaan Kalimat Tauhid

Kalimat tauhid laa ilaha illallah adalah cabang keimanan yang paling tinggi dan paling utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang dan yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Syarh Muslim, 2/88). Akan tetapi kalimat tauhid ini hanya akan bermanfaat apabila disertai dengan keikhlasan dan pemahaman terhadap kandungannya serta tunduk terhadap konsekuensinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena mengharap wajah Allah.” (HR. Bukhari).

Orang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan yang bisa memasukkan ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan sholat wajib, zakat yang telah difardhukan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

Adapun orang yang mengucapkan laa ilaha illallah di lisan saja sementara hatinya tidak meyakininya maka ini adalah keadaan orang munafik. Sementara orang munafik di akhirat kekal di dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu di dalam kerak terbawah dari neraka.” (QS. An-Nisaa’ : 145).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah).

Pentingnya Tauhid

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak masuk neraka sama sekali.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17). Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan olehnya).

Tauhid inilah intisari dan pokok ajaran Islam. Sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang mengisahkan diutusnya Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke Yaman. Di dalam hadits itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah syahadat laa ilaha illallah’ dalam riwayat lain disebutkan ‘supaya mereka mentauhidkan Allah. (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9).

Syirik Kezaliman Terbesar

Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Kezaliman terbesar adalah syirik kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “[Luqman berkata] Wahai putraku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman : 13). Perbuatan zalim itu adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempat yang seharusnya. Dan kezaliman yang paling besar dan paling keji adalah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Seperti halnya orang yang menengadahkan tangannya kepada para penghuni kubur dan meminta kepada mereka agar dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan dihilangkan berbagai kesulitan yang menghimpit mereka. Maka tidaklah Allah didurhakai dengan suatu bentuk maksiat yang lebih besar daripada dosa kesyirikan.” (Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh beliau, hal. 14).

Demikian pembahasan singkat yang bisa kami susun -dengan taufik dari Allah semata- semoga bisa memberikan faidah dan pencerahan bagi kita semuanya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis : Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi, S.Si.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *