Mendulang Faidah dari Ayat Puasa

EDISI 1733

\Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang bertakwa.” (Q.S. AlBaqarah: 183).

Beberapa faidahnya:

“Hai orang-orang yang beriman 

– Hendaknya kita memusatkan perhatian kita atas firman Allah tersebut

– Kewajiban berpuasa Ramadhan mencakup lelaki dan wanita

– Puasa Ramadhan adalah konsekuensi dari keimanan. Jika meninggalkannya maka berlawanan dengan keimanan

– 2 tingkatan meninggalkan puasa:  karena menganggapnya tidak wajib (ini membatalkan keimanan), atau karena malas namun masih menganggapnya wajib (statusnya diperselisihkan, namun dosa besar)

“diwajibkan atas kalian puasa

– Hukumnya wajib, lebih ditekankan dari mayoritas ibadah wajib lainnya

– Niat utamanya haruslah karena keimanan kepada Allah, bukan karena keuntungan duniawi

sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian 

– Menghibur orang beriman untuk bersemangat menjalaninya

– Memotivasi untuk bersaing dengan umat terdahulu

agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa”

– Melatih meninggalkan hal yang pada asalnya dibolehkan, agar dapat lebih mudah meninggalkan yg terlarang

 

 

<<<>>>

 

Menjelang datangnya Bulan Ramadan, biasanya para ustaz dan khatib membawakan ayat puasa di dalam ceramah atau khutbah mereka.

Ayat puasa yang dimaksud adalah firman Allah Ta’ala di dalam Surah Al-Baqarah, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang bertakwa.” (Q.S. AlBaqarah: 183).

Pada buletin kali ini, kami mengajak segenap pembaca untuk mendulang beberapa faidah dari ayat puasa tersebut dengan membaginya dalam beberapa bagian ayat.

1) Hai orang-orang yang beriman 

Allah memulai ayat puasa ini dengan berseru kepada orang-orang yang beriman. Seruan seperti ini mengingatkan kita kepada perkataan Abdullah bin Mas’ud (pakar Al-Qur’an dari kalangan sahabat).

Beliau berkata, “Jika engkau mendengar firman Allah (yang artinya) ‘Wahai orang-orang yang beriman’ maka pasanglah telingamu karena akan datang ayat yang menjelaskan tentang kebaikan yang engkau diperintahkan untuk melaksanakannya atau tentang kejelekan yang engkau dilarang darinya.” (H.R. Abu Nu’aim, Al-Hilyah 1/130). Maka semestinya kita senantiasa memusatkan perhatian kita terhadap apa yang akan Allah sampaikan pada kelanjutan ayat puasa ini.

Seruan Allah “yaa ayyuhalladziina aamanu” jika ditinjau secara bahasa hanyalah ditujukan kepada para laki-laki. Kalimat tersebut secara harfiah maknanya adalah “Hai para lelaki yang beriman”. Apakah hal tersebut berarti yang diwajibkan untuk berpuasa hanyalah laki-laki? Jawabannya adalah tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para wanita itu serupa dengan laki-laki.” (H.R. AdDarimi, statusnya sahih). Maksud serupa di sana adalah serupa di dalam hukum Islam.

Terdapat kaidah yang dibawakan oleh para ulama Islam yang berbunyi, “Perintah yang Allah tujukan untuk laki-laki juga berlaku untuk perempuan. Sebaliknya, perintah yang Allah tujukan untuk perempuan juga berlaku untuk laki-laki. Kecuali jika terdapat dalil yang menjelaskan adanya pengecualian”.

Adapun untuk puasa, tidak ada dalil yang menjelaskan bahwa para perempuan dikecualikan dari perintah tersebut. Maka, perintah tersebut kembali kepada kaidah asalnya, yaitu perempuan juga diwajibkan untuk berpuasa Ramadan.

Faidah lainnya, Allah membuka firman-Nya dengan menyeru, “Hai orang-orang yang beriman”. Hal ini menunjukkan bahwa puasa adalah konsekuensi dari keimanan. Sebaliknya, meninggalkan puasa adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan keimanan. Ada dua tingkatan orang yang meninggalkan puasa.

Pertama, orang yang menganggap puasa tidaklah diwajibkan bagi dirinya karena menganggap dirinya telah suci atau mencapai tingkatan kewalian tertentu. Perbuatan seperti ini adalah perbuatan yang disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan kekufuran yang membatalkan keimanan.

Kedua, orang yang meninggalkan puasa karena malas namun masih menganggap puasa masih diwajibkan bagi dirinya. Perbuatan ini diperselisihkan oleh para ulama apakah tergolong sebagai kekufuran atau merupakan dosa besar yang tidak sampai membatalkan keimanan. Terlepas dari pendapat mana yang lebih kuat, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada alasan yang dibenarkan adalah salah satu dosa besar.

 

2) “diwajibkan atas kalian puasa

Berdasarkan potongan ayat ini, maka jelas sekali puasa hukumnya adalah wajib. Bahkan, kewajiban puasa nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan mayoritas ibadah-ibadah wajib lainnya. Hal tersebut dikarenakan puasa merupakan bagian dari rukun Islam. Tidak semua ibadah yang hukumnya wajib tergolong sebagai rukum Islam. Ibadah-ibadah yang digolongkan sebagai rukun Islam maka nilainya lebih besar daripada ibadah-ibadah lainnya.

Jika kita menyambungkan potongan ayat ini dengan potongan ayat sebelumnya akan jelas bahwa ditunaikannya kewajiban puasa oleh seseorang adalah atas tuntutan keimanan. Niat utama di dalam melaksanakan puasa haruslah keimanan kepada Allah, bukan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi, semisal agar sehat, agar diet, atau agar bisa menghemat pengeluaran.

Oleh karena itu,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan antara niat menjalankan puasa karena iman dengan balasan puasa yang besar. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di Bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

 

3) sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian 

Allah menjelaskan bahwa puasa juga telah Allah wajibkan untuk umat-umat terdahulu. Firman seperti ini tidak ditemui untuk perintah ibadah-ibadah yang lain, seperti salat dan zakat, padahal ibadah-ibadah itu  juga telah diwajibkan bagi umat-umat terdahulu. Tidak ada ayat di dalam Al-Qur’an yang berbunyi, “Diwajibkan atas kalian salat sebagaimana salat telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian”. Tidak ada pula ayat yang berbunyi, “Diwajibkan atas kalian zakat sebagaimana zakat telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian”.

Apa hikmahnya? Hikmahnya adalah untuk memotivasi orang-orang yang beriman agar bersemangat menjalankan ibadah yang berat ini. Sudah menjadi tabiat manusia bahwa meninggalkan sesuatu yang telah menjadi kebiasaannya (semisal makan dan minum di siang hari) adalah sesuatu yang berat. Allah menyebutkan “sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian” untuk menghibur orang-orang yang beriman. Karena manusia merasakan bahwa sesuatu yang berat akan terasa ringan jika mereka tahu banyak juga yang merasakannya.

Faidah lainnya adalah untuk memotivasi orang-orang yang beriman agar jangan mau kalah dengan umat-umat terdahulu yang telah berhasil menunaikan kewajiban puasa.

Para ulama berbeda pendapat tentang apa makna kesamaan syariat puasa antara umat Muhammad dan umat sebelumnya. Sebagian ulama mengatakan kesamaannya hanyalah pada kewajibannya, namun berbeda tata cara dan waktu pelaksanaannya.

Namun ulama lainnya, seperti Ibnu Katsir, berpendapat bahwa kesamaaan dalam syariat puasa ini selain sama wajibnya, juga sama dalam tata cara dan waktu pelaksanaannya. Hanya terdapat sedikit perbedaan, yaitu pada umat Muhammad terdapat syariat sahur, sedangkan pada umat Nabi Musa dan Isa tidak ada syariat sahur. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Perbedaan antara puasa kita dan puasanya ahli kitab adalah makan sahur.” (H.R. Muslim).

Ibnu Katsir menjelaskan tentang puasa umat terdahulu, “Jika di malam hari mereka (umat sebelum kita) tertidur, maka sudah diharamkan bagi mereka makan, minum, dan berhubungan intim dengan istri serta dilarang melakukan pembatal selain itu.” (Tafsir AlQur’an Al‘Azhim, 2: 54).

 

4) agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa

Maksud pokok Allah mensyariatkan puasa kepada kita adalah “agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa”. Dengan berpuasa, kita bisa terlatih untuk meninggalkan hal-hal yang mubah (seperti makan dan minum) maka seharusnya akan jadi lebih mudah untuk meninggalkan hal-hal yang terlarang setelah menjalankan ibadah puasa, sehingga kita bisa menjadi orang yang bertakwa. 

Selain itu, karena maksud pokok berpuasa adalah menjadi orang yang bertakwa, tidak benar jika menjadikan maksud pokok berpuasa adalah untuk mendapatkan kesehatan. Ada sebuah hadis yang derajatnya lemah yang berbunyi, “berpuasalah kalian maka kalian akan sehat”. Selain secara sanad hadis ini lemah, secara makna juga bertentangan dengan Al-Baqarah 183 ini.

 

Semoga Allah memberi kita taufiq sehingga dapat memahami dan mengamalkan kandungan ayat tersebut.

Disarikan dari khutbah Jumat Ustaz Dr. Aris Munandar di Masjid Pogung Dalangan pada tahun 2013 dan di Masjid Al-Kautsar Pogung Baru pada tahun 2021. Ditulis ulang dengan beberapa penambahan oleh Muhammad Rezki Hr., Ph.D.

Dimurajaah Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *