Memahami Syariat Zakat Fithri

Edisi 1738

Dengan keagungan dan kebijaksanaan Allah Ta’ala, Dia mensyariatkan untuk hamba-hamba-Nya berbagai macam ibadah di bulan Ramadhan. Di antara ibadah tersebut adalah zakat fithri. Zakat dalam syariat Islam terbagi menjadi dua, yaitu zakat maal (harta) dan zakat fithri. Kedua jenis zakat ini hukumnya wajib.  Sehingga mempelajari aturan pembayaran zakat fithri juga wajib. Sebab, suatu ibadah yang hukumnya wajib maka mempelajarinya juga wajib.

 

Hikmah Pensyariatan Zakat Fithri

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah biasa.” (H.R Abu Daud, no. 1609 dan Ibnu Majah, no. 1827).

Berdasarkan hadits di atas, hikmah penunaian zakat dapat berupa penyucian diri atas orang yang menunaikan puasa dari kekurangan-kekurangan yang ia lakukan ketika berpuasa. Demikian pula hikmahnya dapat kembali kepada masyarakat, di mana zakat fithri bermanfaat untuk memberi makan orang miskin, sehingga timbullah kebahagiaan dan kasih sayang di antara sesama kaum muslimin.

 

Hukum Membayarkan Zakat Fithri

Zakat fithri hukumnya wajib bagi orang yang memenuhi dua persyaratan, yaitu beragama Islam dan mampu untuk menunaikannya. Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering. (Kewajiban) ini berlaku bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa.” (H.R Al-Bukhari, no. 1433 dan Muslim, no. 984).

Mayoritas ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat bahwa batasan dikatakan mampu adalah dia memiliki sisa makanan untuk dirinya dan keluarganya pada malam hari raya dan besok paginya. (Mughni Al-Muhtaj I/403, Al-Mughni III/76) (Dinukil dari Shahih Fiqh Sunnah, II/80).

Zakat fithri wajib dikeluarkan oleh setiap muslim yang merdeka dan memiliki kelebihan makanan untuk diri dan keluarganya pada malam hari raya dan keesokan harinya. Orang seperti ini wajib mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya (yang wajib ia nafkahi) seperti istri, anak-anak, dan pembantunya jika mereka semua beragama Islam. (Shahih Fiqh Sunnah, II/81).

Jenis Zakat Fithri dan Ukurannya

Zakat fithri dikeluarkan dengan makanan pokok di negeri masing-masing, terutama oleh penduduk setempat, baik itu kurma, gandum, beras, kismis, keju, dan sebagainya, dan tidak dibatasi pada kurma atau gandum saja. Inilah pendapat yang dinilai lebih kuat di antara berbagai pendapat ulama. Adapun Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya mengkhususkan kurma dan gandum karena kedua makanan tersebut adalah makanan penduduk madinah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/82).

Sehingga untuk kita yang tinggal di Indonesia umumnya mengeluarkan beras. Adapun besaran zakat fithri per jiwa adalah 1 sha’, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar sebenlumnya. Dalam hadis lain, dari Abu Said Al Khudhri radhiallahu ‘anhu, “Dulu kami menunaikan zakat fithri dengan satu sha’ bahan makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju atau stu sha’ anggur.” (H.R Bukhari, no. 1506 dan Muslim, no. 2330).

Sha’ adalah ukuran takaran bukan timbangan. Ukuran takaran “sha’” yang berlaku di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sha’ masyarakat Madinah, yaitu setara dengan 4 mud. Sedangkan satu mud adalah ukuran satu cakupan penuh dua telapak tangan normal yang digabungkan. Dengan demikian, satu sha’ adalah empat kali cakupan penuh dua telapak tangan normal yang digabungkan.

Mengingat sha’ adalah ukuran takaran maka ukuran ini bisa menghasilkan nilai-nilai yang berbeda pada setiap benda tergantung berat jenisnya. 1 sha’ pada kurma bisa jadi berbeda dengan 1 sha’ pada beras jika dikonversi ke dalam ukuran timbangan. Namun para ulama telah melakukan penelitian untuk memudahkan pengukuran bahwa satu sha’ untuk beras dan gandum, yaitu beratnya kurang lebih 2,5 kg, ada pula yang mengatakan 3 kg sebagaimana fatwa Lajnah Daimah di Arab Saudi.

 

Bagaimana hukum mengeluarkan zakat fithri dengan uang?

Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Tidak boleh mengeluarkan zakat fithri dengan harganya/uang menurut mayoritas ulama. Pendapat inilah yang paling shahih dari segi dalil. Bahkan wajib mengeluarkannya dengan makanan pokok, sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (XIV/202). Solusi dari permasalahan ini yaitu dengan menitipkan uang kepada pengurus zakat untuk dibelikan makanan pokok sesuai ukuran zakat.

Para ulama yang melarang mengeluarkan zakat fithri dengan uang beralasan bahwa riwayat-riwayat yang datang kesemuanya menegaskan bahwa zakat fithri diserahkan dalam bentuk makanan. Selain itu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham. Tetapi Nabi dan para sahabatnya tetap menggunakan bahan makanan, bukan menggunakan dinar atau dirham. Sedangkan beliaulah orang yang paling memahami kebutuhan umatnya.

Waktu Pembayaran Zakat Fithri

Zakat fithri wajib dikeluarkan sebelum shalat ‘Idul Fithri, tidak boleh ditunda hingga selesai shalat ‘id. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah memerintahkan agar zakat fithri dikeluarkan sebelum orang-orang keluar rumah untuk mengerjakan shalat ‘id.” (H.R. Bukhari, no. 1509 dan Muslim, no. 986).

Orang yang menyalurkannya setelah shalat ‘Id dianggap mengeluarkan sedekah biasa, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang telah disebutkan di awal pembahasan. Namun demikian, zakat fithri boleh dikeluarkan satu atau dua hari sebelum hari raya. Nafi’ berkata, “Ibnu ‘Umar memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang layak menerimanya. Para sahabat biasa mengeluarkan zakat fithri satu atau dua hari sebelum hari raya.” (H.R. Bukhari, no. 1511 dan Muslim, no. 986).

Adapun kapan seorang muslim terkena kewajiban membayar zakat fithri adalah ketika seseorang hidup/mendapatkan tenggelamnya matahari di akhir bulan ramadhan. Sehingga apabila ada seseorang yang meninggal setelah tenggelamnya akhir bulan ramadhan maka wajib dikeluarkan zakat fithri dari hartanya. Atau bayi yang terlahir sebelum tenggelamnya matahari di akhir bulan ramadhan maka ia sudah terkena kewajiban membayar zakat fithri. (Disarikan dari Shahih Fiqih Sunnah, II/83-84).

Sehingga kesimpulannya, ada tiga jenis waktu dalam menunaikan zakat fithri. Waktu wajib, yaitu tenggelamnya matahari di akhir ramadhan. Waktu afdhal (utama), yaitu setelah shalat shubuh di hari ‘id hingga sebelum shalat ‘id. Waktu jawaz (boleh), yaitu satu atau dua hari sebelum hari ‘Id.

 

Penerima Zakat Fithri

Dari dua pendapat ulama, pendapat bahwa zakat fithri hanya diberikan kepada orang-orang fakir miskin dinilai lebih kuat oleh sekelompok ulama, di antaranya Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau berkata, “Merupakan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mengkhususkan fakir miskin yang menerima zakat fithri ini, bukan dibagikan kepada golongan-golongan yang delapan. Beliau tidak memerintahkan seperti itu, dan tidak juga diamalkan oleh seorang pun dari sahabatnya atau orang-orang setelah mereka.” (Zaadul Ma’ad II/22).

 

Penutup : yang benar zakat fithri atau zakat fitrah?

Kita jumpai sebagian orang menggunakan istilah zakat fithri dengan zakat fitrah. Sebenarnya diantara dua istilah ini manakah yang lebih tepat? Jawabannya, keduanya boleh. Fithri berasal dari kata ifthar yakni berbuka (tidak berpuasa) sedangkan fitrah berarti fitrah/naluri. Jika kita banyak membaca ungkapan-ungkapan para ulama, akan kita jumpai pula sebagian ulama yang menggunakan kata fitrah untuk pembahasan zakat fithri. Hal ini tidak jauh beda dengan istilah shalat fardhu ataukah shalat wajib, keduanya kembali ke makna shalat lima waktu yang dikenal. Wallahu A’lam.

Sebagaimana disebutkan dalam kaedah ulama ushul, “laa musyaahhata fil ishthilah” (tidak perlu terlalu meributkan masalah istilah). Intinya marilah kita membayar zakat fithri dengan makanan pokok kita (beras). Wallahul muwaffiq.

 

Penulis : Zulfahmi Djalaluddin, S.Si. (Alumnus Mahad Al-‘Ilmi Yogyakarta)

Dimurajaah oleh Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *