Hidup Mulia dengan Mengikuti Sunnah Nabi

Edisi 1639

  1. 1.Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semestinya dia selalu berusaha untuk meneladani sunnah beliau dalam kehidupannya
  2. 2.Orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
  3. 3.Para ulama Ahlus sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya.
  4. 4.Dalam semangat mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah Ta’ala, tentu kita tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang bersifat anjuran, dan berusaha untuk mengerjakankan semua amalan yang dicintai oleh Allah Ta’ala melalui petunjuk Nabi-Nya.

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

(Q.S. Ali ‘Imran:31)

Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semestinya dia selalu berusaha untuk meneladani sunnah beliau dalam kehidupannya, terlebih lagi jika dia mengaku sebagai ahlus sunnah. Karena konsekwensi utama seorang yang mengaku mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah selalu berusaha mengikuti semua petunjuk dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Ali ‘Imran:31).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/477).

Kedudukan dan Keutamaan Sunnah Rasulullah dalam Islam

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Beliau, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau. Semua hal tersebut memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam firman-Nya,

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung” (Q.S. al-Qalam:4).

Ayat yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an(H.R. Muslim).

Demikian pula dalam firman-Nya Ta’ala,

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S. al-Ahzaab:21).

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala (Tafsir As-Sa’di: 481).

Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau bersabda,

“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“ (H.R. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Albani).

Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

Semangat Para Ulama Ahlus Sunnah dalam Meneladani Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Para ulama Ahlus sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, dan karena inilah Allah Ta’ala memuliakan mereka.

Sampai-sampai imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam ucapannya yang terkenal pernah berkata, “Kalau kamu mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh) sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka lakukanlah!” (Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” 1/216).

Demikian pula ucapan imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i (beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah), “Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang mengerjakannya” (Al-Jaami’ li akhlaaqir raaw: 1/219).

Bahkan semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama tersebut. Oleh karena itulah, para ulama Ahlus sunnah sangat mengagungkan dan memuji orang yang semangat menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang setinggi-tingginya.

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada tukang bekam” (Al-Jaami’ li akhlaaqir raawi: 1/220).

Ini semua karena mereka memahami dengan yakin bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling banyak mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dirinya. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada satu bagian dari kebaikan, yang ini berarti semakin banyak seseorang menghimpun kebaikan tersebut dalam dirinya, maka semakin sempurna pula keimanannya (Al-Fawa-id: 121). Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan) hidup bagimu” (Q.S, al-Anfaal:24).

Peringatan dan Nasehat Penting

Jika kita membandingkan sikap para ulama Ahlus sunnah di atas dengan sikap sebagian dari orang-orang muslim zaman sekarang, maka kita akan mendapati perbedaan yang sangat jauh sekali. Karena orang-orang muslim zaman sekarang hanya mau mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang wajib saja. Adapun anjuran dan adab-adab beliau lainnya, maka mereka sama sekali tidak semangat meneladaninya.

Bahkan sebagian dari mereka, jika dihimbau untuk melaksanakan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada yang berkata, “Itu kan hanya Sunnah,Kalau hanya anjuran kan tidak berdosa jika ditinggalkan…”.

Dalam semangat mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah Ta’ala, tentu kita tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang bersifat anjuran, dan berusaha untuk mengerjakankan semua amalan yang dicintai oleh Allah Ta’ala melalui petunjuk Nabi-Nya.

Imam al-Qurthubi berkata, “Barangsiapa yang terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah (rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka ini (menunjukkan) kekurangan (kelemahan/celaan) dalam agamnya. Apalagi kalau dia meninggalkan sunnah-sunnah tersebut karena meremehkan dan tidak menyukainya, maka ini kefasikan (rusaknya iman), karena adanya ancaman dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membenci sunnah/petunjukku maka dia bukan termasuk golonganku“ (H.R. Bukhari).

Dulunya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka tidak membeda-bedakan kedua (jenis) amalan tersebut dalam (semangat) meraih pahala (dan keutamaan)nya. Dan (tujuan) para ulama ahli fikih dalam membedakan (kedua jenis amalan tersebut dalam masalah hukum) karena (berhubungan dengan) konsekwensi yang harus dilakukan, berupa wajibnya mengulangi perbuatan tersebut atau tidak, dan wajib atau tidaknya memberikan hukuman (karena) meninggalkannya” (Fathul Baari”: 3/265).

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita, aamiin.

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Murajaah : Ustadz Abu Salman, BA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *