Cinta Yang Membawa Derita

Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, wash shalaatu was salaamu ‘alaa asyraafil ‘anbiyaa’i wal mursaliin, nabiyyinaa muhammadin, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin. Ammaa ba’du.

Tiada kata yang pantas terucap, tiada nasihat yang indah terdengar di kesempatan yang mulia ini, melainkan kata dan nasihat yang terangkai dalam bingkai takwa kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati, melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Q.S. Ali Imran : 102).

Sumber Derita yang Sebenarnya

Saudara sekalian yang semoga dirahmati Allah Ta’ala.

Tak ada gading yang tak retak. Anda bukanlah malaikat dan anda bukan pula bidadari surga yang tercipta tanpa dosa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Setiap anak Adam (manusia) pasti berbuat salah (dosa)… (H.R. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dinilai hasan oleh Al-Albani).

Dosa yang anda perbuat bagai bumerang yang berbalik arah menghantam menyisakan luka. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengukir petuah emas, beliau berkata :

“Dosa-dosa ibarat luka,

tak sedikit dari luka itu mengantarkan pada kematian…

Bergoncangnya bumi dan gelapnya langit sebagai pertanda,

adzab Allah bagi pecinta dosa yang berbuat kerusakan di daratan dan di lautan…”

(Kaifa tatahammasu li thalabil ‘ilmi asy-syar’i, 153).

Dosa dan maksiat adalah sumber seluruh keburukan dan bencana di dunia ini. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :

“Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (Q.S. Ar-Rum : 41).

Dosa-Dosa yang Dianggap Biasa

Saudara sekalian yang semoga dirahmati Allah Ta’ala.

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengkaji 76 jenis dosa yang tergolong dosa-dosa besar, diantaranya adalah menyekutukan Allah, sihir, meninggalkan shalat, dan zina (Al-Kabaa’ir, 664-667).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah memberikan batasan pembeda antara dosa besar dan dosa kecil. Beliau menjelaskan dengan membawakan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

“Sungguh ulama berselisih pendapat dalam menentukan batasan dosa besar dan dosa kecil. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendefinisikan dosa besar yaitu segala perbuatan yang Allah (cantumkan) larangan (dalam dalil).” (Syarah Shahih Muslim, 2/112).

Namun, amat disayangkan dan sungguh memprihatinkan bahwa dosa-dosa besar ini (menyekutukan Allah, sihir, meninggalkan shalat, dan zina) justru telah dianggap biasa di tengah masyarakat.

Menyekutukan Allah Ta’ala

Bukankah masih banyak diantara kaum muslimin yang rutin mengikuti tradisi memberi sesajen atau tumbal di tempat dan waktu tertentu kepada sesama makhluk yang mereka sucikan yang mereka yakini mampu mendatangkan manfaat maupun mencegah bencana? Tidakkah dosa (menyekutukan Allah) ini dianggap biasa.

Seorang hamba dikatakan telah menyekutukan Allah Ta’ala ketika ia menjadikan sesama makhluk sebagai tandingan bagi Allah. Ia beribadah kepada Allah, tetapi bersamaan itu pula ia beribadah kepada selain-Nya (kepada batu, manusia, matahari, bulan, nabi, orang shalih, jin, bintang, malaikat, atau selainnya). (Al-Kabaa’ir, 90).

Dosa jenis ini merupakan dosa yang paling besar, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

“Sesungguhnya menyekutukan Allah benar-benar kezhaliman yang paling besar.” (Q.S. Luqman : 13),

dan paling berat ancamannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa (seorang hamba) karena mempersekutukan-Nya… (Q.S. An-Nisaa’ : 48).

“Sesungguhnya siapa yang mempersekutukan Allah, maka Allah haramkan surga baginya dan tempatnya di neraka.” (Q.S. Al-Ma’idah : 72).

“Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-An’am : 88).

Sihir

Bukankah masih banyak diantara kaum muslimin yang merasa takjub dan bangga dengan berbagai pertunjukan paranormal alias penyihir di dunia maya maupun dunia nyata? Bahkan bercita-cita ingin menjadi seperti mereka. Tidakkah dosa (sihir) ini dianggap biasa?

Sihir tergolong dosa besar karena mengantarkan pada kesyirikan.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :

Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (Q.S. Al-Baqarah : 102).

Tidaklah setan hendak mengajarkan manusia tentang sihir kecuali supaya manusia menyekutukan Allah Ta’ala. (Al-Kabaa’ir, 101).

Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan kepada hamba-Nya supaya berlindung dari sihir. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya) :

“Katakanlah aku berlindung…. dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” (Q.S. Al-Falaq : 4).

Meninggalkan shalat

Bukankah masih banyak diantara kaum muslimin yang melalaikan bahkan terbiasa meninggalkan shalat wajib yang lima waktu? Dengan berbagai alasan, seperti sibuk kuliah, berdagang, keluarga, dan sebagainya. Mereka rela menggadaikan urusan akhiratnya yang sangat berharga dengan sepercik hinanya dunia. Tidakkah dosa (meninggalkan shalat) ini dianggap biasa?

Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Amalan seorang hamba yang paling pertama dihisab di hari kiamat adalah amalan shalatnya. Bila shalatnya baik, sungguh ia meraih kemenangan dan kesuksesan. Namun, bila shalatnya rusak, sungguh ia binasa lagi merugi.” (H.R. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, dinilai hasan oleh At-Tirmidzi). (Al-Kabaa’ir, 119).

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah juga mengatakan,

“Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan (yaitu satu waktu shalat) dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat (taubat nasuha). Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka, dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al-Kabaa’ir, 126).

Zina

Bukankah masih banyak diantara kaum muslimin yang terjerat kasus perzinaan baik berupa perselingkuhan, pemerkosaan, pelacuran dan semisalnya sehingga menimbulkan banyak kasus kerusakan rumah tangga hingga berakhir pada perceraian dan pembunuhan. Baik zina mata, sentuhan tangan, langkah kaki, bayangan dalam pikiran, hasrat dalam hati, sampai puncaknya pada zina kemaluan. Semua bentuk zina ini dapat terkumpul dalam satu “paket hemat” yang disebut dengan “pacaran”. Lihatlah pergaulan muda-mudi di zaman sekarang, tidak-kah dosa (zina alias “pacaran”) ini dianggap biasa?

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan,

“Tidaklah syahwat ini anda patuhi kecuali berbanding lurus dengan kadar kelalaian dari mengingat Allah Ta’ala (semakin anda lalai dari mengingat Allah, semakin anda diperbudak oleh hawa nafsu dan syahwat).” (Kaifa tatahammasu li thalabil ‘ilmi asy-syar’i, 151).

Disebut dengan istilah hawa (nafsu/syahwat) karena ia mampu menyeret si pelaku tanpa memikirkan akibatnya di kemudian hari, sekalipun mengantarkan pada penderitaan yang lebih berat, baik di dunia maupun di akhirat. (Raudhatul muhibbin wa nuzhatul musytaqin, 630).

Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Orang yang paling kesatria adalah orang yang paling keras menentang hawa nafsunya. Ia lebih kuat daripada orang yang menaklukkan sebuah kota seorang diri. Namun, bila hawa nafsunya yang menang, hati menjadi gelap, muncul kebencian, kejahatan, dan permusuhan, karena mengikuti hawa nafsu merupakan penyakit yang akut dan menentangnya merupakan kesembuhan yang paling mujarab.” (Raudhatul muhibbin wa nuzhatul musytaqin, 549 & 639).

Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan ancaman pelaku zina, yaitu Allah Ta’ala menyerupakan pelaku zina seperti hewan yang tidak mempunyai akal. Sebagaimana disebutkan kisah pada zaman jahiliyah, ada seekor kera (jantan) yang menzinahi kera betina. Lalu, kera-kera lainnya mengerumuni dua ekor kera tersebut dan merajam (melempari) keduanya hingga mati. (Raudhatul muhibbin wa nuzhatul musytaqin, 493).

Cinta yang Membawa Derita

Saudara sekalian yang semoga dirahmati Allah Ta’ala.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkap makna derita cinta yang sebenarnya,

“Cinta yang membawa derita adalah :

Cintanya Iblis terhadap kesombongan,

Cintanya Adam menuruti hawa nafsunya,

Cintanya Kaum Nuh menyekutukan Allah,

Cintanya Kaum Luth terhadap homoseksual,

Cintanya Kaum Syu’aib terhadap harta benda,

dan Cintanya Fir’aun terhadap kedudukan.”

(Raudhatul muhibbin wa nuzhatul musytaqin, 283-287)

Taubat Nasuha Pelebur Dosa

Saudara sekalian yang semoga dirahmati Allah Ta’ala.

“Setiap anak Adam (manusia) pasti berbuat salah (dosa) dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (H.R. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dinilai hasan oleh Al-Albani).

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah engkau dengan taubat nasuha.” (Q.S. At-Tahrim : 8).

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud “taubat nasuha’ dengan membawakan perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau menjelaskan,

“Taubat nasuha yaitu ketika seseorang bertaubat dari suatu amal keburukan, lalu ia tidak kembali mengulanginya lagi selama-lamanya.” (Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim, 8/168).

Demikianlah, ketika cinta terhadap hawa nafsu dan syahwat yang membawa derita yang telah dianggap biasa. Benih-benih dosa dan maksiat yang pelakunya semai, tak butuh waktu lama berbuah bencana.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa meneguhkan hati kita di atas jalan yang lurus dan memudahkan langkah kaki kita dalam meninggalkan setiap dosa dan maksiat yang terus menyapa.

Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa muhammad, wa ‘alaa aalihi wa shahbih, wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

 

Penulis: Muhammad Iqbal, S.P

Murajaah: Ust Ammi Nur Baits

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *