Bersyukur kepada Manusia

Edisi 2004

<>

  • Syariat Islam memerintahkan kita untuk bersyukur (berterima kasih) kepada sesama manusia
  • Orang yang kurang bersyukur kepada manusia berarti kurang bersyukurkepada Allah
  • Jika belum mampu membalas kebaikan seseorang, maka puji dan doakanlah iadengan “Jazaakumullaahu khairan
  • Sebaliknya, ketika beramal jangan mengharap terima kasih atau balasan dari orang lain. Berharaplah pahala dari Allah
  • Syukur yang sangat ditekankan adalah kepada kedua orang tua
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsangat pandai bersyukur kepada manusia dan tidak mudah melupakan kebaikan-kebaikan orang lain.
  • Allah Ta’alabahkan murka kepada orang-orang yang mudah melupakan kebaikan. Oleh karenanya, banyak wanita yang masuk neraka karena mudah lupa dan tidak bersyukur atas kebaikan suami

<>

Syariat Islam memerintahkan kepada kita untuk senantiasa berterima kasih kepada sesama manusia atas berbagai kebaikan, keutamaan, dan peran mereka dalam kehidupan kita. Sangat banyak orang yang berperan dalam kehidupan kita, mulai dari keluarga (terutama kedua orang tua), kerabat, guru, teman, hingga orang-orang baik lainnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

<{لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ}>

Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.” (H.R. Abu Dawud no. 2970, Ahmad no. 7926 dengan isnad shahih, lihat Al-Shahih no. 417).

Terkait hadits di atas, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah menyampaikan dua maknanya:

Makna pertama: Orang yang belum bisa bersyukur kepada manusia, maka syukurnya kepada Allah itu dinilai belum sempurna.

Makna kedua: Orang yang tidak pandai bersyukur kepada manusia, maka ia juga tidak pandai bersyukur kepada Allah. (Lihat A’malul Qulub, hal. 310)

Jika tangan terlalu pendek untuk membalas, maka panjangkanlah lisan untuk mendoakan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk berterima kasih kepada orang yang telah memberikan kebaikan, apa pun itu bentuknya, sebagaimana dalam hadits dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,

<{مَنْ أُعْطِىَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ}>

Barangsiapa yang diberikan sebuah hadiah, lalu ia mendapati kecukupan, maka hendaknya ia membalasnya. Jika ia tidak mendapati (sesuatu untuk membalasnya), maka pujilah ia. Barangsiapa yang memujinya, maka sungguh ia telah bersyukur kepadanya. Barangsiapa menyembunyikannya, sungguh ia telah kufur.” (H.R. Abu Daud dengan sanad sahih, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 617).

Memuji seperti apa yang dimaksud dalam hadits di atas? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya dalam hadits yang lain,

<{ مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ }>

Usamah bin Zaid berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, lalu ia mengatakan kepada pelakunya, ‘Jazakallah khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh ia telah benar-benar meninggikan pujian.’” (H.R. Tirmidzi, lihat Shahih Al-jami’ no. 6368).

Syukur yang paling ditekankan

Secara khusus kita ditekankan dalam syariat untuk berterima kasih kepada kedua orang tua.

Allah Ta’ala berfirman,

<{أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ}>

“ … Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S. Luqman: 14)

Ayat tersebut secara tegas menekankan untuk bersyukur adalah kepada Allah dan kepada kedua orang tua. Hikmahnya adalah sebagaimana tabiat manusia dalam pepatah bahasa Arab,

<{ﻛﺜﺮﺓ ﺍﻟﻤﺴﺎﺱ ﺗزيل ﺍﻻﺣﺴﺎﺱ}>

Artinya, “Terlalu sering berinteraksi, menghilangkan sensitivitas (kepekaan).”

Misalnya dalam perkara nikmat Allah kepada kita. Saking banyaknya nikmat yang Allah berikan kepada kita, maka seringkali kita kurang peka untuk melihat berbagai macam nikmat tersebut. Begitu pula dengan orang tua. Saking banyaknya jasa dan kebaikan mereka kepada kita, sampai terkadang kita tidak sadar dan lupa akan kebaikan-kebaikan mereka. Sama halnya ketika terlalu sering melihat aurat atau melakukan suatu dosa, maka hatinya akan biasa saja.

Mengharapkan terima kasih dari orang lain

Seorang muslim ketika dapat memberikan sesuatu (berjasa) kepada orang lain, tidak selayaknya ia berharap dan menunggu balasan (ucapan) terima kasih dari orang lain. Cukuplah yang ditunggu adalah balasan pahala dari Allah Ta’ala.

<{فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ}>

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Q.S. Az-Zalzalah: 7)

Namun, jika sebagai penerima hadiah dan kebaikan dari orang lain, kita tetap dianjurkan untuk mendoakan dan memuji orang tersebut.

Teladan Nabi dalam bersyukur kepada manusia dan tidak mudah melupakan kebaikan

Kita bisa mengambil pelajaran dari dua kisah betapa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat pandai bersyukur kepada manusia dan tidak mudah melupakan kebaikan-kebaikan orang lain.

  1. Kisah jasa Mut’im bin ‘Adiy

Mut’im bin ‘Adiy adalah kafir Quraisy yang menolong Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga-keluarga beliau dari embargo di Makkah. Ketika itu, Bani Hasyim dan Bani Muthalib (beliau dan keluarga) diboikot dan dikucilkan, tidak boleh ada transaksi ekonomi, dilarang dipasok makanan. Bahkan, terkadang beliau hanya memakan dedaunan. Embargo ini pun berjalan hingga tiga tahun lamanya. Akhirnya Mut’im bin ‘Adiy menyelamatkan Bani Hasyim dengan merobek surat kesepakatan boikot yang digantungkan di Ka’bah.

Jasa Mut’im bin ‘Adiy yang kedua kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika Nabi terusir dari Makkah dan berdakwah di Tha’if dengan harapan dakwahnya diterima. Namun, di Tha’if dakwah beliau juga mengalami penolakan. Bahkan beliau dilempari dengan batu hingga berdarah-darah. Beliau pun pulang dengan kondisi sangat sedih dan khawatir jika pulang ke Makkah diusir dan disiksa kembali. Kemudian karena didorong rasa persaudaraan kepada sesama orang Quraisy, Mut’im bin ‘Adiy memberikan perlindungan kepada Nabi untuk kembali ke Makkah.

Tatkala terjadi perang Badar dan kaum muslimin menang, 70 pembesar kafir Quraisy berhasil ditawan di kota Madinah. Ketika itu belum ada kebijakan terkait tawanan perang, apakah dibunuh atau dimintakan tebusan. Kemudian Nabi teringat dengan kebaikan Mut’im bin ‘Adiy bertahun-tahun yang lalu namun Nabi belum bisa membalas jasanya karena sudah meninggal. Kemudian beliau bersabda di hadapan kaum muslimin dan orang-orang Quraisy,

<{لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ}>

Andai saja Mut’im bin ‘Adiy masih hidup, lalu ia berbicara sesuatu (memberikan kebijakan) tentang orang-orang jahat (musuh-musuh Allah) ini untuk mengampuni atau mengasihani mereka, maka akan aku bebaskan mereka untuknya.” (H.R. Bukhari).

  1. Kisah kebaikan Utsman bin Thalhah

Ketika Ummu Salamah berhijrah bersama anaknya menyusul Abu Salamah dari Makkah ke Madinah, Utsman bin Thalhah (orang kafir Quraisy dari Bani Syaibah) ketika melihat mereka, terketuk belas kasihan di hatinya. Dia pun mengantarkan Ummu Salamah dan anaknya ke Madinah untuk memberikan perlindungan. Sesampainya di Madinah beberapa tahun setelahnya, meninggallah Abu Salamah. Kemudian Ummu Salamah diperistri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun juga tahu bahwa Ummu Salamah pernah diantarkan Utsman bin Thalhah hijrah ke Madinah. Setelah Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), maka orang-orang berebut untuk memegang kunci Ka’bah. Di antara yang meminta kunci tersebut adalah paman Nabi, Al-Abbas dan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikannya dan meminta paman beliau untuk mengurus zam-zam.

Setelah Ka’bah dibersihkan dari berhala-berhala, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lupa akan kebaikan Utsman bin Thalhah terhadap istri beliau. Beliau pun mencari Utsman bin Thalhah (yang masuk Islam setelah Fathu Makkah) untuk menyerahkan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah (yang merupakan keturunan Bani Syaibah). Dan sampai sekarang, yang memegang kunci Ka’bah bukanlah pihak kerajaan, melainkan keturunan Bani Syaibah.

Jangan mudah melupakan

Hendaknya terhadap kebaikan orang lain jangan mudah lupa dan terhadap kebaikan diri sendiri hendaknya segera dilupakan. Allah Ta’ala berfirman,

<{وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ}>

Dan janganlah kalian melupakan kebaikan di antara kalian.” (Q.S. Al-Baqarah: 237)

Masuk neraka karena lupa kebaikan suami

Allah Ta’ala bahkan murka kepada orang-orang yang mudah melupakan kebaikan. Sebagaimana banyak istri yang mudah melupakan banyak kebaikan suaminya hanya karena satu atau dua kesalahan yang diperbuat suaminya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Aku pernah diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah para wanita, karena mereka sering berbuat kufur.” Beliau ditanya, “Apakah mereka berbuat kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari pemberian dan kebaikan (suami). Bilamana engkau (suami) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka (istri) sepanjang masa, kemudian ia melihat satu kesalahan saja darimu, ia akan mengatakan, ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu.’” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Semoga tulisan yang sedikit ini menjadi motivasi bagi kita untuk lebih pandai berterima kasih kepada sesama dan tidak mudah melupakan kebaikan-kebaikan yang telah diberikan kepada kita

Penulis: Arif Muhammad N., S.Pd (Redaktur Buletin At-tauhid) dari web https://muslim.or.id/85332-bersyukur-kepada-manusia.html &  https://muslim.or.id/85375-jangan-lupakan-kebaikan-orang-lain.html

Pemuroja’ah: Ustadz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *