Kewajiban Bertaubat

Segala puji hanyalah milik Allah. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah.

Manusia teramat butuh akan taubat, dan selayaknya untuk menyibukkan diri dengannya. Menyegerakan taubat adalah wajib, dan tidak boleh mengakhirkan atau menunda-nunda taubat. Sesungguhnya Allah akan menerima mereka yang bertaubat dengan segera, setelah berbuat dosa karena kejahilan, sebelum amal terputus dan ajal tiba.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan (dosa) lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa’ : 17-18)

Wajibnya Taubat
Imam Al Qurthubi berkata, “Para ulama bersepakat bahwa taubat hukumnya wajib atas setiap mukmin, berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang mukmin.” (QS. An Nuur : 31). Juga firman Allah (yang artinya). “Wahai orang-orang mukmin bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat nasuha.” (QS. At Tahrim : 8). Ini merupakan bentuk perintah yang wajib atas setiap individu, di tiap kondisi, di tiap zaman.

Taubat Wajib dan Taubat Sunnah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “Taubat ada dua jenis: taubat yang wajib dan taubat yang mustahab (dianjurkan -pent). Taubat yang wajib ialah taubat dari bentuk meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan. Maka setiap mukallaf (muslim yang telah dikenai beban syariat -pent) wajib atas taubat jenis ini, sebagaimana yang Allah telah perintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.

Sementara taubat yang sunnah ialah taubat dari perbuatan meninggalkan perkara yang dianjurkan, dan mengerjakan perkara yang makruh. Maka barangsiapa yang mencukupkan diri dengan taubat jenis pertama (yaitu yang wajib-pent), ia termasuk diantara orang-orang yang berbuat kebajikan, dan jujur. Barangsiapa yang bertaubat dengan kedua jenis taubat tersebut, ia termasuk diantara as-sabiqunal muqarrabun, generasi orang-orang yang awal lagi dekat. Barangsiapa yang tidak bertaubat dengan taubat jenis pertama tadi (yaitu yang wajib-pent), maka ia termasuk orang-orang yang berbuat zalim, bisa kafir, bisa pula fasiq.” (At Taubat wal Istighfar, IbnuTaimiyyah)

Menyegerakan Taubat
Taubat wajib untuk segera dilakukan, meskipun tidak atas semua dosa, dan belum mampu bertaubat dari dosa-dosa lainnya. Al Qurthubi kembali menjelaskan, “Taubat itu sah walaupun dilakukan dalam kondisi masih terjerumus dalam dosa lain (artinya hanya bertaubat atas satu atau beberapa jenis dosa, tidak atas semua dosa-pent), berbeda dengan pandangan kaum Mu’tazilah yang berkeyakinan bahwa taubat hanya sah apabila dilakukan atas keseluruhan dosa.”

Dalam Tafsir Al Muyassar surat An-Nisa ayat 17, dijelaskan, “Tidaklah diterima taubatnya orang-orang yang terus menerus mengerjakan maksiat, kemudian tidak kembali kepada Rabb-nya, hingga ajal menjemput barulah mereka berkata, ‘Aku bertaubat sekarang!’, sebagaimana tidak diterima taubatnya orang-orang yang durhaka yang mengingkari keesaan Allah dan kebenaran dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka terus menerus bermaksiat hingga mati di atas kekufuran”.

Ibnu Katsir berkata, “Maka taubat yang diterima ialah bagi orang-orang yang berbuat keburukan bersebab kejahilan, kemudian bersegera untuk taubat. Sungguh itulah hak yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya, berupa rahmat dan keutamaan-Nya.” (lihat Tafsirul Qur’anil ‘Azhim untuk QS. An Nisa : 17)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, “Sesungguhnya taubat dalam kondisi ini (yaitu ketika ajal menjelang -pent) ialah taubat idhtirari (terpaksa) yang tidak akan bermanfaat bagi pelakunya. Taubat yang diterima hanyalah taubat yang bersifat ikhtiyari (pilihan, tidak di saat terpaksa -pent).”

Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan berkata, “Taubat jenis ini (taubat idhtirari/paksaan, semisal taubat saat sakaratul maut atau ketika matahari terbit dari barat, alias kiamat-pent) tidaklah sah, bahkan tertolak, karena tidak berbuah perbaikan bagi hati, dan tidak menghasilkan sikap istiqomah dalam kehidupan.” (At Taubat ilallaah, hal. 19)

Mengakhirkan Taubat Termasuk Dosa Yang Perlu “Ditaubati”
Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan menjelaskan, “Bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosa, merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dengan segera, tidak boleh mengakhirkannya. Mengakhirkannya termasuk dosa yang juga wajib untuk ditaubati.” (At Taubat ilallaah, hal. 20)

Waktu Taubat dan Batas Akhirnya
Manusia diperintahkan untuk bertaubat di setiap kondisi, di setiap waktu. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menutup akhir amalan beliau dengan taubat. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat.” (QS. An Nashr : 1-3)

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata, “Taubat dilakukan sebelum ghargharah, dan sebelum terbitnya matahari dari arah barat. Yang dimaksud al ghargharah ialah suara yang keluar dari kerongkongan ketika ruh hendak tercabut. Maksudnya (dari dua batasan waktu ini -pent) ialah, taubat diterima sebelum kiamat, baik kiamat kecil maupun besar. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa yang bertaubat kepada Allah sebelum ghargharah, Allah menerima taubatnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, lihat Shahih Al Jaami’ no. 6132). Juga sabda Nabi, “Barangsiapa bertaubat sebelum terbit matahari dari arah barat, Allah menerima taubatnya” (HR. Muslim)” (Uridu An Atuba WaLakin, hal. 8)

Enam Jam Yang Berharga
“Sungguh shahibusy syimal (malaikat di sisi kiri, pencatat amal keburukan -pent) mengangkat penanya selama 6 jam, atas kesalahan yang dilakukan seorang hamba. Jika ia kemudian menyesal dan beristighfar memohon ampun kepada Allah, pena tersebut diangkat (tidak jadi ditulis baginya amal keburukan-pent), namun jika tidak, ditulis baginya sebagai satu amal keburukan” (HR. Thabrani, Baihaqi, dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani)

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata, “Mungkin yang dimaksud dengan 6 jam, adalah jam falakiyyah yang kita kenal saat ini (60 menit, 3600 detik-pent), bisa juga ukuran sekian waktu yang singkat dari siang dan malam, yang dikenal dalam bahasa Arab (pada zaman itu-pent).” (Uridu An Atuba WaLakin, hal. 3)

Apa Yang Menghalangimu Untuk Bertaubat?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya taubat itu memiliki pintu yang luasnya terbentang sepanjang timur dan barat, -dalam sebuah riwayat- luasnya sejauh perjalanan 70 tahun, tidak tertutup hingga terbit matahari dari ufuk barat” (HR Thabrani, lihat Shahihul Jaami’ no. 2177)
Allah pun menyeru kepada mereka yang terjerumus dalam dosa, “Wahai hambaku, sungguh kalian berbuat kesalahan siang dan malam, dan Aku mengampuni semua dosa, maka beristighfarlah kepada-Ku, niscaya Aku akan ampuni kalian.” (HR. Muslim)

Semoga Allah memudahkan kita untuk bersegera dalam taubat. [Yhouga Ariesta, S.T.*]
*Penulis adalah alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *