Warisan Manusia Terbaik

Edisi 1918

  • Ada suatu warisan yang ditinggalkan oleh manusia-manusia terbaik di masanya danbisa didapatkan oleh siapa saja yang menghendakinya dengan izin Allah Ta’ala.
  • Warisan ini bernamailmu, suatu warisan yang diwariskan oleh para Nabi dan Rasul setelah kepergian mereka.
  • Hal yang lebih menakjubkan adalah ketika islam juga mewajibkankita untuk menuntut ilmu, sehingga seakan Nabi mewajibkan untuk mengambil warisan darinya.
  • Ibnul Qoyyim rahimahullahtelah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib dipelajari oleh setiap muslim*
  • Sejatinya ilmu adalah sarana menuju ketaqwaan.

*Selengkapnya dalam buletin

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.”

(H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Kita jumpai di sebagian tempat, sebuah keluarga itu bisa pecah karena memperebutkan sesuatu kita sebut dengan warisan. Kakak dan adik sampai tak lagi bertegur sapa tatkala ada perselisihan dalam penentuan jumlahnya. Tak bisa dipungkiri, betapapun mereka sedih terhadap kepergian orang yang dicintai, warisan itu sendiri adalah anugerah yang bisa mereka gunakan untuk melanjutkan kehidupan mereka.

Sebagaimana berbeda besarnya warisan sang raja dengan seorang budak di masanya, maka jelas berbeda kehidupan anak seorang raja dengan anak seorang budak setelah tinggalkan orang tuanya. Sampai-sampai sebagian orang mengatakan: “Dia mah enak, hidupnya banyak privilege (keuntungan jadi anak orang kaya).”  ketika menjumpai temannya mewarisi harta yang besar dari orang tuanya.

Seseorang yang mendapatkan warisan yang besar jelas akan lebih bahagia hidupnya secara duniawi. Lantas bagaimana dengan kita? Ketika kita bukanlah anak seorang raja atau orang kaya lalu kita merasa hidup ini tak lagi adil karena kita tidak pernah merasakan warisan yang begitu besar jumlahnya, atau bahkan tidak berpeluang memiliki warisan sama sekali. Maka ketahuilah wahai saudaraku, bukan islam namanya kalau tidak ada keadilan di dalamnya, sesungguhnya Allah Taala memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk mendapatkan warisan yang paling berharga di muka bumi ini, tanpa ada privilege bagi kaum tertentu, semua orang punya peluang yang sama untuk mendapatkannya.

Warisan Ilmu: Peninggalan manusia terbaik

Berbicara tentang warisan, maka kita akan dapati bahwa ahli waris dalam islam secara umum adalah anggota keluarga yang ditinggalkan, baik bagi laki-laki maupun wanita. Namun berbeda dengan warisan yang satu ini. Warisan ini ditinggalkan oleh manusia-manusia terbaik di masanya dan bisa didapatkan oleh siapa saja yang menghendakinya dengan izin Allah Ta’ala. Warisan ini bernama ilmu, suatu warisan yang diwariskan oleh para Nabi dan Rasul setelah kepergian mereka.

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.”  (H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Semakin mulia seseorang, maka semakin mulia dan besar pula hal yang ia wariskan. Sebagaimana kita sebutkan sebelumnya bahwa warisan sang raja akan lebih berharga daripada warisan seorang budak. Maka tentu kita sepakat, tidaklah Nabi dan Rasul itu wafat kemudian mewariskan sesuatu, kecuali sesuatu itu adalah hal yang sangat berharga. Sehingga tidak mungkin warisan para raja dan penguasa berupa dinar dan dirham itu lebih berharga daripada warisan nabi berupa ilmu.

Lalu, ilmu apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Dijelaskan oleh para ulama bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di atas.

Setelah kita pahami bahwa warisan para nabi adalah ilmu (agama), maka hal yang lebih menakjubkan adalah ketika islam juga mewajibkan kita untuk menuntut ilmu, sehingga seakan Nabi mewajibkan untuk mengambil warisan darinya.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (H.R. Ibnu Majah)

Ketika Nabi ingin kita memiliki bekal yang cukup dalam kehidupan kita setelah kepergian beliau, maka ternyata bekal tersebut bukanlah harta atau jabatan, tapi bekal tersebut adalah ilmu agama, yang dengan mendapatkannya kita pasti akan meraih kesuksesan dunia akhirat.

Lalu apa yang harus kita pelajari?

Perlu dipahami, bukanlah berarti semua orang wajib menjadi ulama dan menguasai seluruh cabang ilmu agama. Sehingga, hendaknya kita mengetahui terlebih dahulu ilmu apa saja yang harus dipelajari oleh setiap muslim dan tidak boleh luput darinya, kemudian menuju ke ilmu yang lebih dalam jika memang hendak mempelajarinya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib dipelajari oleh setiap muslim, yaitu:

  • Ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.
  • Ilmu tentang syariat-syariat Islam. Di antara yang wajib adalah ilmu tentang hal-hal yang khusus dilakukan sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat, puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut, misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.
  • Ilmu tentang lima hal yang diharamkan yang disepakati oleh para Rasul dan syariat sebelumnya. Kelima hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala(yang artinya), “Katakanlah,’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Q. Al-A’raf: 33)

Kelima hal ini adalah haram pada setiap keadaan. Maka wajib bagi kita untuk mempelajari larangan-larangan Allah Ta’ala, seperti haramnya zina, riba, minum khamr, dan sebagainya, sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena kebodohan kita.

  • Ilmu yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain secara khusus (misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan orang lain secara umum. Ilmu yang wajib menurut jenis yang keempat ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang.

Dampak dari Ilmu: Bertaqwa dan menjadi Wali Allah

Ketika warisan (ilmu) ini sudah mulai meresap dalam diri kita, maka ketahuilah betapa banyak kebaikan yang akan kita dapatkan, karena sejatinya ilmu adalah sarana menuju ketaqwaan.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu itu dipelajari semata-mata untuk bertakwa kepada Allah dengan ilmu tersebut. Dan sesungguhnya ilmu agama itu dimuliakan dari ilmu-ilmu yang lain karena dengan ilmu agama, seseorang dapat bertakwa kepada Allah.” (Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih, hlm. 665)

Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah juga berkata, “Dahulu jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat (pengaruh positif ilmu tersebut) pada sifat khusyuknya (tunduk kepada Allah), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangan (anggota badan) nya.” (Al Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, I/215)

Ingat ilmu yang bermanfaat itu melahirkan amal shalih dan ketaqwaan, bukan sekedar menjadi wawasan dan alat debat. Sehingga sejatinya ilmu adalah wasilah (perantara) agar kita bisa menjadi salah satu dari wali-wali Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah tentang siapa itu wali Allah, “Siapa saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384).

Di waktu yang sama, ketika kita mencapai derajat (wali) ini, maka ada janji besar dari Allah Ta’ala kepada para walinya, yaitu hidupnya akan jauh dari kekhawatiran dan kesedihan.

Allah Ta’ala berfirman (yanga artinya), “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.”  (Q.S. Yunus: 62–64)

Tidak ada kekhawatiran bagi para wali Allah, bukankah itu yang selalu diharapkan oleh orang-orang yang berebut harta warisan, mereka ingin hidup dengan nyaman dengan harta warisan dan jauh dari kekhawatiran akan masa depannya? Maka ketahuilah, harta tidak selamanya menjamin kenyamanan dan kebahagiaan bagi kita, tapi Allah menjamin tidak ada rasa kekhawatiran dan kesedihan bagi para wali-Nya. Sehingga jelas bagi kita, betapa besarnya warisan para Nabi yang bernama ilmu ini.

Maka marilah kita memohon kepada Allah untuk senantiasa dimudahkan mengejar warisan para Nabi-Nya, sehingga kita menjadi orang yang berilmu dan bertaqwa dengan mengamalkan ilmu tersebut.

Wallahu A’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin.

Ditulis : Rafi Pohan, S.T. (Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)

Dimurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *