TUNTUNAN NABI MENDIDIK ISTRI

Edisi 2123

—-

  • Mendidik keluarga merupakan tugas utama seorang suami.
  • Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya utusan Allah, namun juga sosok panutan dalam mendidik keluarga.
  • Fokus utama pendidikan Nabi kepada keluarganya adalah perkara akhirat.
  • Metode pendidikan Nabi sangat memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan, tidak melampaui batas dan tidak menyepelekan.

Pendidikan keluarga merupakan salah satu tugas utama seorang suami kepada istri dan anaknya. Dengan mengajarkan ilmu agama dan adab maka seorang suami dapat menjaga keluarganya dari keburukan dunia dan keburukan di akhirat (api neraka).

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ 

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri-diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (QS. At Tahrim: 6)

Ayat di atas memberikan pelajaran bahwa setelah diri sendiri diberikan asupan ilmu dan adab, maka prioritas selanjutnya adalah keluarga sebelum orang lain. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak segan dan canggung dalam mendidik istri-istri beliau, termasuk meluruskan dan mengingkari kesalahan yang dilakukan mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya tentang kepemimpinannya, penguasa yang memimpin rakyat, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya atas mereka…” (HR. Bukhari)

Bentuk-Bentuk Pendidikan Nabi Terhadap Istri:

Pertama, berjuang bersama untuk menggapai surga

Hal tersebut terlihat dari bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan istri-istri beliau untuk salat malam (witir) dan iktikaf (pada sepuluh hari terakhir Ramadan).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كانَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُصَلِّي صَلَاتَهُ مِنَ اللَّيْلِ كُلَّهَا وأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بيْنَهُ وبيْنَ القِبْلَةِ، فَإِذَا أرَادَ أنْ يُوتِرَ أيْقَظَنِي فأوْتَرْتُ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam  biasa melakukan shalat malam dengan posisi Aisyah berbaring (melintang) di hadapan beliau. Maka, ketika tersisa witir, beliau membangunkannya, lalu Aisyah melakukan witir.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat yang lainnya,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

Dari ‘Aisyah radiyallahu’anha berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadan), Beliau mengencangkan sarung beliau, menghidupkan malamnya dengan beribadah dan membangunkan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari)

Kedua, pendidikan yang lemah lembut dan romantis

Diantara yang menunjukkan kelemah lembutan Nabi dalam mendidik istri-istri beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

Nabi shallallahu alaihi wa sallam memegang tanganku kemudian berisyarat menunjuk ke bulan, seraya berkata,

يا عائشة: استعيذي بالله من شر هذا فإن هذا هو الغاسق إذا وقب  (رواه أحمد)

“Wahai Aisyah, mintalah perlindungan kepada Allah dari keburukan ini, sesungguhnya ini adalah kejahatan malam jika telah gelap gulita.” (HR. Ahmad (VI/237). Lihat As-Silsilah as-Shahihah)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebelum mengajari Aisyah, beliau memegang tangannya yang menunjukkan betapa baik dan lemah lembutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik istri beliau. Begitu pula tatkala bersama Shofiyah, beliau mengusap air mata Shofiyah dengan tanganya saat Shofiyah menangis.

Dari Anas Bin Malik radiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كانت صفية مع رسول الله صلى الله عليه وسلفي سفر وكان ذلك يومها فأبطت في المسير فاستقبلها رسول الله صلى الله عليه وسلم وهي تبكي وتقول حملتني علي بعير بطئ فجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح بيديه عينيها 

“Suatu ketika Shofiyah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam perjalanan. Hari itu adalah gilirannya (bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tetapi Shofiyah sangat lambat sekali jalannya, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepadanya sedangkan ia menangis dan berkata, ‘Engkau membawaku di atas unta yang lamban.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus air mata Shofiyah dengan kedua tangannya.” (HR. Nasa’i, lihat As-Sunanul Kubra no. 9162).

Selain dua riwayat tersebut, bentuk romantisnya Nabi adalah dengan memberikan panggilan cinta kepada istri beliau, meletakkan kaki istrinya di atas lutut beliau hingga naik (ke unta), mengantar istri beliau, mencium istri beliau, tidur di pangkuan istri, dan yang lainnya.

Ketiga, permudah urusan keluarga dan sederhana dalam beribadah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok suami yang menginginkan kemudahan bagi istri-istri beliau. Dan ini merupakan karakter beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang suka mempermudah urusan orang lain.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia  berkata,

ما خُيِّر رسول الله صلى الله عليه وسلم بين أمرين إلَّا أخذ أيسرهما، ما لم يكن إثمًا

“Rasulullah tidaklah dihadapkan pada dua pilihan, melainkan ia pilih yang paling mudah diantara keduanya, selama itu bukan sebuah dosa…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia bercerita,

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَرَأَى حَبْلًا مَمْدُودًا بَيْنَ سَارِيَتَيْنِ فَقَالَ مَا هَذَا الْحَبْلُ قَالُوا لِزَيْنَبَ تُصَلِّي فِيهِ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ بِهِ فَقَالَ حُلُّوهُ حُلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid dan melihat seutas tali yang terbentang antara dua tiang, beliau bersabda,

“Ini tali apa?”

Para sahabat, “Ini tali milik Zainab (istri Nabi) yang ia gunakan untuk shalat, jika lelah ia mengikatkan talinya pada tiang tersebut.”

Maka beliau pun bersabda, “Lepaskanlah, lepaskanlah, hendaklah kalian shalat ketika dalam kondisi kuat (semangat), jika lelah hendaklah duduk.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dikisahkan dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Juwairiyah binti al-Harits radhiyallahu ‘anha,

“Nabi keluar dari rumahku. Saat itu aku sedang berada di musala rumahku. Beliau kembali lagi saat siang, sementara aku masih di tempat itu (untuk berzikir). Beliau berkata, ‘Engkau tidak meninggalkan musalamu sedari aku keluar tadi?’ ‘Iya’, jawabku. Beliau bersabda,

لَقَدْ قُلْتُ بَعْدَكِ أرْبَعَ كَلِمَاتٍ ثَلاثَ مَرَّاتٍ، لَوْ وُزِنَتْ بِمَا قُلْتِ مُنْذُ اليَوْمِ لَوَزَنَتْهُنَّ: سُبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ

“Sungguh, aku mengucapkan empat kalimat sebanyak tiga kali. Jika ditimbang dengan zikir yang kau ucapkan sejak tadi tentu akan menyamai timbangannya yaitu, “SUBHAANALLOHI WA BI-HAMDIH, ‘ADADA KHOLQIH, WA RIDHOO NAFSIH, WA ZINATA ‘ARSYIH, WA MIDAADA KALIMAATIH. (artinya: Mahasuci Allah. Aku memuji-Nya sebanyak makhluk-Nya, sejauh kerelaan-Nya, seberat timbangan ‘Arsy-Nya, dan sebanyak tinta tulisan kalimat-Nya).” (HR. Muslim)

Dari riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan kemudahan terutama dalam hal ibadah.

Keempat, menggemberikan keluarga dan meluangkan waktu untuk bersama

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bercerita,

خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأنا خَفِيفَةُ اللَّحْمِ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً فَقَالَ لأَصْحَابِهِ: تَقَدَّمُوا ثُمَّ قَالَ لِي: تَعَالَيْ حَتَّى أُسَابِقَكِ فَسَابَقَنِي فَسَبَقْتُهُ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ فِي سَفَرٍ آخَرَ، وَقَدْ حَمَلْتُ اللَّحْمَ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً فَقَالَ لأَصْحَابِهِ: تَقَدَّمُوا ثُمَّ قَالَ لِي: تَعَالَيْ أُسَابِقُكِ فَسَابَقَنِي فَسَبَقَنِي فَضَرَبَ بِيَدِهِ كَتِفِي وَقَالَ: هَذِهِ بِتِلْكَ.

“Aku pernah keluar bersama Rasulullah dan saat itu aku masih kurus. Ketika kami telah sampai di suatu tempat, beliau berujar kepada para sahabatnya, “Pergilah kalian terlebih dahulu!” 

Kemudian beliau menantangku untuk berlari, “Ayo kesinilah! aku akan berlomba denganmu!”

Kemudian beliau berlomba denganku, namun akhirnya aku memenangkan lomba tersebut.

Pada lain kesempatan, aku kembali keluar bepergian bersama beliau, dan saat itu badanku semakin besar, ketika kami berada di suatu tempat, Rasulullah kembali berkata kepada para sahabatnya, “Pergilah kalian terlebih dahulu!”

Kemudian beliau menantangku untuk berlari, “Ayo kesinilah! aku akan berlomba denganmu!”

Kemudian beliau berlomba denganku, tetapi akhirnya beliau memenangkan lomba tersebut. Beliau mengatakan bahwa ini adalah balasan dari kekalahan beliau sebelumnya sembari menepuk pundakku. (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 23/47, lihat Al-Misykah 2.238)

Juga diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan,

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِيْ مَيْمُوْنَةَ فَتَحَدَّثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سِاعَةً ثُمَّ رَقَدَ

(Suatu malam) aku menginap di rumah bibiku Maimunah (istri Nabi shallallahu alaihi wassallam). Rasulullah shallallahu alaihi wassallam berbincang-bincang dengan istrinya (Maimunah) beberapa saat kemudian beliau tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima, memaafkan kesalahan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika si pria (suami) tidak menyukai suatu akhlak pada si wanita (istri), hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai (sukai).(HR. Muslim)

Diceritakan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam, ia pun menjelaskan,

كان أحسن الناس خلقا، لم يكن فاحشا ولا متفحشا، ولا صَخابا في الأسواق، ولا يجزي بالسيئة السيئة، ولكن يعفو ويصفح 

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam orang yang paling bagus akhlaknya: beliau tidak pernah kasar, berbuat keji, berteriak-teriak di pasar, dan membalas kejahatan dengan kejahatan. Malahan beliau pemaaf dan mendamaikan (memaklumi. (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hibban).

Dari riwayat-riwayat yang telah disampaikan di atas, menunjukkan betapa baiknya pendidikan yang diimplementasikan Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam terhadap istri-istri beliau. Semoga kita dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam dalam mendidik istri dan anak yang kita cintai.

 

Penulis : Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

Pemurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *