SIFAT-SIFAT ALLAH

Edisi 2127

—-

QS. Asy-Syūrā: 11

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya”

  • Ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang dengannya dapat mengenali Zat yang Paling Mulia.
  • Ilmu mengenai sifat-sifat Allah merupakan salah satu bagian terpenting dari ilmu tauhid.
  • Di antara sebab penyimpangan beberapa kelompok di dalam Islam adalah kesalahan dalam memahami sifat-sifat Allah.
  • Mengenal sifat-sifat dapat mendatangkan banyak manfaat bagi seorang mukmin.

—-

Ilmu mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah ilmu yang mulia dalam Islam. Bahkan, ilmu ini perlu diketahui sebelum ilmu agama lainnya. Sebab, ilmu ini berkaitan langsung dengan Allah Ta‘ala, Sang Pencipta, Pengatur, Pemilik, dan Penguasa alam semesta. Dialah Tuhan yang berhak disembah di langit dan di bumi. Dialah puncak harapan, tujuan, dan spirit seorang hamba dalam menjalani kehidupannya di dunia ini.

Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata: “Kehidupan manusia tergantung kehidupan hati dan jiwanya. Dan tiadalah terwujud kehidupan hati melainkan dengan mengetahui, mencintai, dan mengabdi hanya kepada Sang Pencipta.” (Al-Jawāb Al-Kāfī, hlm. 132)

Mengetahui nama dan sifat Allah adalah pondasi dalam beragama. Artinya, seseorang harus menguatkan pondasi sebelum melakukan pembangunan.

Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata: “Siapa yang ingin meninggikan bangunan, maka ia harus mengukuhkan, memantapkan, dan benar-benar memperhatikan kekuatan pondasinya, karena tinggi bangunan selaras dengan kekuatan pondasi.” (Al-Fawā`id, hlm. 175). Demikian pula bangunan iman seorang hamba. Ia harus tegak di atas pondasi yang kuat, yaitu dengan mengetahui nama dan sifat Tuhan yang ia sembah.

Perbedaan Nama dan Sifat Allah

Mungkin di antara kita lebih familier dengan istilah Al-Asmā`ul-Husna dibandingkan Aṣ-Ṣifātul-‘Ulā. Tahukah Pembaca yang budiman, selain memiliki nama-nama yang terbaik, Allah Ta‘āla juga memiliki sifat-sifat yang termulia. Lantas apakah perbedaan di antara keduanya?

Sifat Allah cakupannya lebih luas dibandingkan nama Allah (Lihat Al-Qawā‘dul-Muṡlā, hlm. 59)., sebab, setiap nama Allah terkandung sifat dan tidak semua sifat memiliki nama tertentu. Sebagai contoh, dalam nama Ar-Raḥmān ‘Yang Maha Penyayang’ terkandung sifat Ar-Raḥmah ‘kasih sayang’, tetapi dalam sifat Allah  Al-Majī` ‘datang’ tidak berarti terdapat nama Allah Al-Jā`i` ‘Yang Maha Datang’.

Hal itu dikarenakan sifat Allah ada yang berupa sifat-sifat deskriptif tentang Zat Allah (ṣifāt żātiyyah) dan ada yang berupa perbuatan Allah (ṣifāt fi‘liyyah). Contoh sifat deskriptif tentang Zat Allah adalah al-ḥayāh (kehidupan), al-yadain ‘dua tangan’, al-‘ainain ‘dua mata’, dan lain-lain. Adapun sifat Allah yang berupa perbuatan seperti an-nuzul ‘turun’, al-maḥabbah ‘mencintai’, al-ghaḍab ‘murka’, dan lainnya.

Kaidah Dalam Sifat-Sifat Allah

Sifat-sifat Allah Ta‘ala hanya dapat diketahui melalui firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Sebab, wujud Allah tidak dapat diobservasi melalui panca indera dan tidak dapat dibayangkan oleh pikiran sehingga satu-satunya cara untuk mengetahui sifat-sifat Allah adalah melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang sahih.   

Akan tetapi, permasalahan yang timbul adalah bahwasanya lafaz pada ayat atau hadis yang mengandung sifat-sifat Allah juga digunakan untuk menyifati makhluk, padahal Allah berfirman “Laisa ka mitslihi syai’un” “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah”. Misalnya dalam sifat penglihatan, Allah dan makhluk memiliki sifat dapat melihat. Begitu pula sifat mencintai, Allah dan makhluk memiliki sifat mencintai. Meskipun keduanya memiliki sifat yang sama, tetapi penglihatan Allah tidaklah sama dengan penglihatan makhluk, dan cintanya Allah tidaklah sama dengan cintanya makhluk. Oleh karena itu, dalam menetapkan sifat bagi Allah Ta‘ālā kita tidak boleh melakukan 4 hal; menolaknya, mengubah maknanya, membagaimanakan atau memperagakannya, dan menyerupakannya dengan makhluk (Syarḥ Al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyyah, hlm. 19).

Contoh Penerapan Kaidah

Allah Ta‘ala berfirman:

قَالَ يَٰٓإِبۡلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسۡجُدَ لِمَا خَلَقۡتُ بِيَدَيَّۖ

“Wahai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?” (QS. Ṣād: 75)

Dalam firman Allah Ta‘ala di atas terdapat sifat Allah, yaitu ‘kedua tangan’. Untuk menetapkan sifat tersebut secara benar, maka kita perlu memperhatikan keempat kaidah di atas.

Pertama, kita tidak boleh menolaknya dengan mengatakan “Allah tidak mempunyai tangan”, karena Allah Ta‘ala sendiri yang memfirmankan demikian, maka kita wajib menetapkan sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya sendiri.

Kedua, kita tidak boleh mengubah maknanya, semacam mengubah arti ‘kedua tangan’ dengan ‘kemampuan’, karena menganggap kedua tangan hanya ungkapan kiasan yang bermakna ‘kemampuan Allah’. Sebab, untuk mengatakan sesuatu sebagai kiasan, perlu adanya indikasi yang membuatnya tidak lagi bermakna harfiah. Adapun pada ayat di atas tidak terdapat indikasi tersebut.

Ketiga, kita tidak boleh membagaimanakan atau memperagakan bentuk kedua tangan Allah, termasuk membayangkannya, karena Allah Ta‘ala berfirman:

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِۦ عِلْمًۭا   

“Allah mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedangkan Allah tak dapat dijangkau oleh pengetahuan mereka. (QS. Ṭāhā: 110)

Artinya, Zat Allah tak dapat dijangkau oleh pikiran manusia sehingga sifat-sifat Allah tidak dapat diindera dan tidak dapat dibayangkan akal. Sebab, apapun yang dibayangkan manusia pasti bersumber dari hal-hal yang pernah dilihatnya, sedangkan Allah tidak dapat dilihat, kecuali kelak pada hari akhir oleh penduduk surga.

Keempat, kita tidak boleh menyerupakan sifat Allah dengan makhluk, karena Allah Ta‘ala berfirman:

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengannya. (QS. Asy-Syūrā: 11)

Oleh karena itu, berkaitan dengan ayat di atas, yaitu /khalaqtu bi yadayya/ ‘Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ maka kita wajib mengimani bahwa itu adalah firman Allah dan Allah memiliki maksud dari ayat tersebut yang tidak kita pahami hakikat dan rinciannya. Tangan Allah tidaklah seperti tangan makhluk, tetapi ia sesuai dengan keluhuran dan kemuliaan Allah Ta‘ala.

Larangan Terlalu Mendalami Detail Sifat Allah

Allah Ta‘ala menjelaskan bahwasanya di dalam Al-Qur`an terdapat ayat-ayat yang muḥkamāt dan mutasyābihāt. Ayat muḥkamāt adalah ayat yang maknanya jelas dan lafaznya tegas. Adapun ayat mutasyābihāt adalah ayat yang tidak dapat diketahui makna yang dimaksud secara pasti. Terdapat banyak silang pendapat di antara para ulama terkait pemaknaannya. Ayat-ayat yang terkait sifat Allah termasuk ayat muḥkamāt yang dapat dipahami maknanya secara bahasa, namun seorang mukmin tidak seyogyanya mendalami dan berspekulasi terkait detailnya.

Demikianlah para pendahulu umat Islam dari kalangan para sahabat, generasi terbaik dan paling berilmu, mereka tidak mendalami permasalahan sifat-sifat Allah dan tidak saling mempertanyakan bagaimana, seperti apa, dan sebagainya. Akan tetapi, mereka mengimani ayat-ayat Al-Qur`an sebagaimana datang dari sisi Allah dengan maksud Allah yang inginkan sesuai dengan keluhuran dan kemuliaan Allah Ta‘ala.

Buah Mengimani Sifat-Sifat Allah

Berikut adalah buah dari mengimani sifat-sifat Allah Ta‘ala.

  1. Ketika hamba beriman bahwa Allah memiliki sifat mencintai, menyayangi, dan berlemah lembut kepada hambanya, maka hamba akan termotivasi untuk senantiasa melakukan amalan-amalan yang dicintai Allah, terutama amalan yang Allah wajibkan, seperti salat, zakat, berpuasa, dan lainnya.
  2. Ketika hamba beriman bahwa Allah memiliki sifat mengetahui dan membersamai hamba-Nya, maka hamba akan merasa tenang saat musibah menimpa dan merasa mawas diri saat godaan maksiat menyapa, karena ia mengetahui bahwa Allah melihat dan mengetahui perbuatan hamba-N
  3. Ketika hamba mengetahui bahwa Allah memiliki sifat murka, menguasai, dan memaksa, maka hamba mengetahui bahwa Allah memiliki azab yang keras sehingga hamba mengintrospeksi diri untuk senantiasa menjauhi hal-hal yang membuat Allah murka, seperti berbuat syirik, membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, berburuk sangka kepada Allah dan lainnya

Ya Allah, berikanlah kami pemahaman tentang-Mu dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang diberi petunjuk dan dapat menjadi perantara petunjuk bagi orang lain. Āmīn yā Rabbal-‘alamīn.

Penulis : Faadhil Fikrian Nugroho, S.S. (Alumnus Ma’ad Al Ilmi Yogyakarta)

Pemurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *