Mengikuti Jalan Hidup Nabi & Orang Salih Terdahulu

Edisi 1813

Seluruh muslimin sepakat bahwa mencintai Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu wajib. Namun cinta itu tak cukup dengan sekadar ucapan dan klaim semata. Cinta juga harus memiliki bukti dan tindakan. Mencintai Nabi bukan dengan amalan-amalan yang diada-adakan. Cinta kepada Nabi hanya terwujud dengan mengikuti sunnahnya, berpegang teguh padanya, menghidupkannya, dan membelanya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’.” (Q.S. Ali ‘Imran : 31).

Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim ‘alaihissalam (yang artinya), “Orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang yang mengikutinya…” (Q.S. Ali ‘Imran : 68).

Demikian juga bisa kita katakan, orang yang paling layak bersama Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang mengikutinya serta berpegang teguh dengan petunjuk dan sunnahnya. (Ahsanul Bayan min Mawaqif Ahlil Iman, hal. 325).

 

Maksud kata “sunnah”

Sunnah secara bahasa bermakna jalan atau riwayat hidup, baik atau buruk. (Lisanul ‘Arab, 17/89).

Adapun secara istilah, para ulama berselisih pendapat dalam mendefinisikannya. Penggunaan kata sunnah di tengah ulama Ahli Hadits berbeda dengan penggunaannya di tengah ulama Ahli Fiqih, demikian pula di tengah ulama Ahli Ushul Fiqih. Akan tetapi sunnah yang dimaksudkan dalam pembahasan kita adalah sunnah dalam pengertian yang lebih luas.

Para ulama terdahulu menggunakan kata sunnah dengan pengertian “Segala hal yang sesuai dengan Al-Quran serta ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik dalam perkara aqidah maupun ibadah. Lawan dari sunnah adalah bid’ah.” (Kun Salafiyyah ‘alal Jaaddah, hal. 26).

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah menyatakan, “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, termasuk di antaranya adalah berpegang teguh dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin, baik berupa keyakinan, amalan, dan ucapan. Itulah bentuk sunnah yang sempurna.” (Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, hal. 262).

Berpegang teguh dengan sunnah Nabi

Wajib bagi setiap muslim yang ridha Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya, untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menempuh jalannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” (Q.S. Al-Ahzab : 21).’

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Hasyr : 7).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaa Ar-Raasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Pegang teguh dan gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian. Jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud).

Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata, Ikutilah tuntunan dan jangan kalian mereka-reka ajaran baru. Sebab sesungguhnya kalian telah dicukupkan dengan tuntunan yang ada.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi (211) dan Ath-Thabarani fi Mu’jam Al-Kabir (8770)).

 

Keutamaan mengikuti sunnah Nabi

Pertama, mengikuti sunnah Nabi adalah sebab hidayah, dan menyelisihinya adalah sebab kesesatan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Asy-Syura : 52).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku telah tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (H.R. Malik dan Al-Hakim).

Sebaliknya, barangsiapa yang menyelisihi Nabi, dia telah tersesat dari jalan yang benar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab : 36).

 

Kedua, mengikuti sunnah Nabi adalah sebab keselamatan, dan menyelisihinya adalah sebab kebinasaan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.” (Q.S. Al-Ahzab : 72).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.” (H.R. Ahmad).

 

Meneladani jalan para sahabat Nabi

Telah berlalu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan kita untuk mengikuti sunnahnya dan sunnah para Khulafaur Rasyidin. Secara khusus, Allah juga memerintahkan untuk mengikuti jalan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Q.S. Luqman : 15).

Ibnul Qayyim berkata, “Semua sahabat Nabi adalah orang yang kembali kepada Allah. Kita wajib mengikuti jalan mereka. Ucapan dan akidah mereka adalah seutama-utamanya jalan yang ditempuh manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in, 4/120).

Allah Ta’ala telah meridhai para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (Q.S. At-Taubah : 100).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memuji para sahabat, “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (H.R. Al-Bukhari, No. 2652 dan Muslim, no. 2533).

Kemudian Allah Ta’ala berfirman mengancam orang-orang yang menempuh selain jalannya para sahabat radhiyallahu ‘anhum,

“Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisa’ : 115).

Tidaklah dipungkiri bahwa para sahabat adalah jajaran terdepan kaum mukminin pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah jembatan emas bagi kaum mukminin yang mengharapkan surga dan kejayaan dunia. Oleh karena itu, mengikuti jalan para sahabat adalah sebuah keniscayaan.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dianut oleh para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, meneladani mereka dan meninggalkan perbuatan baru dalam agama.” (Ushulus Sunnah, lil Imam Ahmad).

 

Seperti menggenggam bara api

Di zaman sekarang, berpegang teguh dengan agama dan sunnah Nabi mulai nampak asing di tengah kebanyakan manusia. Hal ini telah diwanti-wanti oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (H.R. Tirmidzi no. 2260).

Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa di zaman tersebut, orang yang berpegang teguh dengan agama hingga meninggalkan dunianya, ujian dan kesabarannya begitu berat. Ibaratnya seperti seseorang yang memegang bara api. (Tuhfatul Ahwadzi, 2/1822).

Mungkinkah zaman yang dimaksud adalah zaman kita sekarang? Hanya Allah yang mengetahui. Yang jelas zaman itu akan datang. Zaman di mana yang namanya kebaikan dan sebab kebaikan itu sedikit. Sebaliknya, kejelekan dan sebab kejelekan itu banyak. Hari-hari saat itu adalah hari-hari kesabaran, di mana kesabaran pada saat itu ibarat menggenggam bara api.

Akan tetapi, bagaimana pun kengerian zaman itu, seorang mukmin tidak boleh putus asa dari rahmat Allah. Barang siapa yang bersabar maka Allah akan memberikan ganjaran pahala yang tak terbatas. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Az Zumar: 10).


Wallahul muwaffiq.


Penulis : Zulfahmi Djalaluddin, S.Si. (Alumnus Mahad Al-‘Ilmi Yogyakarta)

Muroja’ah : Ustaz Abu Salman, B.I.S. Hafizhahullah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *