Edisi 2121
—-
- Di antara hak seorang muslim ketika wafat adalah disalatkan jenazahnya.
- Salat jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah sehingga setiap muslim tidak boleh lalai dari melaksanakannya.
- Salat jenazah memiliki keutamaan yang besar baik bagi orang yang menyalatkan ataupun bagi jenazah yang disalati.
- Salat jenazah memiliki tata cara pelaksanaannya yang berbeda daripada salat-salat lainnya.
- —
Hukum salat jenazah
Salat jenazah hukumnya fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah didatangkan kepada beliau jenazah seorang lelaki. Lelaki tersebut masih memiliki hutang. Maka beliau bertanya: “Apakah ia memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya?”. Jika ada yang menyampaikan bahwa orang tersebut memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya, maka Nabi pun menyalatkannya. Jika tidak ada, maka beliau bersabda: “Salatkanlah saudara kalian” (HR. Muslim).
Bahkan dianjurkan sebanyak mungkin kaum Muslimin menyalati orang yang meninggal, agar ia mendapatkan syafaat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu disalatkan oleh kaum muslimin yang jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendoakan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafaat untuk si mayat” (HR. Muslim).
Tata Cara Salat Jenazah
- Posisi berdiri
Imam berdiri sejajar dengan kepala mayat lelaki dan bila mayatnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Sebagaimana dalam hadis Abu Ghalib, “Al ‘Ala bin Ziyad mengatakan: wahai Abu Hamzah (Anas bin Malik), apakah praktek Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam salat jenazah seperti yang engkau lakukan? Bertakbir 3 kali, berdiri di bagian kepala lelaki dan di bagian tengah wanita? Anas bin Malik menjawab: iya” (HR. Abu Daud no. 3194, At Tirmidzi no. 1034, dishahihkan Al Albani).
- Jumlah shaf
Sebagian ulama menganjurkan untuk membuat tiga shaf (barisan) walaupun shaf pertama masih longgar. Berdasarkan hadits, “Barangsiapa yang mensalatkan jenazah dengan membuat tiga shaf, maka wajib baginya (mendapatkan ampunan)” (HR. Tirmidzi no. 1028).
Ulama berselisih mengenai derajat hadits ini, yang lebih kuat hadis ini lemah menurut Syaikh Al Albani.
Maka yang menjadi poin penting adalah banyaknya jumlah orang yang menyalati sebagaimana dalam hadis riwayat Muslim, bukan berapa jumlah shafnya.
- Jumlah takbir dan mengangkat tangan
Takbir salat jenazah sebanyak empat kaliberdasarkan ijmak ulama akan hal ini. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mensalati Ash-hamah An Najasyi, beliau bertakbir empat kali” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ulama berijmak mengenai disyariatkannya mengangkat tangan untuk takbir yang pertama. Ibnu Mundzir rahimahullah mengatakan, “Ulama berijmak bahwa orang yang salat jenazah disyariatkan mengangkat tangan di takbir yang pertama” (Al Ijma’, hal. 44).
Namun, mereka berselisih mengenai mengangkat tangan untuk takbir selainnya. Yang kuat, disunnahkan untuk mengangkat tangan dalam setiap takbir dalam salat jenazah. Berdasarkan riwayat dari Nafi’ tentang Ibnu Umar radhiallahu’anhu, Nafi’ rahimahullah berkata, “Ibnu Umar radhiallahu’anhu mengangkat tangannya di setiap kali takbir dalam salat jenazah” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (11498), dihasankan Syaikh Ibnu Baz).
Juga riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Bahwasanya beliau biasa mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir di salat jenazah” (Dishahihkan Ibnu Hajar dalam Talkhis Al Habir, 2/291).
- Tempat salat jenazah
Salat jenazah lebih utama dilakukan di luar masjid, sebagaimana yang umum dilakukan di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengumumkan kematian An Najasyi di hari ia wafat. Kemudian beliau keluar ke lapangan lalu menyusun shaf untuk salat, kemudian bertakbir empat kali” (HR. Bukhari).
Namun boleh juga dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah radhiyallahu‘anha ia berkata, “Demi, Allah! Tidaklah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha’ dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid” (HR. Muslim).
Dibolehkan bagi orang yang belum sempat mensalatkan jenazah sebelum dikuburkan, lalu ia melakukan salat jenazah di pemakaman. Sebagaimana dalam riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma: “Seseorang yang biasa dikunjungi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah meninggal. Ia meninggal di malam hari, maka ia pun dikuburkan di malam hari. Ketika pagi hari tiba, para sahabat mengabarkan hal ini kepada Rasulullah. Beliau pun bersabda: apa yang menghalangi kalian untuk segera memberitahukan aku? Para sahabat menjawab: ketika itu malam hari, kami tidak ingin mengganggumu wahai Rasulullah. Maka beliau pun mendatangi kuburannya dan salat jenazah di sana” (HR. Bukhari).
- Tata cara salat
Pertama, niat salat jenazah. Dan niat adalah amalan hati yang tidak perlu dilafalkan.
Kedua, takbir yang pertama, membaca ta’awwudz kemudian Al Fatihah. Berdasarkan keumuman hadits: “Tidak ada salat yang tidak membaca Al Fatihah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian riwayat dari Thalhah bin Abdillah bin Auf, ia berkata: “Aku salat bermakmum kepada Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam salat jenazah. Beliau membaca Al Fatihah. Beliau lalu berkata: agar mereka tahu bahwa ini adalah sunnah (Nabi)” (HR. Bukhari).
Dan tidak perlu membaca doa iftitah sebelum Al Fatihah.
Ketiga, takbir yang kedua, kemudian membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan hadits dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu, “Bahwa sunnah dalam salat jenazah adalah imam bertakbir kemudian membaca Al Fatihah (setelah takbir pertama) secara sirr (lirih), kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian berdoa untuk mayat setelah beberapa takbir. Kemudian setelah itu tidak membaca apa-apa lagi setelah itu. Kemudian salam” (HR. Asy Syafi’i dalam Musnad-nya [no. 588], Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra [7209], dishahihkan Al Albani).
Keempat, takbir yang ketiga, kemudian membaca doa untuk mayat. Berdasarkan hadits Abu Umamah di atas. Di antara doa yang bisa dibaca adalah: “Ya Allah, berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahannya sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, istri yang lebih baik dari istrinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah ia dari adzab kubur dan adzab neraka” (HR. Muslim no. 963).
Keempat, takbir keempat. Kemudian diam sejenak atau boleh juga membaca doa untuk mayat menurut sebagian ulama. Yang lebih utama adalah diam sejenak dan tidak membaca apa-apa sebagaimana lahir dalam hadits Abu Umamah radhiallahu’anhu.
Kelima, salam. Dan sifat salamnya sebagaimana salam dalam salat yang lain. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu: “Ada 3 perkara yang dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar melakukannya dan kemudian banyak ditinggalkan orang: salah satunya salam di salat jenazah semisal dengan salam dalam salat yang lain..” (HR. Ath Thabrani no. 10022, dihasankan Al Albani).
Mayoritas ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah satu kali. Mereka berdalil dengan perbuatan para sahabat. Di antaranya Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma: “Beliau (Ibnu Abbas) melakukan salam dengan satu kali salam yang ringan dalam salat jenazah” (HR. Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 6990, dihasankan Al Albani).
Sebagian ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali sebagaimana salam dalam salat pada umumnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu di atas.
Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan madzhab Syafi’i, serta dikuatkan oleh Ibnu Hazm.
Pendapat yang kuat, wallahu a’lam, bahwa salam dalam salat jenazah adalah sekali saja.
Demikian uraian ringkas mengenai fikih salat jenazah.
Ditulis : Ustaz Yulian Purnama, S.Kom.