Ketika Kita Memilih Merdeka

Edisi 2106

—–

  • Kita memiliki kebebasan dalam memilih, namun kita tidak akan pernah terbebas dari konsekuensi atas keputusan pilihan kita.
  • Islam mengajarkan bahwa tidak ada kemerdekaan yang mutlak.
  • Kemerdekaan yang tidak disikapi dengan bijak sejatinya hanya perpindahan dari satu bentuk penjajahan, menuju bentuk penjajahan yang lain.
  • Iman terhadap takdir akan memerdekakan kita dari penyesalan nonproduktif terhadap masa lalu, dan kekhawatiran terhadap masa depan.
  • Kemerdekaan tidak hanya dapat ditinjau secara zahir saja, namun juga secara batin. Keduanya tidak selalu berjalan beriringan.

——-

Tanggung jawab kemerdekaan

Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dalam keadaan merdeka. Ia memberi manusia kesempatan untuk berkehendak dan memilih, sehingga pada dasarnya kita tidak terpaksa dalam beramal. Salah satu bukti hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنَّ اللهَ تعالى وَضَعَ عَن أُمَّتي الخَطَأَ ، وَالِّنسيَانَ ، وَمَا اسْتُكرِهوا عَلَيهِ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala memaafkan kesalahan dari umatku yang tidak disengaja, dikarenakan lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2043, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Kita tidak menerima konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan karena paksaan, yakni saat kita tidak merdeka dalam membuat keputusan. (Khutbah Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid https://almunajjid.com/speeches/lessons/128).

Akan tetapi, sudah menjadi kesepakatan bahwa setiap kejadian itu memiliki sebab dan akibat. Tatkala kita diberi kebebasan untuk memilih dan berkehendak, suka tak suka kita juga harus siap untuk menanggung konsekuensi dari pilihan tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

مَّنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا فَلِنَفۡسِهِۦۖ وَمَنۡ أَسَآءَ فَعَلَيۡهَاۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّٰمٖ لِّلۡعَبِيدِ

“Siapa yang mengerjakan kebaikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan siapa yang berbuat jahat, maka (akibatnya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(Nya).” (QS. Fusshilat: 46)

Dengan demikian, sebenarnya kita hanya sekadar merdeka dalam memilih, dan tidak akan pernah merdeka (baca: terbebas) dari konsekuensi atas pilihan atau keputusan kita sendiri.

Hal penting yang perlu kita sadari saat memilih untuk merdeka adalah, bahwa setelahnya bukan berarti masalah sudah selesai. Setumpuk masalah akan muncul pasca-kemerdekaan. Banyak kita jumpai bangsa yang sudah puluhan tahun merdeka, namun sampai hari ini mayoritas rakyatnya masih dijajah kebodohan, kemiskinan, bahkan kelaparan. Inti masalahnya satu, yaitu tidak bijak dalam menyikapi kemerdekaan. Kemerdekaan yang tidak disikapi dengan bijak ini sejatinya hanya menghasilkan perpindahan dari satu bentuk penjajahan, menuju bentuk penjajahan yang lain.

Islam mengajarkan bahwa tidak ada kemerdekaan yang mutlak, melainkan hanya ada ‘kemerdekaan’ sebagai hak yang tak akan pernah terlepas dari berbagai kewajiban sebagai konsekuensinya. (Fatwa Islamweb https://www.islamweb.net/ar/fatwa/44340/).

Maka dari itu, mungkin sebaiknya makna kemerdekaan itu jangan kita batasi pada kebebasan saja, melainkan perlu dilengkapi menjadi kebebasan untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan, dan kebebasan untuk tidak melakukan hal yang semestinya dihindari. Standar mengenai apa saja hal yang seharusnya dikerjakan maupun ditinggalkan itu tentunya dikembalikan kepada Allah Ta’ala, Zat yang atas berkat rahmat dan kuasa-Nya kita dapat merasakan nikmat kemerdekaan.

 

Masalah Pertama Pasca-Merdeka

Ketika kita memilih merdeka, masalah yang mungkin akan datang paling awal adalah rasa takut dalam mengambil keputusan, apakah pilihan yang kita ambil benar ataukah tidak. Bagi orang yang beriman, sebenarnya masalah ini sudah selesai sebelum kita memikirkannya. Bayangkan, apabila mendapat kemerdekaan dalam memilih saja sudah menjadi hal yang membahagiakan, bagaimana lagi jika kita senantiasa dibantu untuk mendapatkan hasil yang terbaik, saat kita tidak menyadari bahwa kehendak kita bukanlah pilihan yang tepat.

Fakta inilah yang terus diyakini muslim yang beriman atas setiap takdir Tuhan-Nya saat keinginan mereka berbeda dengan realitas. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“…Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له

“Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Semua urusannya itu baik. Ini tidaklah didapat kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)

Keyakinan ini akan menjadikan kita lebih mantap dengan melangkah, karena kita hanya tinggal memutuskan dan berusaha sesuai dengan apa yang kita ketahui. Adapun yang tidak diketahui, kita serahkan kepada Allah Ta’ala sebagai Zat Yang Maha Bijaksana. Iman terhadap takdir akan memerdekakan kita bukan hanya secara zahir, namun juga secara batin: merdeka dari penyesalan nonproduktif terhadap masa lalu, serta merdeka dari kekhawatiran terhadap masa depan.

Merdeka di Balik Jeruji

Kemerdekaan tidak hanya dapat ditinjau secara zahir saja, namun juga secara batin, dan keduanya tidak selalu berjalan beriringan. Sebagai contoh, banyak kita dengar hikayat raja-raja dunia yang secara zahir nampak merdeka lagi bebas berbuat apa saja, namun dibalik itu hari-harinya diisi ketakutan akan runtuhnya kekuasaan mereka. Sebaliknya, adakalanya seorang itu zahirnya terlihat tidak merdeka, namun berbeda dengan hatinya.

Mari sejenak kita simak kisah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Sejarah mencatat masa di mana beliau dipenjara oleh penguasa karena keteguhan beliau dalam mempertahankan kemurnian akidah, serta keberaniannya dalam mengkritik berbagai penyimpangan dalam praktik beragama. Sebagai sosok ulama yang memiliki banyak murid dan pendengar, bisa saja beliau menolak putusan tersebut dan memilih memberontak. Tetapi, beliau tidak mengambil opsi tersebut. Beliau lebih merasa nyaman saat kemerdekaannya direnggut dengan menghuni jeruji, daripada merenggut darah dan ‘kemerdekaan’ banyak kaum muslimin sebagai konsekuensi dari pemberontakan maupun perang saudara.

Pilihan tersebut justru membuat beliau merasa lebih merdeka. Bahkan, dari balik jeruji inilah asal muasal perkataan beliau yang fenomenal, “Apa yang dilakukan musuh-musuhku kepadaku? Sungguh surgaku dan taman-tamannya ada di dalam dadaku, ia ada bersamaku dan tidak terpisahkan dariku. Jika mereka memenjarakanku, itu adalah khalwat (menyepi dengan Allah) bagiku. Jika mereka membunuhku, maka kematianku adalah syahid. Jika mereka mengusirku dari negeriku, maka itu adalah wisata.” Beliau juga berkata, “Orang yang dipenjara adalah orang yang hatinya terpenjara dari (mengenal) Rabb-Nya Ta’ala.(Al-Wabilush Shayyib hal. 48).

Beliau tetap bertahan dalam pilihan tersebut hingga sebagian sumber menyebutkan bahwa beliau wafat di dalam penjara. Keputusan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ini mungkin membuatnya tampak tidak merdeka secara zahir, namun kemerdekaan batinlah yang beliau dapatkan.

Demikian, semoga kita dapat mengambil pelajaran agar bisa menjadi manusia yang merdeka seutuhnya.

Penulis: Reza Mahendra, S.Psi. (Alumnus Ma’had Al-’Ilmi Yogyakarta)

Murajaah: Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *