dakwah tauhid prioritas utama

At Tauhid Edisi VII/2
Oleh Adika Mianoki

Tauhid merupakan perkara yang paling penting dalam agama Islam sehingga tidak boleh disepelekan. Namun sangat disayangkan, tidak sedikit dari para dai yang meremehkan dakwah tauhid dan disibukkan dengan permasalahan yang lainnya. Sementara itu, orang yang berkonsentrasi mendakwahkan tauhid dianggap ketinggalan zaman dan memecah belah umat. Padahal inilah inti dakwah para rasul ‘alaihimus salam.

Seluruh Utusan Allah Mendakwahkan Tauhid

Setiap Rasul yang diutus oleh Allah Ta’ala pasti semuanya mendakwahkan tauhid dan memperingatkan tentang syirik. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah Ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap- tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl:36). Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, “Seluruh para rasul menyeru untuk beribadah hanya kepada Allah dan melarang untuk menujukan ibadah kepada selain-Nya. Allah Ta’ala tidak mengutus seorang rasul pun sejak terjadinya kesyirikan pada kaum Nuh yang diutus rasul kepada mereka kecuali untuk tujuan tersebut (hanya beribadah kepada Allah semata). Rasul yang pertama diutus ke muka bumi sampai penutup para rasul , Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mendakwahkan sebagaimana yang Allah perintahkan (yang artinya) “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.” (QS. Al Anbiya’:25)” [1]

Dakwahnya Pengikut Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf:108) Dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya untuk memberitahukan kepada manusia tentang penjelasan manhaj (metode berdakwah) para nabi dan pengikutnya, yakni berdakwah kepada Allah di atas dasar ilmu. Hal ini menunjukkan barang siapa yang tidak mengajak kepada Allah di atas ilmu, maka dia bukanlah pengikut Nabi yang sejati walaupun dia seorang fakih yang berilmu.

Yang dimaksud dengan firman Allah: “menyeru kepada Allah” adalah berdakwah kepada tauhidullah ‘Azza wa Jalla yaitu dengan beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, serta berdakwah terhadap perkara syariat agama yang lainnya. Sehingga dakwah berlaku untuk orang kafir agar masuk ke dalam Islam dan juga dakwah kepada kaum muslimin yang bermaksiat kepada Allah agar kembali bertaubat kepada Allah serta mau melaksanakan perintah dan memperingatkan mereka dari syirik dan meninggalkan maksiat. Dakwah tidak hanya terbatas pada mendakwahi orang kafir, bahkan kaum muslimin juga membutukan dakwah. Dakwah ini bersifat umum, yakni dakwah untuk mengenal tauhid dan lawannya yaitu syirik.[2]

Tauhid Asas Perbaikan Umat

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang ingin meninggikan suatu bangunan, hendaklah ia memantapkan pondasinya, menguatkannya, dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuatnya pondasi dan kemantapannya. Amal perbuatan serta derajat kemuliaan manusia adalah sebuah bangunan, sedangkan pondasinya adalah iman. Semakin kokoh suatu pondasi akan menghasilkan bangunan yang tinggi dan kuat. Jika suatu bangunan roboh mudah untuk memperbaikinya. Namun jika pondasinya tidak kokoh, bangunan itu tidak akan tinggi dan kuat. Jika suatu pondasi telah hancur, maka bangunannya pun akan roboh . Orang yang bijaksana akan lebih memperhatikan perbaikan pondasi. Sedangkan orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi pondasinya, sehingga tidak berapa lama lagi bangunan itu akan hancur”.

Beliau melanjutkan, “Maka buatlah bangunanmu di atas pondasi iman yang kokoh. Jika rusak bagian dari bangunan yang tinggi maka memperbaikinya lebih mudah bagimu daripada hancurnya suatu pondasi. Pondasi ini terdiri dari dua macam. Pondasi pertama yaitu benarnya pengenalan terhadap Allah, perintah-perintah-Nya serta nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Yang kedua adalah ketundukan dan ketaatan hanya kepada Allah dan rasul-Nya dengan sebenar-benarnya. Inilah pondasi terkuat yang bisa digunakan oleh seseorang untuk menegakkan bangunannya dan ia bisa meninggikan bangunannya sesuka dia. Oleh karena itu, perkokohlah pondasi bangunan kalian, jagalah kekuatannya dan senantiasalah memeliharanya”[3]

Tauhid Prioritas Pertama dan Utama

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah berpesan kepada Mua’dz bin Jabal yang diutus untuk berdakwah di Yaman, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah –dalam riwayat lain: kepada tauhidullah-. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu pada setiap siang dan malam. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka sedekah yang diambil dari orang kaya mereka lalu dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka kamu jauhilah harta mulia mereka. Takutlah kamu terhadap doa orang yang terzhalimi, karena tidak ada penghalang antara dia dan Allah”[4]

Dalam hadist ini terdapat pelajaran tentang tahapan dalam berdakwah, yakni memulai dari yang paling penting kemudian yang kurang penting. Inilah jalan dakwah para rasul, mereka memulainya dengan dakwah kepada kalimat Laa ilaaha ilallah, karena hal ini merupakan pokok dan asas bangunan agama seseorang. Jika telah kokoh syahadat Laa ilaaha ilallah, maka memungkinkan dibangun di atasnya perkara yang lainnya. Adapun jika syahadatnya belum kokoh, maka tidak bermanfaat amal yang lainnya. Tidak mungkin engkau memerintahkan manusia shalat sementara mereka masih musyrik, engkau juga tidak bisa memerintahkan puasa, sodaqoh, menyambung silaturahmi sementara mereka masih menyekutukan Allah, karena engkau tidak meletakkan asas yang pertama.

Hal ini berbeda dengan kondisi para dai hari ini yang tidak memperhatikan tentang dakwah terhadap syahadat Laa ilaaha ilallah. Mereka mengajak manusia untuk meninggalkan riba, bergaul dengan baik sesama manusia, berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, dan permasalahan yang lain, namun mereka tidak mengingatkan tentang perkara tauhid dan tidak memperhatikannya seolah-olah ini bukan sesuatu yang wajib. Bagaimana pun mereka susahpayah berjuang namun amalan mereka tidak bermanfaat sehingga mereka memperkokoh pondasi dan pokok yang mendasari perkara-perkara agama yang lain berupa hukum-hukum, sholat, zakat, haji, dan sebaginya. Inilah manjahj para Nabi sebagaimana firman Allah (yang artinya): “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An-Nahl: 36)[5]. Mengapa para juru dakwah sekarang justru meremehkan hak Allah ini?! Bukankah hak Allah lebih pantas untuk didahulukan? Bukankah dakwah tauhid merupakan kunci dakwahnya para rasul, sebagaimana yang telah Allah abadikan dalam banyak ayat-Nya?

Wahai Para Dai, Contohlah Dakwah Nabi Kita!

Barangsiapa yang mau meneliti sejarah Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa salam, dia akan dapat mengambil pelajaran manhaj berdakwah kepada Allah. Bahwasanya yang pertama kali yang diserukan kepada manusia adalah aqidah tentang beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya serta meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, sebagaimana ini merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha ilallah.

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah uswah dalam segala hal, termasuk dalam melaksanakan dakwah. Beliau tinggal di Mekah selama tiga belas tahun setelah diutus menjadi rasul, menyeru kepada manusia untuk memperbaiki aqidah dengan menyembah Allah semata dan meninggalakan peribadatan kepada berhala. Seruan ini beliau lakukan sebelum memerintahkan mereka untuk sholat, zakat, puasa, haji, dan meninggalkan kemaksiatan seperti riba, zina, meminum khomer, dan perjudian.

Hal ini menunjukkan dengan jelas kesalahan sebagian jamaah dakwah pada zaman ini yang tidak memprioritaskan aqidah dan hanya mementingkan terhadap perbaikan akhlak. Mereka melihat kebanyakan manusia melakukan perbuatan syirik akbar di sekitar kuburan di negeri- negeri Islam namun tidak mengingkarinya, tidak melarang darinya, baik dengan perkataan, pada saat ceramah, atau dengan tulisan, kecuali hanya sebagian kecil saja. Bahkan terkadang mereka berada di antara barisan orang-orang yang melakukan syirik, bersatu dengan orang-orang yang menyimpang, tidak melarang dan memperingatkan mereka![6]

Mendakwahkan Tauhid Sepanjang Hayat

Ibunda ’Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika sakit yang menyebabkan beliau tidak bisa bangkit lagi, ‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid’. ’Aisyah berkata, “Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.”[7]. Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam memulai dakwahnya dengan tauhid, mengiringi dengan tauhid dan mengakhiri pula dengan tauhid. Dan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mewasiatkan umatnya dengan tauhid di akhir hidup beliau. Wasiat merupakan pesan terakhir dalam kehidupan seseorang. Tentunya yang akan disampaikan adalah perkara yang paling utama dan paling penting karena ia tidak akan sempat lagi menyampaikan sesuatupun setelah itu. Dari sini dapat terlihat apa yang dianggap paling penting oleh seseorang dalam hidupnya. Demikian pula wasiat para nabi adalah tauhid, yang menunjukkan bahwa yang paling penting bagi mereka adalah tauhid. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak- anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kalian mati kecuali dalam (keadaan) Islam” (QS. Al Baqarah: 132).

Demikian paparan singkat tentang pentingnya dakwah tauhid. Semoga Allah senantiasa membimbing kita di atas jalan tauhid, mempelajari dan mengamalkan serta berusaha semampu kita untuk mendakwahkannya. Khususnya kepada para pengemban tugas dakwah, marilah kita memprioritaaskan dakwah tauhid yang merupakan inti dakwah para nabi dan merupakan poros perbaikan umat. Wallahul musta’an.

Sumber:
[1]. Fathul Majiid hal 24. Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, cet. Muasasah al Mukhtar
[2]. Lihat I’aanatul Mustafiid I/93-94, Syaikh Shalih Fauzan, cet. Markaz Fajr
[3]. Al Fawaaid hal 149-150, Ibnul Qayyim al Juziyah, cet. Daarul ‘Aqidah
[4]. H.R Bukhari 1395 dan Muslim 19
[5]. I’aanatul Mustafiid I/ 99-100
[6]. Al Irsyaad ilaa shahiihil I’tiqad hal 15, Syaikh Shalih Fauzan, cet. Maktabah Salsabil
[7]. H.R Muslim 529

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *