Memberhalakan Orang Shalih

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah subhanahuwata’ala, salah satu cara agar kita bisa memahami dan mengamalkan tauhid adalah dengan mengetahui lawannya, yaitu kesyirikan. Seperti yang telah kita ketahui, syirik adalah menyejajarkan segala sesuatu selain Allah dengan Allah dalam hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, yaitu dalam hal Rububiyyah (Perbuatan-perbuatan Allah), ‘Uluhiyyah (Perbuatan hamba dalam rangka beribadah kepada-Nya) dan Asma wa sifat (Nama dan Sifat Allah). Kesyirikan memiliki bentuk yang beraneka macam, dari yang nampak jelas sampai yang tersembunyi. Bahkan seseorang dapat tidak mengenali suatu kesyirikan karena kesamarannya. Untuk itu wajib bagi setiap muslim mempelajari ilmu tauhid secara mendalam sehingga dapat membedakan perkara tauhid dan syirik. Salah satu kesyirikan yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah sebagai akibat berlebihan terhadap orang shalih.

Bahaya Mengejek Ajaran Nabi

Lisan merupakan salah satu bagian tubuh manusia yang amat berharga, dan satu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa Islam adalah agama yang kaffah sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya), “Wahai Orang-Orang yang beriman masuklah ke dalam islam secara kaffah/menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya dia adalah musuh (kalian) yang nyata”. (QS : Al Baqoroh [2] : 208)

Seorang sahabat yang mulia sekaligus merupakan ahli tafsir dari kalangan sahabat Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Yang dimaksud Kaffah (dalam ayat di atas) adalah masuklah kalian ke dalam ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam secara menyeluruh”. Jika hal ini telah kita fahami maka lihatlah betapa islam begitu memberikan perhatian yang besar terhadap lisan melalui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (yang artinya), “Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata kata-kata yang baik atau ia diam”.

Kekeliruan Seputar Mayit dan Kubur

Barangsiapa meyakini bahwa shalat di masjid yang dibangun di atas kubur lebih memiliki keutamaan dari shalat di tempat lainnya atau lebih utama dari shalat di sebagian masjid, maka dia telah keluar dari jama’ah kaum muslimin dan telah keluar dari agama ini. Bahkan yang diyakini oleh umat ini bahwa shalat di masjid yang dibangun di atas kubur adalah sesuatu yang terlarang dengan larangan haram. Walaupun di sana, para ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat di daerah pekuburan, apakah diharamkan, dimakruhkan, atau mubah? Atau dibedakan antara kubur yang baru digali dengan kubur yang sudah lama. Hal ini dikarenakan apakah larangan shalat di pekuburan tadi karena alasan najis yaitu bercampurnya tanah dengan darah mayit ataukah bukan?

Saat Kubur Jadi Tempat Ibadah

Menjadikan suatu tempat sebagai masjid adalah menjadikan shalat lima waktu dan ibadah lainnya di tempat tersebut sebagaimana ibadah-ibadah tersebut diadakan di masjid. Jadi tempat yang dijadikan sebagai masjid adalah tempat yang dimaksudkan untuk beribadah pada Allah dan berdo’a kepada-Nya di situ, dan bukan khusus do’a tersebut ditujukan pada makhluk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal semacam ini yaitu menjadikan kubur mereka sebagai masjid dengan maksud melakukan shalat di sana sebagaimana ibadah yang dilakukan di masjid. Walaupun orang yang melakukan ibadah di kubur tersebut memaksudkannya sebagai ibadah kepada Allah semata. Ini tetap terlarang agar tidak sampai terjerumus dalam keharaman yang lebih parah. Kecuali jika memang orang tersebut menjadikan ibadah di sana ditujukan pada penghuni kubur, berdoa untuknya, menjadikannya sebagai perantara dalam berdoa dan berdoa di sisi kubur, (yang semacam ini jelas terlarangnya, pen).

Nikmatnya Surga, Dahsyatnya Neraka

Salah satu diantara pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengimani keberadaan Surga (Al Jannah) dan Neraka (An Naar). Salah satunya berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya..” (QS. Al-Baqarah : 24-25). Mengimani surga dan neraka berarti membenarkan dengan pasti akan keberadaan keduanya, dan meyakini bahwa keduanya merupakan makhluk yang dikekalkan oleh Allah, tidak akan punah dan tidak akan binasa, dimasukkan kedalam surga segala bentuk kenikmatan dan ke dalam neraka segala bentuk siksa.

Kelirunya Keyakinan Tuhan Di Mana-Mana

Kita mungkin pernah menyaksikan ketika seseorang ditanyakan di manakah Allah, maka akan keluar berbagai versi jawaban dari mulut yang berbeda. Para bocah yang kami dengar ditanyakan hal ini, mereka jawab dengan tegas, “Allah di atas langit”. Itulah fitroh yang masih bersih. Namun sebagian lainnya menyatakan bahwa Allah itu di mana-mana. Ada juga yang katakan, “Allah itu ada di setiap hati manusia”. Dan ada yang katakan bahwa hal ini tidak perlu untuk dijawab. Inilah keyakinan yang berbeda-beda, padahal Al Qur’an kaum muslimin itu satu dan Nabi mereka pun satu. Oleh karena itu, mari kita kembalikan perselihan ini pada berbagai dalil yang disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim, hadits Nabawi, dan pemahaman para ulama kaum muslimin. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, berilah kemudahan dan tolonglah kami).

Tawasul Syar’i Vs Tawasul Syirik

Tawasul artinya mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk rasul-Nya, dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan diridhoi-Nya. Atau dengan kata lain seseorang melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya. Namun, sebagian kaum muslimin salah dalam memahami tawasul. Mereka bertawasul dengan orang-orang shalih dan wali yang sudah mati. Inilah yang mereka anggap sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah. Padahal hal tersebut dapat menjerumuskan mereka ke lembah kesyirikan.

Jimat Nabi Musa?

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Sekarang ini kita hidup di zaman yang –katanya- serba modern. Penemuan-penemuan alat transportasi dan komunikasi menjadikan bumi yang luas ini serasa semakin sempit. Demikianlah, kehidupan peradaban manusia saat ini berada pada puncak kejayaannya. Kehidupan manusia saat ini menjadi serba mudah dan praktis.

Namun sayang, kehidupan yang modern itu hanya berlaku untuk urusan duniawi saja. Sedangkan untuk urusan agama, sebagian kaum muslimin saat ini justru masih sangat primitif. Mereka masih beragama dan menganut keyakinan-keyakinan yang sama persis dengan keyakinan umat jahiliyyah yang hidup ratusan tahun yang lalu. Di antara keyakinan jahiliyyah yang masih mereka ikuti dan mereka pelihara sampai saat ini adalah keyakinan bahwa benda mati tertentu memiliki kekuatan dan kesaktian, sehingga bisa dipakai sebagai jimat.

Memadu Kasih di Hari Valentine

Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day), pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Pada masa kini, hari raya ini berkembang bukan hanya para orang yang memadu kasih, tapi pada sahabat dan teman dekat. Namun mayoritas yang merayakannya adalah orang yang sedang jatuh cinta. Ini pun dianut saat ini dan semakin meluas di kalangan muda-mudi di negeri ini. Ketika hari tersebut ada yang memberikan coklat kepada kekasihnya atau kado spesial lainnya.

Selaku umat Islam, tentu saja kita mesti menilik ulang perayaan tersebut. Ada beberapa tinjauan dalam perayaan tersebut yang bisa dikritisi. Di antaranya adalah tentang memadu kasih lewat pacaran dan hukum merayakan valentine serta memberikan hadiah ketika itu. Allahumma yassir wa a’in.

Kalimat Syahadat dalam Sorotan

Masih terngiang-ngiang di telinga kita apa yang dikatakan guru agama kita di bangku sekolah dasar ketika menerangkan mengenai makna kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’. Guru kita akan mengajarkan bahwa kalimat ‘laa ilaha illallah’ itu bermakna ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Namun apakah tafsiran kalimat yang mulia ini sudah benar? Sudahkah penafsiran ini sesuai dengan yang diinginkan al-Qur’an dan Al Hadits? Pertanyaan seperti ini seharusnya kita ajukan agar kita memiliki aqidah yang benar yang selaras dengan al-Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: salafush sholih).

Masuk Surga Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, kebahagiaan yang hakiki dalam hidup ini adalah ketika seorang hamba dijauhkan oleh Allah ta’ala dari siksa api neraka dan ketika Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah memperoleh kemenangan, dan bukanlah kehidupan dunia melainkan kehidupan yang menipu.” (QS. ‘Ali Imran: 185) Syaikh As Sa’diy rahimahullah mengatakan, “Orang yang memperoleh kemenangan adalah mereka yang selamat dari adzab yang pedih, dia bisa menikmati berbagai macam kenikmatan di surga. Kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata manusia sebelumnya, belum pernah didengar oleh telinga manusia, dan belum pernah terlintas di dalam hati manusia.” Demikianlah seharusnya orientasi kehidupan seorang muslim, menjadikan kebahagiaan akhirat sebagai puncak cita dan harapannya.

Jangan Salahkan Bulan Suro

Bulan Suro –yang dalam Islam dikenal dengan bulan Muharram- terkenal sakral dan penuh mistik di kalangan sebagian orang. Saking sakralnya berbagai keyakinan keliru bermunculan pada bulan ini. Berbagai ritual yang berbau syirik pun tak tertinggalan dihidupkan di bulan ini. Bulan Muharram dalam Islam sungguh adalah bulan yang mulia. Namun kenapa mesti dinodai dengan hal-hal semacam itu?

Mengucapkan Selamat Natal Dianggap Berbuat Baik

Sebagian orang beralasan bolehnya mengucapkan selamat natal pada orang nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang mereka bawakan adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal? Temukan jawabannya pada pembahasan berikut.

Salah Kaprah Memaknai Islam Sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin

Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah. Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala: “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh manusia)” (QS. Al Anbiya: 107). Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.