Nasihat Untuk Para Pecinta Nabi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian, sampai aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, ataupun seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pembaca yang dirahmati Allah, cinta kepada Nabi. Itulah perasaan yang ada di hati setiap insan beriman. Bagaimana tidak? Sedangkan beliau lah yang menyampaikan kepada kita ayat-ayat Allah dan menjelaskan kandungannya kepada umat manusia. Dengan dakwahnya teranglah hidayah dan agama Islam ini bagi umat manusia. Tentu mencintai Nabi adalah ibadah yang sangat utama, bahkan ciri seorang mukmin. Akan tetapi, mukmin yang sejati adalah mukmin yang mencintai Rasulullah sesuai dengan apa yang beliau tuntunkan.

Cinta Kepada Allah dan Rasul

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan bisa merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul.” (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa seorang muslim harus merasa puas dan cukup dengan ajaran Islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tidak akan mencari ajaran yang lain selain yang telah diajarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab Islam telah sempurna.

Kesempurnaan Islam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Ma’idah: 3). Karena Islam telah sempurna, maka ia tidak memerlukan tambahan-tambahan ajaran.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia pasti tertolak.” (HR. Muslim). Imam Malik rahimahullah menegaskan, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu bid’ah (ajaran baru) di dalam Islam dan dia menilainya sebagai suatu kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah.”

Makna Syahadat Rasulullah

Kita telah bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah. Makna dari persaksian ini adalah kita membenarkan beritanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’atnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa saja yang dibawa oleh Rasul maka ambillah. Dan apa saja yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7).

Oleh sebab itu ibadah apapun tidak akan diterima di sisi Allah jika tidak memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas (tidak syirik) dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan, bukan bid’ah). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan suatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110).

Bukti Cinta Nabi

Dari keterangan-keterangan di atas, dapat kita tarik kesimpulan penting bahwa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan cara taat kepada beliau dan setia dengan ajarannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imron: 31).

Namun, sebagian kaum muslimin membuktikan cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengadakan perayaan yang kita kenal dengan maulid nabi yang biasa dilakukan di bulan Rabi’ul Awwal ini.Semoga uraian singkat ini dapat memberikan pemahaman tentang perayaan maulid nabi ditinjau dari sudut pandang syari’at dan historis.

Sejarah Maulid Nabi

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum– dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu, adalah Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fathimiyyun) pada tahun 362 H (sekitar 400 tahun setelah wafatnya Nabi-ed).

Apakah Nabi dan Para Sahabat Mengajarkan Maulid Nabi?

Inilah pertanyaan besar yang semestinya dipikirkan oleh setiap muslim. Seandainya merayakan maulid Nabi ini adalah amal kebaikan, tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya akan mengajarkannya. Namun, kenyataannya peringatan atau perayaan maulid Nabi ini tidaklah diajarkan oleh mereka.

Ajaran maulid ini tidaklah dikenal di masa Nabi dan para sahabat, tidak juga di masa tabi’in maupun tabi’ut tabi’in. Ajaran ini baru muncul pada abad ke-4 H yang diprakarsai oleh dinasti ‘Ubaidiyun yang berkuasa di Mesir kala itu. Imam al-Muqrizi rahimahullah menuturkan, bahwa mereka inilah yang mengada-adakan berbagai peringatan maulid, semacam maulid Nabi, maulid ‘Ali, maulid Fathimah, maulid Hasan dan Husein. Masa itu memang masa yang marak dengan bid’ah dan kemungkaran, sebagaimana dikisahkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah (lihat Kutub wa Rosa’il Abdul Muhsin al-‘Abbad [4/256], al-Bida’ al-Hauliyah, hal. 145-146)

Padahal, orang-orang yang diridhai oleh Allah dan dijanjikan surga adalah orang-orang yang mengikuti para Sahabat Nabi dengan baik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah telah siapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At-Taubah: 100)

Apakah kita meragukan kecintaan para Sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?! Demi Allah, tidak ada yang meragukan para Sahabat radhiyallahu’anhum kecuali orang yang sesat dan menyimpang! Apabila mereka dengan kecintaannya yang sedemikian besar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak mengadakan maulid, lantas mengapa kita mengadakan maulid? Apakah kita merasa lebih hebat daripada para sahabat? Ataukah kita merasa lebih hebat daripada para imam yang empat?!

Nasihat Utuk Para Pecinta Nabi

Kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?

Terakhir, kami nukilkan nasihat dari para ulama Islam untuk para pecinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berpesan, “Ikutilah tuntunan, jangan kalian menciptakan ajaran-ajaran baru (baca: bid’ah). Karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan (yakni agama kalian sudah sempurna-ed).”

Imam Syafi’i rahimahullah berpesan, “Kaum muslimin telah sepakat, bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah/ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya dengan alasan mengikuti pendapat siapapun.”

Imam al-Auza’i rahimahullah berpesan, “Tetaplah setia mengikuti jejak para pendahulu (Sahabat), meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah pendapat tokoh-tokoh (menyimpang), meskipun mereka menghiasinya dengan ucapan yang indah.”

Mohon maaf apabila ada kekurangan. Semoga Allah memberi kita semua petunjuk ke jalan yang benar. Wallahu a’lam bish shawaab. [Disusun oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi, S.Si dengan tambahan editor. Untuk pembahasan lebih lengkap tentang maulid Nabi, silakan mengakses situs www.muslim.or.id]

6 comments

  1. Memperingati maulid Nabi SAW selama itu tujuannya kebaikan dan salah satu cara mengenang Nabi SAW, mencurahkan rasa cinta kepada Nabi SAW, gak ada salahnya mengadakan maulid Nabi SAW, dan bagi yg beranggapan atau berpendapat beda, silahkan, kan kita ini di hadapan Allah SWT tidak ada bedanya, tidak perlu ” memvonis ” bid’ah ” dll…cara2 inilah yg membuat perbedaan. perpecahan umat……

  2. Terima kasih atas pencerahannya…Lalu bagaimana kita menyikapi keadaan di masyarakat, sekolah-sekolah, instansi-instansi pemerintah..jangankan masyarakat, negara saja di masjid Istqlal juga mengadakan Maulid Nabi SAW. Bagaimana cara kita berda’wah dengan masyarakat kita sendiri yang sudah terlanjur mencintai bid’ah ini? Demikian saja pertanyaan saya..semoga cepat mendapatkan jawabannya…

  3. Subhanallah.. semoga artikel ini bermanfa’at dan bisa terus berkembang. amien…

    “Ya… rasulullah cinta hakiki yang sesungguhnya kepadamu memang sulit tak semudah bibir berbicara kaulah sesempurna makhluk dalam alam semesta ini…”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *