Agama Adalah Nasihat

At Tauhid edisi VII/13

Oleh: Raksaka Indra A.

Sudah menjadi fitroh (tabiat) manusia,  menyukai kehidupan yang berdampingan dan tentram. Terlebih lagi, kita sebagai umat Islam yang mendambakan lingkungan yang diikat oleh ukhuwah Islamiyah yang berdasarkan kesatuan aqidah, dan kesatuan manhaj (jalan hidup dalam beragama).

Hal tersebut akan terwujud apabila antara seorang muslim satu dengan lainnya yakin bahwa mereka adalah bersaudara. Sehingga di antara mereka akan terwujud sikap saling menasihati dalam hal kebaikan dan ketaatan, menasihati untuk tidak berbuat maksiat dan hal yang dilarang Allah ta’ala, dan lainnya.

Sesungguhnya nasihat merupakan amalan yang paling mulia dan paling utama, karena amalan ini senatiasa dilakukan oleh makhluk yang paling mulia yaitu para Nabi dan Rasul (Nya) sebagai pemberi nasihat dan amanat untuk para kaumnya. Nuh ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak ketahui.” (QS. Al A’raaf: 62). Berkata Shaleh ‘alaihissalam kepada kaumnya, “Aku telah menyampaikan amanat Tuhanku dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat.” (QS. Al A’raaf: 79).

Abdullah bin Mubarak rahimahullah saat ditanya amalan apakah yang paling utama, beliau menjawab, “Nasehat karena Allah.” Dari sahabat Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Untuk siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim).

Apa itu Nasihat?

Nasihat pada asalnya diambil dari Bahasa Arab an-nush-hu yang berarti bersih dari segala kotoran, atau bisa juga merapatnya sesuatu sehingga tidak saling berjauhan. Adapun secara istilah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab rahimahullah yang menukil ucapan Al Khaththabi rahimahullah, “Nasihat adalah menginginkan kebaikan untuk orang yang diberi nasihat.”

Nasihat untuk Allah ta’ala

Sebagaimana hadits dari sahabat Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Daary radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa nasihat yang pertama adalah nasihat untuk Allah ta’ala maksudnya adalah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada Rabb-nya dan meyakini Dia adalah Sesembahan Yang Maha Esa dalam Uluhiyyah-Nya, dan bersih dari noda syirik, tandingan, penyerupaan, serta segala apa yang tidak pantas bagi-Nya. Allah ta’ala mempunyai segala sifat kesempurnaan yang sesuai dengan keagungan-Nya.

Seorang muslim harus mengagungkan-Nya dengan sebesar-besarnya pengagungan, melakukan amalan badan dan hati yang Allah ta’ala cintai dan menjauhi apa yang Allah ta’ala benci, meyakini apa yang Allah ta’ala beritakan sebagai suatu kebenaran, dan bathilnya kebathilan, hatinya dipenuhi dengan rasa cinta dan rindu kepada-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, sabar atas bencana yang menimpanya, serta ridha dengan takdir-Nya. (perkataan Syaikh Muhammad Hayat As Sindi rahimahullah).

Nasihat untuk Kitab-Nya

Kemudian nasihat yang selanjutnya adalah nasihat untuk kitab-Nya, maksudnya adalah meyakini bahwasanya Al Qur’an adalah kalamullah (perkataan Allah) baik huruf ataupun maknanya, kemudian diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Malaikat Jibril yang didalamnya terkandung petunjuk dan cahaya, sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus”. (QS. Al-Israa’: 9).

Kemudian berkeinginan kuat untuk memahaminya, mempunyai perhatian yang besar dalam mentadabburinya (merenunginya), serius dan penuh konsentrasi membacanya untuk mendapatkan pemahaman sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan, “Seandainya orang-orang tahu apa yang akan mereka petik jika mereka membaca al-Qur’an dengan tadabbur (perenungan), niscaya dia akan menyibukkan diri dengannya dan tidak mempedulikan urusan lainnya. Di saat melewati suatu ayat, yang kebetulan dia sangat membutuhkannya untuk mengobati sebuah penyakit yang bercokol di hatinya, dia akan mengulang-ulanginya meskipun sampai seratus kali atau bahkan semalam suntuk. Membaca Al Qur’an dengan penghayatan dan pemahaman lebih baik daripada mengkhatamkan Al Qur’an tanpa merenungi dan memahami maknanya. Sebab tadabbur itu akan lebih bermanfaat untuk hati, lebih menambah keimanan, serta seorang hamba bisa lebih merasakan manisnya Al Qur’an.” (Miftah Daar As Sa’adah, I/553).

Setelah merenungi dan memahaminya, maka seorang muslim berusaha untuk mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Sesungguhnya buah dari membaca Al Qur’an adalah memahami dan mengamalkannya, sehingga kedua hal ini (memahami dan mengamalkan) adalah dua hal yang saling berkaitan. Oleh karena itu, alangkah buruknya jika kita memahami ayat Al Qur‘an namun tidak mau mengamalkannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 2-3).

Nasihat untuk Rasul-Nya

Maksud dari nasihat untuk Rasul-Nya adalah dengan meyakini beliau adalah seutama-utama makhluk dan kekasih Allah ta’ala. Allah ta’ala benar-benar menjadikannya utusan (baca: Nabi terakhir) untuk menyampaikan risalah-Nya (Al Qur’an dan As Sunnah) kepada para hamba-Nya, sehingga tidak ada keraguan atasnya. Membenarkan seluruh berita-berita yang beliau sampaikan, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi, karena sesungguhnya apa yang Beliau sampaikan adalah wahyu dari Allah ta’ala, firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 3-4).

Kemudian tunduk dan patuh terhadap perintahnya dan menjauhi larangannya, sebagaimana Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr: 7).

Mendahulukan dan mengutamakan cinta kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam atas kecintaan kepada diri sendiri, anak, kerabat, keluarga, harta, dan lainnya tanpa disertai sikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan termasuk bentuk rasa cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ditambah-tambahi maupun dikurangi, beliau bersabda, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).

Nasihat untuk Para Pemimpin Kaum Muslimin

Makna nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin adalah menerima perintah mereka, mendengar, dan taat kepada mereka dalam hal yang bukan maksiat, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Al Khaliq (Sang Pencipta), sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amr (penguasa) di antara kalian.” (QS. An Nisaa’: 59).

Membantu mereka untuk senantiasa berada di atas jalan kebenaran dan mengingatkan mereka dengan cara yang baik dan bijaksana. Termasuk prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah, ialah tidak melakukan provokasi untuk memberontak kepada penguasa, meskipun penguasa itu berbuat zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi, baik dari atas mimbar, tempat khusus maupun umum, atau melalui media-media dan lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barang siapa yang ingin menyampaikan nasihat kepada penguasa, hendaknya jangan menyampaikannya di depan umum, akan tetapi genggamlah tangannya dan menyendirilah dengannya. Jika ia mau menerima nasihat tersebut, maka itulah (yang diharapkan), jika tidak maka sesungguhnya ia telah melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad).

Mendoakan kebaikan untuk mereka juga merupakan salah satu bentuk nasihat kepada pemimpin kaum muslimin. Imam Ahmad bin Hanbal rahimauhullah berkata, “Seandainya aku hanya memiliki satu doa saja yang dikabulkan oleh Allah ta’ala, niscaya akan kutujukan kepada pemerintah.” (Hilyah Al Auliya’, VIII/91).

Nasihat untuk Kaum Muslimin

Nasihat yang terakhir dalam hadits di atas adalah nasihat untuk kaum muslimin secara umum, yaitu dengan menolong mereka dalam kebaikan, melarang mereka berbuat keburukan, membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan, dan menginginkan kebaikan untuk mereka sebagaimana ia menginginkannya untuk diri sendiri, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah.

Dalam memberikan nasihat seharusnya tidak terbatas dengan ucapan, tetapi harus diikuti dengan amalan. Dengan demikian, nasihat tersebut akan terwujud dan terlihat nyata dalam masyarakat kaum muslimin, sebagai penutup keburukan, pelengkap kekurangan, pencegah terhadap bahaya, pemberi manfaat, amar ma’ruf nahi munkar, hormat terhadap yang lebih tua, kasih sayang terhadap yang lebih kecil, serta menghindari penipuan dan kedengkian.

Nasihat yang Paling Baik

Nasihat yang paling baik adalah ketika seseorang meminta untuk dinasihati. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Jika seseorang meminta nasihat kepadamu, maka nasihatilah ia.” (HR. Muslim). Yaitu, apabila seseorang meminta nasihat kepadamu dalam suatu perkara dan meminta pendapatmu yang terbaik untuknya, maka hendaknya kamu bersungguh-sungguh dalam menasihatinya, baik dalam hal yang dia sukai maupun yang tidak dia sukai.

Hukum Memberikan Nasihat

An Nawawi rahimahullah berkata, “Hukum memberi nasihat ialah fardhu kifayah. Artinya, apabila ada seseorang yang sudah mengerjakannya maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Dan nasihat ini merupakan sebuah keharusan sesuai dengan kadar kemampuan”. Di kalangan ahlul ‘ilmi lainnya seperti Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan mengatakan, “Saya berpendapat, hukum memberi nasihat dengan maknanya yang menyeluruh sebagaimana sudah dijelaskan, ada yang fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib, dan ada juga yang sunnah. Karena Rasululluh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, agama adalah nasihat. Sedangkan hukum-hukum agama ada yang wajib, sunnah, fardhu ‘ain, dan fardhu kifayah.”

Wallaahu ta’ala a’lam [Raksaka Indra A*]

(Diringkas dari beberapa sumber diantaranya: [1] Majalah As Sunnah Edisi 05/Tahun XI, tulisan Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. [2] Tulisan Ustadz Abdullah Zaen, Lc. [3] Tulisan Ustadz Abu Hamzah Al Atsary [4] Rekaman Kajian Ustadz Dzulqarain bin Muhammad Sunusi [5] Video Kajian Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A. [6] Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali)

*Penulis adalah santri Ma’had al-‘Ilmi Yogyakarta, pengelola situs infokajian.com, dan sekarang masih menempuh studi S1 di Jurusan Elektronika dan Instrumentasi FMIPA UGM

2 comments

  1. assalamualaikum,,,akhi,,,ana baru tau kalo Nasihat tentang agama itu termasuk fardhu kifayah,,,Sesungguhnya nasihat merupakan amalan yang paling mulia dan paling utama,,,syukron ats kiriman buletinnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *