Kemuliaan Para Sahabat Nabi

Keimanan mereka yang begitu teguh dan kokoh. Kaum yang senantiasa takut dan berharap ridha Allah, sedang jalan hidup mereka langsung di bawah bimbingan Rasulullah.

Kaum yang ketika diseru Nabinya hanya berkata, “Sami’na wa atho’na”. Kaum yang ketika Rasulullah mengajak kebaikan kepada mereka, tanpa banyak kata mereka pun berlomba mengamalkannya.

Mereka itulah yang disebutkan oleh Rasulullah sebagai generasi terbaik umat ini, para sahabat Nabi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in), dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in)” (Muttafaqun ‘alaih)

Kenapa para sahabat adalah orang-orang yang mulia dan utama?

Kesempatan dapat menyertai dan bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan anugerah yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Allah Ta’ala telah memilih para sahabat diantara para hamba-Nya untuk menyertai Rasul-Nya dalam menegakkan agama-Nya di muka bumi. Manusia-manusia pilihan ini tentu memiliki kedudukan istimewa dibanding yang lain. Karena pilihan Allah Ta’ala tidak mungkin keliru.

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan sebuah kalimat yang sangat indah. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para hamba, maka Dia mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-sebaik hati para hamba-Nya, lalu Allah memilih dan mengutusnya untuk menyampaikan syariat-Nya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para hamba setelah hati Muhammad, maka Dia mendapati hati para sahabat adalah sebaik-baik hati para hamba-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka para penolong Nabi-Nya, memerangi musuh untuk membela agama-Nya. Apa yang baik menurut kaum muslimin (para sahabat) adalah baik menurut Allah, dan apa yang jelek menurut kaum muslimin (para sahabat) maka hal itu menurut Allah adalah jelek.” (Majmu’uz Zawaid lil Haitsami, 1/177)
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Siapa saja yang ingin meneladani seseorang, maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal dunia. Merekalah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka sebaik-baik umat ini, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit bebannya –karena setiap ada masalah mereka bisa langsung bertanya kepada Nabi-, mereka adalah suatu kaum yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilih untuk menemani nabi-Nya dan membawa syariat-Nya. Maka teladanilah akhlak-akhlak mereka dan jalan hidup mereka. Karena mereka –para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sungguh berada di atas petunjuk yang lurus” (Hilyatul Auliya, 1/205-206)

Allah telah meridhai mereka. Dan tidak ada balasan bagi orang-orang yang Allah ridhai kecuali surga-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat” (QS. Al Fath : 18)

Kualitas amal ibadah kita sebanyak apapun tidak sebanding dengan mereka para sahabat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun diantara para sahabatku. Karena apabila seandainya ada salah satu diantara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud, maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang diantara mereka yang hanya sebesar genggaman tangan, atau bahkan setengahnya saja” (Muttafaqun ‘alaih)

Telah menjadi kesepakatan kaum muslimin bahwa para sahabat adalah orang-orang yang paling adil. Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berkata, “Ahlus Sunnah sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah” (Al Ishabah fii Tamyiiz As Sahabah)

Cepatnya para sahabat merespon perintah Allah dan Rasul-Nya

Disebutkan dalam sebuah hadits, “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku sedang memberi minum para tamu di rumah Abu Thalhah pada hari khamr diharamkan. Minuman mereka hanyalah arak yang terbuat dari buah kurma. Tiba-tiba terdengar seorang penyeru menyerukan sesuatu. Abu Thalhah berkata, ‘Keluar dan lihatlah!’ Aku pun keluar. Ternyata dia sedang mengumumkan, ‘Ketahuilah bahwa khamr telah diharamkan’. Arak mengalir di jalan-jalan Madinah. Abu Thalhah berkata kepadaku, ‘Keluarlah dan tumpahkan arak itu!’ Lalu aku menumpahkannya (membuangnya). Orang-orang berkata, ‘Si fulan terbunuh. Si fulan terbunuh’. Padahal arak ada dalam perutnya. (Perawi hadis berkata: Aku tidak tahu (apakah itu juga termasuk hadits Anas). Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat (yang artinya), “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena makanan yang telah mereka makan dahulu, asalkan mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amal-amal saleh” (HR. Muslim)

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang menggambarkan saat-saat setelah turunnya ayat perintah menutup aurat yang pertama, yaitu Surat An Nuur ayat 31, bahwasannya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Ketika turun ayat, ‘..dan hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke dada mereka..’ maka para wanita segera mengambil kain sarung, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab (HR. Bukhari)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), Katakanlah kepada wanita yang beriman,“Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (QS. An Nur : 31)

Perintah untuk meneladani para sahabat

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa : 115)

Dari Abu Burdah, dari bapaknya ia berkata, “Selepas kami shalat maghrib bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami katakan, ‘Bagaimana bila kita tetap duduk di masjid dan menunggu shalat isya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?Maka kami pun tetap duduk, hingga keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat isya. Beliau mengatakan, “Kalian masih tetap di sini?” Kami katakan, ‘Wahai Rasulullah kami telah melakukan shalat maghrib bersamamu, lalu kami katakan, alangkah baiknya bila kami tetap duduk di sini menunggu shalat isya bersamamu.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian benar.’ Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit lalu berkata, “Bintang-bintang itu adalah para penjaga langit. Apabila bintang itu lenyap, maka terjadilah pada langit itu apa yang telah dijanjikan. Aku adalah penjaga para sahabatku. Bila aku tiada maka akan menimpa mereka apa yang telah dijanjikan. Dan para sahabatku adalah para penjaga umatku. Apabila para sahabatku telah tiada maka akan menimpa umatku apa yang telah dijanjikan” (HR. Muslim)

Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadis di atas adalah selama bintang itu masih ada maka langit pun akan tetap ada. Apabila bintang-bintang itu runtuh dan bertebaran pada hari kiamat kelak maka langit pun akan melemah dan akan terbelah dan lenyap. Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku adalah penjaga para sahabatku, bila aku tiada maka akan menimpa mereka apa yang telah dijanjikan’, yaitu akan terjadi fitnah, pertempuran, perselisihan, dan pemurtadan. Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Para sahabatku adalah para penjaga umatku, apabila para sahabatku telah tiada maka akan menimpa umatku apa yang telah dijanjikan’, maknanya akan terjadi kebid’ahan dan perkara-perkara baru dalam agama dan juga fitnah…” (Syarh Shahih Muslim, 16/83)

Penutup

Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik. Tidak dibenarkan bagi seorang pun menyebut-menyebut kejelekan mereka. Tidak pula menghina, mencela, atau membicarakan aib salah satu diantara mereka. Namun demikian, ahlus sunnah wal jama’ah juga tidak mengatakan para sahabat Nabi itu ma’shum dari kesalahan. Kewajiban kita adalah memuliakan mereka karena mereka telah memuliakan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Inilah jalan beragama yang ditempuh oleh ahlus sunnah wal jama’ah. Siapa saja yang menyimpang dari metode ini berarti mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari jalan yang benar.

Wallahul muwaffiq. Wa shallallahu ‘alaa nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Penulis : Hasim Ikhwanudin (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *