Sumber Hukum Dalam Islam

Buletin At-Tauhid edisi 34 Tahun XI

Alhamdulillah, was sholatu was salamu ala rasulillah, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man tabi’a hudah…

Para pembaca yang terhormat, semoga Allah merahmati kita semua… Islam adalah agama yang dijadikan sempurna dan paripurna oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya (artinya): “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama (Islam) untuk kalian, telah aku lengkapkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama kalian”. [QS. Al-Ma’idah: 3]. Karena sempurna dan lengkapnya Ajaran Islam ini, sehingga dia pantas dijadikan sebagai satu-satunya agama yang diterima oleh Allah, sebagaimana firman-Nya (artinya): “Siapapun yang menginginkan agama selain Islam, maka agama itu tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia termasuk orang-orang yang merugi”. [QS. Alu Imron: 85].

Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk menjadikan Islam -yang merupakan hukum dan keputusan Allah- sebagai aturan hidup manusia di semua sisi kehidupannya, baik dalam hal ibadah maupun mu’amalah. Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, untuk memilih pilihan (lain) dalam urusan mereka, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan”. [QS. Al-Ahzab: 36]. Allah juga berfirman (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam dengan sempurna”. [QS. Al Baqoroh: 208]

Ibnu Jarir –rahimahullah– menafsiri ayat ini dengan mengatakan: “Wahai kaum mukminin, jalankanlah Syariat Islam semuanya, masuklah untuk membenarkannya baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan tinggalkanlah mengikuti jalan-jalan dan jejak-jejak setan, karena dia adalah musuh yang nyata permusuhannya terhadap kalian. Dan jalan setan yang dilarang Allah untuk diikuti adalah apapun yang menyelisihi hukum dan syariat Islam”. [Tafsir Thobari 3/602]. Dan untuk menerapkan Syariat Islam dalam semua sisi kehidupan, kita harus mengetahui sumber-sumber hukum Islam itu sendiri, kemudian mengembalikan segala urusan kepadanya.

Alhamdulillah, para ulama -rahimahumullah- telah menerangkan apa saja sumber-sumber hukum itu dengan sangat jelas, diantaranya adalah Imam Syafi’i -rahimahullah-, beliau mengatakan: “Allah tidak membolehkan kepada siapapun untuk berpendapat kecuali dengan ilmu yang telah dia ketahui sebelumnya, dan sumber ilmu itu adalah: Kitab (Qur’an), Sunnah (Hadits), Ijma’, Atsar (perkataan para sahabat), dan meng-qiyaskan kepada dalil-dalil tersebut sebagaimana telah kuterangkan”. [Arrisalah: 508]. Inilah sumber-sumber dalam Islam sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syafii -rahimahullah-: Qur’an, hadits, Ijma’, Atsar, dan Qiyas. Adapun dalil-dalil lain yang disebutkan oleh para ulama, maka semuanya kembali kepada lima dalil ini. Dan dari lima dalil ini, ada yang sering tidak disebutkan oleh para ulama, yaitu: dalil atsar atau perkataan para sahabat, karena sebenarnya dalil ini masuk dalam dalil ijma’, karena pendapat para sahabat yang bisa dijadikan dalil hanyalah pada hal-hal yang mereka sepakati, dan ini masuk dalam bab ijma’ mereka. Adapun bila mereka berbeda pendapat, maka yang dipilih dari pendapat mereka adalah yang lebih dekat kepada kitabullah, atau Sunnah Nabi, atau qiyas yang shahih. Oleh karena itulah dalam banyak tempat Imam Syafii -rahimahullah- (begitu pula ulama lainnya) tidak menyebutkan dalil ini, sebagaimana perkatan beliau berikut ini: “Tidak dibolehkan bagi siapapun yang telah diangkat sebagai hakim atau mufti; untuk menghakimi atau berfatwa kecuali dari sumber keterangan yang pasti, yaitu: Alkitab, kemudian Assunnah, atau perkataan para ulama yang tidak ada perselisihan padanya (Ijma’), atau qiyas kepada sebagian dari dalil-dalil ini”. [Kitab: Al-umm, Ibtholul Istihsan 9/67]. Dan empat dalil ini semuanya kembali kepada dua sumber utama, yaitu: Qur’an dan Hadits, sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i -rahimahullah-: “Aku belum pernah mendengar satu pun ulama… yang menyelisihi… bahwa tidaklah ada perkataan yang mengikat, kecuali yang berdasar pada Kitabullah atau Sunnah Rosul-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan bahwa yang selain keduanya itu mengikuti keduanya”. [Kitab: Al-Umm, Jima’ul Ilmi: 9/5].

Dari sini kita mengetahui salahnya tuduhan sebagian orang yang mengatakan: “Yang disebut kok selalu Qur’an dan Hadits, apa tidak ada dalil lainnya?!”, karena semua dalil dalam syariat itu kembali kepada keduanya, dan tidak mungkin ada dalil shahih dalam Syariat Islam yang menyelisihi keduanya. Bila ternyata ada orang yang berdalil dengan selain Al Qur’an dan Assunnah, kemudian hasil hukumnya bertentangan dengan keduanya, maka bisa dipastikan bahwa cara berdalil orang tersebut salah, karena dalil-dalil syariat itu tidak mungkin saling bertentangan, karena syariat ini berasal dari Allah begitu pula dalil-dalilnya, dan sesuatu yang datang dari Allah tidak mungkin saling bertentangan, oleh karena itulah Allah berfirman tentang Al Qur’an yang merupakan sumber utama dalam Islam (artinya): “Jika saja dia itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka akan menemukan pertentangan yang banyak di dalamnya”. [QS. Annisa: 82].

Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan: “Hujjah-hujjah Allah itu tidak saling bertentangan, dan dalil-dalil syariat itu tidak saling kontadiktif. Kebenaran itu saling membenarkan satu dengan lainnya, dan dia tidak menerima adanya pertentangan ataupun kontradiksi”. [I’lamul Muwaqqi’in: 3/86]. Selanjutnya, dalil Al Qur’an dan Sunnah itu kembali kepada satu sumber utama hukum Islam, yaitu: Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah Ta’ala, oleh karena itulah Allah berfirman (artinya): “Apapun yang kalian perselisihkan maka hukumnya dikembalikan kepada Allah”. [QS. Asy Syuro: 10]. Senada dengan ayat ini Imam Syafii -rahimahullah- juga mengatakan: “Maka tidaklah ada masalah baru yang menimpa seseorang, melainkan Kitab (Al Qur’an) telah menjelaskannya, baik secara terperinci, maupun secara global”. [Kitab: Al-Umm, Jima’ul Ilmi, 9/69].

Dari uraian di atas kita bisa memahami, bahwa Islam itu berasal dari Al Qur’an. Kemudian dari Al Qur’an kita mengetahui wajibnya mengambil Hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Dan dari keduanya kita mengetahui wajibnya mengikuti ijma’, atsar, qiyas, dan dalil-dalil mu’tabar lainnya. Oleh karena itu, kita harusnya mengembalikan semua perkara kepada dalil-dalil tersebut, terutama dua sumber utamanya, yakni Al Qur’an dan Sunnah yang dipahami dengan pemahamannya para sahabat generasi terbaik umat ini. Hanya dengan cara inilah kita menjadi Ahlussunnah yang sejati, sebagaimana diterangkan oleh Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Dan umatku akan terpecah menjadi 73 millah (ajaran), semuanya di neraka kecuali satu millah… yaitu: ajaran yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. [HR. Tirmidzi, hasan]. Sungguh hadits ini, sangat penting untuk dijadikan barometer kita di zaman akhir ini, karena seringkali orang berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits, tapi mereka memahaminya dengan caranya sendiri, bukan dengan berdasarkan pemahaman para sahabat.

Sebagai contoh kecil, kita mendapati orang-orang yang melakukan ‘pengeboman sembarangan’, mereka berdalil dengan ayat dan hadits tentang jihad di jalan Allah, tapi mereka memahaminya dengan cara mereka, bukan dengan pemahaman para sahabat. Seandainya mereka menggunakan pemahaman para sahabat untuk memahami ayat dan hadits tentang jihad itu, tentunya mereka tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan tersebut. Contoh lain, kita dapati kaum syiah yang mewajibkan pembayaran ‘khumus’ (seperlima harta) kepada penganutnya, mereka menggunakan sebagian ayat Al Qur’an sebagai sandarannya, tapi mereka pahami dengan logika mereka sendiri, bukan dengan pemahaman para sahabat. Jika mereka menggunakan pemahaman para sahabat untuk memahami ayat itu tentunya mereka tidak akan menjalankan ‘syariat khumus’ tersebut. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Di akhir tulisan ini, ada baiknya kita mengetahui, bahwa di sana ada beberapa hal yang dijadikan rujukan hukum, padahal sebenarnya hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum, diantara contohnya adalah: mimpi, peraktek masyarakat, perkataan atau perbuatan orang yang tidak maksum, bisikan tanpa rupa, tenangnya atau gundahnya hati, dan kenikmatan atau kesusahan yang dialami seseorang. Ini semua bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan sandaran hukum dalam Islam, karena dalam perkara-perkara ini terdapat kemungkinan salah yang besar dan ketidak-pastian yang tinggi. Hal-hal tersebut tidak boleh kita gunakan, kecuali dalam satu keadaan saja, yaitu ketika hal-hal tersebut selaras dengan Syariat Islam, atau tidak bertentangan dengannya.

Dari sini kita memahami bahwa hal-hal tersebut hanya bisa dijadikan sebagai penguat saja, bukan sebagai dasar pengambilan hukum. Sehingga apabila ada dalil-dalil yang sahih bertentangan dengannya, maka kita harus mendahulukan dalil tersebut, dan meninggalkan petunjuk dari beberapa hal tersebut. Imam Syafi’i saja mengatakan: “Jika aku telah meriwayatkan hadits dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu aku tidak memakainya, maka persaksikanlah bahwa akalku telah hilang”. [Kitab: Al-Uluww lil Aliyyil Ghoffar, 169]. Jika ulama yang sekaliber Imam Syafii saja mengatakan demikian, maka apapun yang jauh di bawah beliau, harusnya petunjuknya ditinggalkan apabila menyelisihi dalil-dalil yang sahih dalam Syariat Islam, wallohu a’lam.

Sekian, semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan kaum muslimin pada umumnya. Dan semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- beserta keluarga, para sahabat, dan pengikutnya yang baik hingga hari kiamat, amin. Walhamdulillahi robbil alamin.

 

Penulis : Ustadz Musyaffa Ad Dariny, M.A.

2 comments

  1. Terimakasih ust atas tulisannya yang sangat bermanfaat.
    Boleh saya izin menjadikan ini sebagai referensi dan bahan saduran?
    Afwan sebelumnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *