Menyambut Idul Fitri

Buletin At-Tauhid edisi 28 Tahun XI

eid-ul-fitr-2015 (1)

Bismillah, Allahumma yassir wa a’in

 

Setiap jiwa terilhami untuk mencintai perayaan dan masa-masa kegembiraan. Karena itu, setiap kelompok masyarakat memiliki hari istimewa yang mereka tentukan dalam rangka menyambut kegembiraan, kebahagiaan, dan berkumpul bersama. Itulah hari raya. Semua suku memilikinya. Semua penganut agama memilikinya.

 

Sebelum Islam datang, masyarakat jahiliyah di kota Madinah mengikuti hari raya masyarakat Persi, yaitu hari raya Nairuz dan Mihrajan. Hari raya tersebut diselenggarakan dalam rangka merayakan hari musim semi dan musim panen. Hal ini menunjukkan bahwa manusia berhari raya tanpa bimbingan wahyu, mereka menentukan hari istimewanya dan memilih cara berhari raya berdasarkan spekulasi akal, perasaan, dan dinamika sosial. Dari situlah kita dapat menyadari, ketika ada sekelompok aliran dan penganut agama buatan manusia, yang merayakan hari istimewa mereka dengan cara yang sangat aneh. Ada yang merayakannya dengan membuat suasana serba sepi. Hari raya serba sepi. Ada yang merayakannya dengan membuat parade memukul-mukul badan dengan senjata tajam, sebagaimana yang dilakukan orang syiah. Dan ada yang merayakan hari istimewa mereka dengan menabur-nabur warna-warni seperti yang dilakukan orang India.

 

Dua Hari Raya itu Pilihan Allah

Ketika Islam datang, Allah memilihkan untuk mereka hari yang istimewa untuk dirayakan penganut agama yang sempurna ini. Sahabat Anas bin Malik radliallahu ‘anhu menceritakan, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, masyarakat Madinah memiliki dua hari yang mereka rayakan dengan bermain. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:  “Dua hari apakah ini?” Mereka menjawab, ”Kami merayakannya dengan bermain di dua hari ini ketika zaman jahiliyah.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberikan ganti kepada kalian dengan dua hari yang lebih baik, Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ahmad, Nasai, Abu Daud, dan shahih).

 

Anda bisa perhatikan, Idul Fitri dan Idul Adha, bukan inisiatif Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula usulan sahabat. Tapi murni pilihan Allah, Dzat yang Maha Sempurna ilmu dan hikmah-Nya. Tentu saja ini hari yang sangat diberkahi. Sehingga disamping kita merayakan kebahagiaan, kita untuk mendapatkan keberkahan di dua hari itu.

 

Aturan Sepanjang Idul Fitri

Untuk menyempurnakan kegembiraan itu, sudah selayaknya kita menghiasi hari Idul Fitri dengan berbagai sunah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agar Idul Fitri kita semakin berpahala.

 

Pertama, hindari puasa di hari raya

Dari Abu Sa’id al Khudri radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada dua hari: hari Idul Fitri dan Idul Adha. (HR. Muslim).

 

Kedua, hadiri shalat id, selama tidak ada udzur

Shalat id hukumnya wajib bagi setiap muslim. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyim. Dalil yang mendukung pendapat ini adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanaknnya. Sejak shalat id ini disyariatkan pada tahun kedua hijriyah, beliau senantiasa melaksanakannya hingga beliau wafat. Demikian pula hadis Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha, yang mengatakan,

”Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha….” (HR. Bukhari & Muslim). Dan hukum asal perintah adalah wajib.

 

Ketiga, perbanyak takbir

Selama hari raya, merupakan waktu untuk memperbanyak berdzikir kepada Allah. Seusai kita melaksanakan ibadah puasa selama ramadhan. Allah berfirman, yang artinya, “Agar kalian memenuhi puasa sepanjang hitungan bulan (ramadhan) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185). Artinya, seusai Ramadhan kita diminta banyak mengagungkan Allah dengan memperbanyak takbiran.

 

Keempat, mandi sebelum berangkat ke lapangan

Dari Nafi’, bahwa Ibn Umar radliallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke lapangan. (HR. Malik & As Syafi’i, shahih). Al Faryabi menyebutkan bahwa Said bin Al Musayyib mengatakan: Sunnah ketika Idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar (menuju lapangan), dan mandi. (Ahkamul Idain karya Al faryabi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)

 

Catatan: Dibolehkan untuk memulai mandi hari raya sebelum atau sesudah subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’iyah dan pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad. Allahu a’lam

 

Kelima, berhias dan memakai wewangian

Dari Ibn Abbas, bahwa pada suatu saat di hari jum’at, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir jum’atan, hendaknya dia mandi. Jika dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian harus gosok gigi. (HR. Ibn Majah, hasan).

 

Demikian pula disebutkan dalam hadis dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau gunakan ketika hari raya dan hari Jum’at. (HR. Ibn Khuzaimah dan kitab shahihnya)

 

Imam as-Sindi mengatakan, dari hadis disimpulkan bahwa berhias ketika hari raya merupakan kebiasaan yang mengakar di kalangan mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, yang artinya kebiasaan itu tetap belaku… (Hasyiah As Sindy ‘ala An nasa’i, 3/181)

 

Keenam, Sarapan sebelum berangkat shalat Idul Fitri

Sahabat Anas bin Malik, beliau mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hendak berangkat shalat Idul Fitri beliau makan beberapa kurma, dan beliau makan dengan jumlah ganjil. (HR. Bukhari).

 

Dari Buraidah, beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan ketika Idul Adha, beliau tidak makan sampai shalat dahulu. (HR. At Turmudzi, Ibn Majah, shahih).

 

Ketujuh, Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan

Dari Sa’d radliallahu ‘anhu, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibn majah, shahih)

 

Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu mengatakan: Termasuk sunnah: keluar menuju lapangan dengan jalan kaki dan makan sebelum berangkat (Idul Fitri). (HR. At Turmudzi, Ibn Majah, shahih)

 

Kedelapan, Bertakbir Sepanjang Jalan Menuju Lapangan

Termasuk sunnah, bertakbir di jalan menuju lapangan dengan mengangkat suara. Adapun para wanita maka dianjurkan tidak mengeraskannya, sehingga tidak didengar laki-laki.  Dari Ibn Abi dzi’bin dari Az Zuhri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat shalat Idul Fitri dan beliau bertakbir sampai tiba di lapangan. Setelah selesai shalat, beliau memutus takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah, shahih).

 

Riwayat yang shahih dari Ibn Umar, bahwa beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. Ad Daruquthni & Al Faryabi, shahih).

 

Kesembilan, Berangkat dan pulangnya mengambil jalan yang berbeda

Dari Jabir bin Abdillah radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hari raya mengambil jalan yang berbeda (ketika berangkat dan ketika pulang). (HR. Bukhari).

 

Waktu shalat id

Yazin bin Khumair menceritakan, suatu ketika Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju lapangan bersama masyarakat untuk shalat id. Kemudian beliau mengingkari keterlambatan imam. Beliau mengatakan: Kami dulu telah selesai dari kegiatan ini (shalat id) pada waktu dimana shalat sunnah sudah dibolehkan. (HR. Bukhari secara mu’allaq dan Abu Daud dengan sanad shahih)

 

Imam Ibnul Qoyim mengatakan, beliau mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerahkan shalat idul adha. Ibn umar -orang yang sangat antusias mengikuti sunnah- tidak keluar menuju lapangan sampai matahari terbit. Beliau melantunkan takbir sejak dari rumah sampai tiba di lapangan. (Zadul Ma’ad, 1/425)

 

Tempat pelaksanaan shalat id

Tempat pelaksanaan shalat id, bisa kita rinci menjadi dua, ketika di Makah dan di luar Makah.

Ketika di Makah

Tempat pelaksanaan shalat id di Makah yang paling afdhal adalah di Masjidil Haram. Semua ulama senantiasa melaksanakan shalat id di Masjidil Haram ketika di makah.

Imam an-Nawawi mengatakan, …ketika di Makah, Masjidil Haram paling afdhal (untuk tempat shalat id) tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. (al-Majmu’, 5/524)

Di luar Makah

Tempat shalat id yang sesuai sunnah adalah lapangan. Kecuali jika ada halangan seperti hujan atau yang lainnya. Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan ketika Idul Fitri dan idul adha. Pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat id. (HR. Al Bukhari & Muslim). Ibnul Haj al Makki mengatakan: …sunnah yang berlaku sejak dulu terkait shalat id adalah dilaksanakan di lapangan. Karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat di masjidku (masjid nabawi) lebih utama dari pada seribu kali shalat di selain masjidku, kecuali masjidil haram.” meskipun memiliki keutamaan yang sangat besar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjid. (Al Madkhal, 2/438).

 

Demikian, semoga bermanfaat

 

Penulis : Ust. Ammi Nur Baits, ST (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

One comment

  1. Mari maksimalkan 10 hari terkahir Ramadhan dengan ibadah dan amalan yang terbaik kita, jangan lupa sebelum Sholat Ied ada kewajiban zakat fitrah
    ACT Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *