Teori Orientalis yang Telah Usang

At Tauhid edisi VII/24

Oleh: Ginanjar Indrajati

Suatu hal yang mengagetkan ketika penulis membaca salah satu artikel Ulil Abshar Abdalla [pentolan Jaringan Islam Liberal] yang menyinggung teori Projecting Back (proyeksi ke belakang). Teori ini mula-mula dikembangkan oleh orientalis asal Hongaria, Ignaz Goldziher, yang kemudian diteruskan muridnya, Joseph Schact (asal Jerman). Teori ini dikemukakan untuk meruntuhkan metode sanad (rantai periwayatan) hadits yang telah disusun dengan baik oleh para ulama Islam.

Dalam teori ini, terdapat anggapan bahwa sanad-sanad hadits yang tersebar saat ini adalah buatan para ahli fikih sendiri untuk melegitimasi pendapat fikihnya, yang dilakukan dengan cara memproyeksikannya ke belakang, yaitu dengan menyandarkannya kepada Nabi, atau tokoh-tokoh di belakang mereka. Pemikirannya ini, dilambungkan dalam dua buku Schacht yang mengguncang dunia, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1950) dan An Introduction to Islamic Law (1964).

Kita tidak memungkiri adanya hadits-hadits palsu. Oleh karena itu, para ulama menyusun ilmu musthalah hadits untuk menyeleksi hadits-hadits tersebut. Dari situ, kita pun mengenal istilah hadits shahih, dhaif (lemah), maudhu’ (palsu) dari hasil penelitian mereka. Namun, apakah hadits-hadits yang tersebar di masa kini “semuanya” adalah rekasaya para ahli fikih di masa lalu? Konsekuensinya, Jika semua hadits adalah rekasaya ahli fikih, berarti ibadah shalat, zakat, puasa, haji, dan amalan-amalan sunnah adalah rekasa. Artinya, Islam adalah agama rekasa. Inilah konsekuensi logis dari teori berbahaya ini.

Ahli Hadits Membongkar Teori Projecting Back

Melihat bahaya teori ini, salah seorang ahli hadits terkenal asal India, Syaikh Musthafa Al-‘Azhami, pentahqiq kitab Shahih Ibnu Khuzaimah – kini guru besar emeritus King Saud University Riyadh Saudi Arabia, bangkit untuk menelaah sekaligus merontokkan teori ini. Beliau terjun langsung di sarang ilmu orang barat, Cambridge University untuk melakukan studi doktoral (Ph.D) dengan penelitian disertasi berjudul, Studies in Early Hadith Literature, khusus untuk menelanjangi argumentasi Schact, sesuai metode ilmiah.

Sebenarnya, pokok pengambilan obyek penelitian Schact sudah salah kaprah sejak awal. Ia menjadikan buku Imam Madzhab, seperti Al-Muwatha’ (karya Imam malik), Al-Umm dan Ar-Risalah (keduanya karya Imam Asy-Syafi’i) sebagai bahan penelitian. Padahal, kita tahu bahwa buku-buku tersebut lebih layak disebut sebagai kitab fikh (meskipun memuat hadits-hadits) daripada kitab hadits. Jika ingin meneliti hadits, harusnya Schact mengkaji dari buku induk hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, kitab-kitab sunan dan musnad.

Dengan permulaan penelitian yang salah kaprah itu, tidak sulit bagi Musthafa Al-A‘zhami mengurai satu persatu kesalahan berpikir Schacht ini. Dengan jerih payahnya menumpas para orientalis ini, Syaikh Al-A‘zhami mendapat penghargaan internasional Raja Faisal pada 1980. Ia pun dihormati di berbagai negara sehingga diundang menjadi cendekiawan tamu di Universitas Michigan dan St. Cross College (Universitas Oxford). Ia juga pernah menjadi profesor tamu bidang studi Islam di Universitas Princeton.

Tokoh Islam Liberal Ingin Mengkaji Teori Projecting Back Lagi

Teori ini memang sudah K.O dihantam disertasi Al-‘Azhami. Orientalis manapun sudah tidak berkutik lagi untuk membuat teori untuk meruntuhkan keotentikan hadits. Namun, sungguh mengagetkan, dari dalam negeri muslim sendiri muncul nama Ulil Abshar Abdalla yang beranggapan bahwa teori proyeksi masih mungkin diterapkan untuk melakukan kritik hadits. Mengambil pelajaran dari Schacht, nampaknya Ulil tidak berani mengusulkan penerapan teori pada kritik sanad. Ia berkata, “Sebagaimana kita tahu, dalam studi ilmu-ilmu hadis (mushthalah al-hadith) kita kenal dua metode kritik (naqd), yaitu kritik sanad dan kritik matan atau teks hadis. Kritik sanad sudah dikembangkan dengan canggih oleh sarjana Islam, tetapi kritik matan kurang banyak dicoba. Metode proyeksi bisa masuk dalam kritik matan itu” (ulil.net).

Di Sinilah Bahaya Islam Liberal

Pembaca mulia, perhatikan kalimat terakhir Ulil di atas. Dia beranggapan bahwa matan (redaksi/teks hadist) bisa dikritik dengan teori proyeksi. Ulil beranggapan bahwa banyak terjadi kontradiksi historis dalam teks-teks hadits sehingga teks tersebut perlu untuk dikritik. Implikasi dari hal ini adalah memunculkan keraguan terhadap hadits yang bisa berakibat pada penolakan terhadap hadits itu sendiri. Inilah bahayanya!

Pembaca mulia, jika didapat suatu hadits yang kelihatannya secara tekstual bertentangan dengan hadits yang lain, jangan langsung menolak hadits tersebut karena ini dapat dipecahkan dengan ilmu mukhtalif hadits. Ilmu ini hanya dikuasai oleh ulama yang memiliki kecerdasan, kekuatan hafalan, dan ketelitian yang tinggi. Maka, kita bisa bertanya kepada para ulama jika belum memahami makna suatu hadits.

Imam Nawawi berkata: “Mengetahui “mukhtalif hadits dan hukumnya”. Ini merupakan bidang ilmu yang sangat penting, seluruh ulama dari semua golongan sangat perlu untuk mengetahuinya, yaitu adanya dua hadits yang tampaknya bertentangan kemudian digabungkan atau dikuatkan salah satunya. Hal ini dapat dilakukan secara sempurna oleh para ulama yang menguasai hadits dan fiqih serta ahli ushul yang mendalami makna hadits” (At-Taqrib).

Anehnya, para ulama yang ahli dalam bidang ini, tidak ada yang bersikap sembrono terhadap hadits, sebagaimana yang dilakukan Ulil. Padahal, sudah berapa ribu hadits yang dihafal Ulil? Yang lebih parah, Ulil justru berani meragukan sifat adil para shahabat nabi. Ia berkata, “Kontradiksi-kontradiksi historis semacam ini tidak pernah dijawab secara memuaskan dalam literatur fikih siyasah, dan sebaliknya ditutup rapat-rapat melalui doktrin “al-shahabi ‘udul“, para sahabat adalah adil. Pokoknya diandaikan saja bahwa generasi sahabat pasti benar, tak mungkin mereka berbuat salah. Kalau pun mereka berbuat sesuatu yang tampaknya salah, itu adalah hasil ijtihad mereka. Ijtihad yang salah tetap mendapat pahala. Solusi semacam ini hanyalah melarikan diri dari masalah, bukan menghadapinya dengan “jantan” (Ulil.net)”

Mengapa Ulil berani berargumen seperti itu? Ini disebabkan Ulil meragukan konsep bahwa al-shahabi ‘udul. Ulil meragukan bahwa para shahabat Nabi semuanya jujur dalam menyampaikan hadits. Maka, ada kemungkinan bagi para shahabat –menurut Ulil- untuk memelintir hadits.

Apa yang dikatakan Ulil merupakan kekurangajaran yang melampaui batas karena yang menjamin bahwa para shahabat penghuni surga adalah Allah ta’ala sendiri. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100). Jika Allah ta’ala ridha kepada para shabahat nabi, mengapa Ulil Abshar Abdalla justru meragukan kredibiltas mereka? Apakah Ulil merasa lebih pintar dari Allah?

Bandingkan perkataan Ulil dengan perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah para sahabat rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmu agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, dan paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka. Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)” (Tafsir Al-Qurthubi).

Asy-Syathibi berkata, “Terkadang mereka (tokoh-tokoh yang menyimpang) mengkritik para sahabat, tabi’in dan para pakar hadits yang telah disepakati tentang keadilan dan keahliannya dalam meriwayatkan hadits. Ini hanya sekedar alasan untuk menentang orang-orang yang dianggap bertentangan dengan pendapat mereka. Dalam kesempatan lain, mereka menolak fatwa para ulama ini dan mencomoohkannya di hadapan masyarkat awam agar mereka (masyarakat) tidak mengikuti sunnah dan menjauhi para pembela sunnah” (Al-I’tisham).

Merusak Kredibilitas Shahabat = Merusak Islam

Ketika pembenci Islam gagal menjatuhkan kekuatan hujjah Al-Qur’an, mereka menempuh cara jitu dengan merusak kredibilitas para pencatat wahyu dan mereka yang yang hidup di saat Al-Qur’an ini turun, yaitu para shahabat Nabi.

Memahami Islam dengan pemahaman para shahabat adalah keharusan. Mengapa demikian? Ini karena Al-Qur’an turun kepada para shahabat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an tentang mereka. Merekalah yang disebut dalam Al-Qur’an. Rasulullah hidup di masa mereka. Mereka pun mendapat pengarahan Islam langsung dari nabi. Nabi pun menjelaskan bahwa keselamatan adalah dengan mengikuti nabi dan para shahabat. Nabi bersabda, “Bani Israil akan berpecah menjadi 72 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”

Beliau bersabda, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (H.R. Tirmidzi)

Sadarilah: Akal Manusia Terbatas

Seorang yang beriman, tentunya menyadari bahwa Allah ta’ala menciptakan manusia dengan segala keterbatasan, termasuk keterbatasan akal. Tidak ingatkah kita bahwa iblis mendebat Allah dengan akalnya? Disebutkan di dalam Al-Qur’an, yang artinya, Iblis berkata: ”Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah..” (QS.Shaad ; 76).

Menurut logika iblis, api lebih baik daripada tanah sehingga iblis yang diciptakan dari api tidak layak sujud kepada Adam yang diciptakan dari tanah. Dengan logikanya itu, iblis berani melawan perintah Allah ta’ala. Maka, Allah pun mengadzab iblis sehingga menjadi penghuni neraka. Tidak salah jika cara beragama islam liberal dikatakan sebagai cara iblis karena mereka berani mendebat dali-dalil syar’i dengan akal-akal mereka yang terbatas, mirip pendebatan Iblis kepada Allah ta’ala.

Maka, kaum muslimin harus diberikan peringatan terhadap bahaya pemikiran Ulil dan Islam Liberal. Kaum Islam liberal hanya pintar bermain kata dan terlalu percaya diri dengan akal mereka, tanpa sadar bahwa akal mereka terbatas. Mengapa tokoh-tokoh liberal itu tidak berpikir untuk membuat penemuan-penemuan ilmiah atau riset teknologi yang lebih bermanfaat bagi umat? Jawabnya, karena akal mereka tidak sanggup untuk itu. Mereka kebanyakan bukanlah sarjana teknik, kedokteran, atau sains, tetapi justru berlatar belakang ilmu sosial, bahasa, atau sastra. Namun, mereka sok berbicara atas nama logika atau rasionalitas untuk mempermainkan agama. Semoga Allah ta’ala menjaga diri kita dari pemikiran Ulil dan Islam Liberal. Amin [Ginanjar Indrajati*]

* Penulis adalah kepala divisi wisma muslim yang mengelola kegiatan wisma mahasiswa di sekitar kampus UGM, pernah juga menjadi takmir mahasiswa salah satu masjid di Pogung

2 comments

  1. Maaf, kalau boleh tahu pernyataan2 Ulil yg tdapat dalam artkel di atas , (yg diambil dr web Ulil.net) itu judul artikelnya apa dan ditulis oleh Ulil pd tanggal brp ? Terima kasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *