Islam Agama Toleransi

Kehidupan Beragama dan Toleransi dalam Islam

Islam merupakan agama yang mengatur sendi-sendi kehidupan para pemeluknya. Mulai dari perkara pokok yang merupakan hal terpenting seorang muslim, hingga perkara penyempurna yang melengkapi urusan-urusannya telah Allah jelaskan melalui perantara Rasul-Nya. Hal ini merupakan salah satu nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada hamba-Nya. Karena kasih sayang-Nya, Dia tidak membiarkan hamba-Nya tersesat dalam kebingungan, justru Dia memberikan bimbingan serta petunjuk kepada mereka.

Salah satu hal yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari adalah berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita, diantaranya adalah interaksi kepada orang kafir atau biasa disebut nonmuslim. Selain hak-hak dan etika terhadap sesama, hal yang seyogyanya diperhatikan oleh seorang muslim adalah memperhatikan pula hak-hak dan etika terhadap Allah Ta’ala. Jangan sampai dalam interaksi kita dengan sesama, kita melakukan perkara yang berada di luar koridor yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala.

Sikap Terhadap Keberadaaan Berbagai Macam Agama

Merupakan sebuah sunnatullah dan ketetapan Allah bahwa terdapat banyak kepercayaan atau agama-agama. Namun agama yang diterima di sisi Allah hanya satu, yaitu Islam. Hal ini merupakan pokok prinsip yang harus diyakini oleh setiap muslim.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama (yang diterima) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Q.S. Ali Imran : 19).

Oleh sebab itu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, menyebarkan Islam kepada kaum musyrikin dan menghapuskan syiar-syiar kekafiran. Maka, adanya agama lain bukan berarti Allah ridha kepada hal tersebut. Namun ini adalah ujian yang Allah turunkan untuk menguji para hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jikalau Allah menghendaki, niscaya kalian akan dijadikan satu umat, namun Allah hendak menguji kalian terhadap apa yang telah Dia karuniakan. Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kalian kembali lalu diberitahukan hal yang dahulu kalian perselisihkan.” (Q.S. Al-Maidah : 48).

Kemudian, disyariatkan dakwah menyeru kepada agama yang diridhai Allah dengan cara yang hikmah, diantaranya dengan lemah lembut.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah (musyawarah) dengan mereka dengan cara yang baik.” (Q.S. An-Nahl 125).

Hal ini yang harusnya menjadi motivasi bagi kita dalam menyikapi perbedaan yang ada. Kita berusaha mengenalkan dan mendakwahkan agama Islam semampu yang kita bisa.

Praktek Kehidupan Beragama dalam Islam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan teladan kepada kita dalam berinteraksi dengan orang kafir. Saat tinggal di Kota Madinah, beliau membuat perjanjian dengan orang Yahudi yang tinggal disana, diantaranya untuk tidak saling menyerang satu sama lain. Namun yang terjadi adalah diantara orang Yahudi ada yang melanggar perjanjian yang telah disepakati, seperti Bani Nadhir yang menyerang umat muslim dan berusaha melakukan pembunuhan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyerang mereka dan mengusir mereka dari kota Madinah.

Orang Yahudi dari Bani Nadhir pun meninggalkan kota Madinah, dan mereka tidak dibunuh karena melanggar perjanjian. Inilah diantara contoh kebaikan yang dibawa oleh Islam.

Sejatinya, tidak terlarang bagi seorang muslim untuk berbuat kebaikan kepada orang kafir ahlul ‘ahdi (yang tidak memerangi kaum muslimin) namun selama masih dalam koridor syariat. Bahkan kita diperintahkan untuk selalu berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka. Dan dalam perkara dakwah, kita pun diperintahkan untuk berdakwah dengan penuh hikmah dan kelembutan.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S.Al-Mumtahanah: 8-9).

Dalam perkara muamalah, kita dibolehkan berjual beli dan melakukan perkara muamalah lain dalam urusan dunia dengan siapa saja, termasuk nonmuslim. Namun yang perlu diperhatikan adalah hendaknya kita berlaku adil dan menjaga batasan yang telah ditetapkan syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempraktekkan hal tersebut, dikisahkan baju besi beliau tergadai kepada orang Yahudi karena hutang beliau sejumlah 30 sha’. (Lihat Shahih Bukhari).

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah : 275).

Dalam urusan bertetangga kita diperintahkan untuk berbuat baik dan memuliakan tetangga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan tetangganya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini bersifat umum kepada setiap tetangga, baik sesama muslim maupun nonmuslim, sebagaimana keterangan Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr (Fathul Qawwiyil-Matin Syarh Al-Arbain An-Nawawiyyah hal. 63). Dan banyak pula hadits lain yang mendorong kita untuk memuliakan dan menjaga hak tetangga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik.” (H.R. Muslim).

Lalu dalam perkara berbakti kepada kedua orangtua, kita tetap diperintahkan untuk berbakti kepada keduanya meskipun mereka adalah nonmuslim. Hal ini dalam perkara yang tidak dilarang oleh syariat.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S.  Luqman : 15).

Jangan Sampai Toleransi Kita Kebablasan

Hal yang perlu diperhatikan dalam interaksi kita dengan orang-orang nonmuslim adalah koridor syariat yang telah ditetapkan. Jangan sampai dengan dalih toleransi kita melakukan hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Penjagaan terhadap hak Allah adalah hal yang hendaknya diperhatikan oleh seorang muslim. Karena tidaklah teranggap kebaikan orang kafir kepada sesama saat mereka mengabaikan hak Allah Ta’ala, yaitu untuk diesakan dalam hal peribadahan.

Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,Wahai Rasulullah, dahulu di masa Jahiliyyah, Ibnu Jud’an biasa menyambung silaturahmi dan memberi makan orang miskin. Apakah semua itu bermanfaat untuknya?

Nabi bersabda, “Tidaklah bermanfaat baginya, karena ia tidak pernah seharipun berdoa, “Wahai Rabb ku, ampuni diriku di hari pembalasan.” (H.R. Muslim).

Diantara perkara yang sebagian kita kurang perhatian adalah memberikan ucapan selamat terhadap perayaan kekufuran. Syaikh Shalih al-Munajjid membawakan penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah yang menyatakan,

“Adapun memberi ucapan selamat dengan syiar khusus untuk orang kafir, hal itu disepakati keharamannya. Seperti memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka dengan mengucapkan ‘Hari raya yang diberkahi untuk anda’, atau memberikan ucapan selamat dengan hari raya ini atau semisal itu. Hal ini, walaupun pelakunya selamat dari kekufuran, maka ia termasuk sesuatu yang diharamkan. Hal itu seperti kedudukannya dengan memberikan ucapan selamat dengan sujudnya kepada salib. Bahkan hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dibandingkan memberi ucapan selamat untuk orang yang meminum khamr dan membunuh jiwa.” (dalam kitab Ahkamu Ahlu Dzimmah).

Hal ini dikarenakan ucapan selamat berkonsekuensi adanya keridhaan terhadap perbuatan kekafiran yang mereka lakukan. Padahal Allah tidaklah meridhai syiar-syiar kekufuran.  Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Q.S. Az-Zumar : 7).

Kemudian, hendaknya kita tidak ikut meramaikan perayaan keagamaan mereka, misal dengan berpakaian dengan pakaian khas mereka. Karena dikhawatirkan terkena ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa menyerupai satu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (H.R. Abu Dawud, dihasankan oleh Syaikh Albani),

atau dengan tujuan agar kita dan mereka saling meramaikan hari keagamaan masing-masing. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jauhilah musuh-musuh Allah itu pada hari raya mereka.” (Riwayat Imam Baihaqi dengan sanad yang shahih).

Akhir kata, Agama Islam adalah agama yang penuh dengan toleransi. Penunaian hak sesama makhluk bukan berarti mengabaikan hak yang lebih utama untuk ditunaikan, yaitu hak Khaliq. Seyogyanya kita bersungguh-sungguh mempelajari agama ini sehingga mampu bersikap adil dan proporsional dalam menyikapi kemajemukan yang ada di antara kita.

Penulis : Faqih Abdussalam (Alumnus Ma’had Al-Ilmi)

Muroja’ah : Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *