Ulama dan Umara

umaraUlama dan Umara, para ahli ilmu agama dan para pemimpin. Sebagian orang berpikir ulama yang baik adalah ulama yang menyalahkan para pemimpin di mimbar-mimbar atau yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan seorang pemimpin. Artinya, pemimpin berada pada satu wilayah, ulama berada pada wilayah yang lain. Terdapat pembatas yang memisahkan keduanya.

Sekilas kita akan merasa bahwa ulama yang baik adalah ulama yang jauh dari para pemimpin. Ini mungkin benar dari satu sisi : kalau ulama tersebut takut tergoda fitnah dunia dan kekuasaan yang bisa masuk ke dalam dirinya kemudian merusak agamanya.

Pada sisi yang lebih besar dari itu, kita mendapatkan jauhnya jarak antara ulama dan umara adalah tanda-tanda yang tidak baik bagi kehidupan beragama dan dunia kita. Bahkan pemisahan tersebut bisa menjadi bagian dari pemikiran sekuler yang memisahkan antara urusan negara dan agama.

Para ulama sibuk berceramah dan memberikan pencerahan di masjid-masjid, para pemimpin mengeluarkan aturan dan mengadakan kegiatan yang melanggar syariat. Seorang pemimpin mengadakan program-program pemerintahannya, para ulama berdiri di garis terdepan menjadi penentangnya. Saya dan anda pasti sepakat bahwa ini adalah pemandangan yang tidak sedap dipandang mata.

Perpaduan dahsyat antara ulama dan umara

Mari kita lihat sebaliknya : bersamanya ulama dan umara. Seorang alim ulama mengadakan program dan kegiatan keagamaan, umara mendukung dan menjadi tiang penopangnya. Pada saat seorang pemimpin mengeluarkan keputusannya, ada seorang alim di sisinya yang memberikan pandangan dan masukan, agar keputusan itu tidak melanggar hukum syariat. Betapa indahnya ulama dan umara bersatu dan bersama untuk kebaikan umat! Saya yakin, kita tidak akan berbeda pendapat tentang hal ini.

Islam hadir dengan seorang pemimpin agama dan pemimpin negara pada diri satu orang, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Begitulah Negara Islam pertama kali, kepemimpinan agama dan dunia menyatu. Masa khulafaur rasyidin-pun masih mengikuti rel yang sama. Para khalifah pemimpin kaum muslimin, mereka adalah ulama sekaligus umara pada waktu yang sama.

Dari sini kita dapat memahami, bahwa kepemimpinan Islam pada dasarnya menyatukan ulama dan umara, keduanya menjadi pemimpin dan pembimbing umat kepada kebaikan.

Taatilah ulil amri!

Ketika Allah Ta’ala memerintahkan untuk mentaati ulil amri, kedua kelompok tersebut masuk ke dalamnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An Nisaa : 59)

Syaikh As Sa’di berkata, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri. Ulil Amri adalah orang yang memimpin, mereka terdiri dari para pemimpin dan ulama. Sesungguhnya urusan-urusan umat tidak akan menjadi baik kecuali dengan mengikuti perintah dan arahan mereka, dan itu merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Ta’ala selama mereka tidak memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan” (Tafsir As Sa’di hal. 183)

Ulama dan umara dalam bingkai realita

Setelah perjalanan sejarah menjauh dari masa kenabian, kehidupan manusia semakin kompleks dan permasalahan umat semakin banyak, terjadi pemisahan dalam kepemimpinan umat. Umara (raja, gubernur, dll) bukan lagi seorang ulama, dan seorang ulama biasanya hanya menjadi seorang mufti, hakim, dan urusan-urusan yang terfokus pada permasalahan agama dan ilmu agama.

Tapi kita akan mendapatkan tinta sejarah mencatat bahwa para pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki nama-nama besar, mereka tidak terpisahkan dari Ulama, seperti ‘Umar bin ‘Abdul Aziz, Shalahuddin Al Ayyubi, dan Muhammad Al Fatih.

Masa sekarang, kita dapatkan masih banyak dari pemimpin negara dan kerajaan Islam, yang memiliki kedekatan dan hubungan yang sangat baik dengan para ulama. Bahkan, seperti Kerajaan Saudi Arabia, keputusan-keputusan penting Kerajaan harus disetujui oleh ulama. Lebih dari itu, pengambilan keputusan itu sendiri melibatkan para ulama, yang mereka merupakan bagian terpenting dari kepemimpinan Raja Saudi Arabia.

Di sebagian negara yang umat Islamnya mayoritas, kita mendapatkan hal yang berbeda, ulama dan umara berada sisi yang saling berseberangan. Para pemimpin suatu negara atau pemerintah menjadi rintangan dan tantangan terbesar bagi Ulama dan gerakan Islam dalam menyebarkan dakwah. Ini adalah hal yang sangat-sangat tidak kita inginkan.

Sekali lagi, saya ingin menekankan satu perkara, bahwa ulama dan umara harus saling berdekatan dan bahu-membahu membangun umat dan menyebarkan kebaikan kepada umat manusia.

Saling melengkapi dan menasihati

Mungkin muncul pertanyaan: Bagaimana dengan yang namanya Ulama su’ (ulama yang jelek-red)? atau Ulama yang mengembek di balik para jas para pejabat? Benar salah yang dilakukan si pemilik jabatan, ia menjadi pendukung. Lebih dari itu, dengan ilmu agama yang ia miliki, maka ia mencari dalil pembenaran bagi perbuatan seorang pemimpin yang salah. Saya katakan: “Itu salah besar, dan sangat disesalkan”.

Yang kita inginkan adalah kedekatan ulama di sisi umara, menjadi pendukung di saat berada di jalur yang benar, dan menjadi penasehat terbaik di saat berada di jalan yang salah. Menjadi penopang agar semakin kokoh, dan menjadi pelurus bila ada kebengkokan.

Di sini ada dua sisi penting, memberi dukungan dan menasehati. Yang pertama mudah kita pahami, adapun yang kedua, maka kita perlu sedikit mendalami : Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari umatnya dalam menasehati pemimpin mereka?

Ketika Nabi Musa menasihati fir’aun

Sebelumnya, mari kita perhatikan dengan baik ayat Al Qur’an berikut ini. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan dua Nabi-Nya, Musa dan Harun ‘alaihis salam (yang artinya), “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya ia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha : 43-44)

Dua orang utusan Allah Ta’ala datang kepada raja yang paling zhalim, bahkan telah melewati batas dengan mengaku diri sebagai tuhan. Kita mendapatkan pelajaran yang sangat penting dari ayat ini, seburuk-buruk manusia walaupun ia serupa fir’aun, maka kita harus tetap mengunakan adab dan cara yang baik dalam mendakwahi dan menasehatinya.

Beginilah Nabi mengajarkan cara menasihati pemimpin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita cara dan adab dalam menasehati seorang pemimpin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasehati seorang Sultan (pemimpin) pada sebuah perkara, janganlah ia menasehatinya secara terang-terangan (di depan umum), akan tetapi hendaklah ia berdua dengannya. Apabila nasehatnya diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, maka ia telah melakukan kewajibannya untuk menasehati” (HR. Ahmad, no. 15.333)

Imam Ibnu Muflih mengatakan, “Seseorang yang menasehati Sultan, tidak boleh menasehatinya kecuali dengan cara: menasehatinya, menakutinya, atau mengingatkannya akan akibat buruk dari perbuatannya di dunia dan akhirat. Itulah yang seharusnya dan tidak boleh selainnya” (Al Adab As Syar’iyah, 1/175)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “Menyebutkan keburukan para pemimpin sehingga menjadi santapan umum, atau mengangkatnya di atas mimbar-mimbar, bukan merupakan cara para ulama salaf. Karena hal itu bisa menyebabkan kekacaun dan munculnya sifat tidak taat kepada pemimpin pada perkara yang baik, dan juga membawa pada perdebatan yang tidak membawa kebaikan, bahkan membawa keburukan.

Adapun cara para salaf adalah dengan menasehati seorang pemimpin secara langsung, atau mengirim surat kepadanya, atau menghubungi ulama yang punya hubungan dengan pemimpin tersebut, agar memberikan nasehat kepadanya”. (Majmu’ Fatawa Bin Baz, 8/210)

Semoga ulama dan umara kita bersatu selangkah membangun umat ini, dan seiya sekata dalam menyuarakan kebenaran. Aamiin.

Penulis : Ustadz Sanusin Muhammad Yusuf, MA (Dosen STDI Imam Syafi’i Jember)

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *