Teladan Nabi Ibrahim

Jika kita telisik lebih dalam, sejarah penyembelihan kurban, ibadah tersebut berasal dari kisah Nabi Ibrahim bersama putranya Nabi Ismail ‘alaihimash shalatu wa sallam. Jika kita mau mengambil pelajaran, banyak sekali keteladanan yang dapat kita ambil dari Nabi Ibrahim.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang Imam (yang dapat dijadikan teladan), qaanitan(patuh kepada Allah), dan hanif, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang menyekutukan Allah).” (QS. An-Nahl: 120)

 

Sebagai Teladan

Nabi Ibrahim disebut dengan Abul Anbiya (bapaknya para Nabi). Tidaklah seorang nabi setelah Nabi Ibrahim kecuali semuanya berasal dari keturunan Beliau. Nabi Ibrahim disebut juga seorang Imam karena beliau menjadi teladan bagi kita semua. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan di surat Al-Furqan ayat 74,

“Dan jadikanlah kami sebagai Imam (pemimpin) bagi orang yang bertakwa.”

Para ahli tafsir menjelaskan, yang dimaksud “imam” pada ayat di atas adalah dijadikan sebagai teladan bagi orang-orang yang hidup sesudahnya.

 

Patuh kepada Allah

Nabi Ibrahim adalah seorang hamba yang patuh. Dimana ia mendahulukan perintah Allah dengan cara mantaati-Nya. Siapa yang tidak kenal dengan kisah Beliau yang meninggalkan istrinya (Hajar) dan putranya (Nabi Ismail), di tanah yang gersang tanpa meninggalkan bekal apa pun. Hal ini menunjukkan bahwa rasa cinta Beliau kepada Allah melebihi rasa cintanya terhadap istri dan anaknya. Padahal kita tahu bahwa istri dan anak adalah salah satu godaan terbesar di dunia yang bisa menyebabkan seseorang terlalu mencintai dunia dan melalaikan akhiratnya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka.” (At-Taghabun: 14).

Nabi Ibrahim juga melaksanakan perintah Allah, bahkan mendapat dukungan dari anaknya sendiri, tatkala Allah perintahkan Beliau untuk menyembelih anaknya sendiri, yaitu Nabi Ismail. Padahal Beliau telah lama merindukan untuk memiliki buah hati.

Allah Ta’ala berfirman,

Maka tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku sedang menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar””. (QS. Ash Shaffat: 102)

 

Orang Yang Hanif

Hanif artinya bertekad mengikuti kebenaran dan jalan yang lurus. Nabi Ibrahim adalah seorang yang berpegang teguh terhadap kebenaran, tidak berpaling untuk meninggalkannya, dan memiliki pemahaman agama yang lurus. Tidak pernah terlintas di pikiran beliau untuk meninggalkan agama yang benar ini. Jadi sudah sepantasnya dan seharusnya kita meneladani beliau dalam berpegang teguh pada ajaran yang benar ini.

 

Bukanlah Seorang Musyrik

Nabi Ibrahim bukanlah termasuk orang yang menyekutukan Allah. Bahkan beliau secara tegas mendakwahkan tauhid. Ada anggapan keliru bahwa Nabi Ibrahim pernah bingung terhadap Rabb-nya. Ayat ini membantah bahwa Beliau tidaklah pernah sama sekali menyekutukan Allah. Namun kita lihat praktik umat Islam jaman sekarang, masih banyak di antara umat Islam yang melakukan amalan menuju kesyirikan, bahkan telah mencapai derajat kesyirikan itu sendiri. Padahal kesyirikan adalah dosa yang tak terampuni dan pelakunya akan kekal di dalam neraka jika pelakunya tidak bertaubat sebelum meninggal.

 

Penutup

Sungguh ayat yang telah disebutkan di atas menunjukkan keteladanan seorang Nabi Ibrahim. Kita sebagai umat Islam yang mengaku beriman kepada Beliau, hendaknya menjadikan Beliau sebagai teladan kita. Oleh karena itu, sepatutnya bagi kita mencontoh Beliau, karena Beliau adalah Khalilurrahman, Sang Kekasih Allah Ta’ala. Jika kita hendak dicintai oleh Allah Ta’ala, maka contohlah Nabi Ibrahim. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Wallahu Muwaffiq.

***

Catatan: Tulisan ini terinspirasi dari isi khutbah Idul Adha Ustadzuna Aris Munandar Hafizhahullahu Ta’ala.

Penulis: Wiwit Hardi P pada website muslim.or.id

 

Mendulang Pahala di hari-hari Paling Mulia

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Alhamdulillah, bulan Dzulhijah telah menghampiri kita. Bulan mulia dengan berbagai amalan mulia terdapat di dalamnya. Lantas apa saja amalan utama yang bisa kita amalkan di awal-awal Dzulhijah? Moga tulisan sederhana berikut bisa memotivasi saudara untuk banyak beramal di awal Dzulhijah.

 

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Dzulhijah

Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut

Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun”

Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allah Ta’ala,

Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2).

Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah. Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.

Ada 6 amalan yang kami akan jelaskan dengan singkat berikut ini.

Pertama: Puasa

Disunnahkan untuk memperbanyak puasa dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk beramal sholeh ketika itu dan puasa adalah sebaik-baiknya amalan sholeh.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …”

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.

 

Kedua: Takbir dan Dzikir

Yang termasuk amalan sholeh juga adalah bertakbir, bertahlil, bertasbih, bertahmid, beristighfar, dan memperbanyak do’a. Disunnahkan untuk mengangkat (mengeraskan) suara ketika bertakbir di pasar, jalan-jalan, masjid dan tempat-tempat lainnya.

Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,

Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10  hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah.

Catatan

Perlu diketahui bahwa takbir itu ada dua macam, yaitu takbir muthlaq (tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu) dan takbir muqoyyad (dikaitkan dengan waktu tertentu).

Takbir yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas adalah sifatnya muthlaq, artinya tidak dikaitkan pada waktu dan tempat tertentu. Jadi boleh dilakukan di pasar, masjid, dan saat berjalan. Takbir tersebut dilakukan dengan mengeraskan suara khusus bagi laki-laki.

Sedangkan ada juga takbir yang sifatnya muqoyyad, artinya dikaitkan dengan waktu tertentu yaitu dilakukan setelah shalat wajib berjama’ah.

Takbir muqoyyad bagi orang yang tidak berhaji dilakukan mulai dari shalat Shubuh pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah) hingga waktu ‘Ashar pada hari tasyriq yang terakhir. Adapun bagi orang yang berhaji dimulai dari shalat Zhuhur hari Nahr (10 Dzulhijah) hingga hari tasyriq yang terakhir.

Cara bertakbir adalah dengan ucapan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamd.

 

Ketiga: Menunaikan Haji dan Umroh

Yang paling afdhol ditunaikan di sepuluh hari pertama Dzulhijah adalah menunaikan haji ke Baitullah.

 

Keempat: Memperbanyak Amalan Sholeh

Sebagaimana keutamaan hadits Ibnu ‘Abbas yang kami sebutkan di awal tulisan, dari situ menunjukkan dianjurkannya memperbanyak amalan sunnah seperti shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan beramar ma’ruf nahi mungkar.

 

Kelima: Berqurban

Di hari Nahr (10 Dzulhijah) dan hari tasyriq disunnahkan untuk berqurban sebagaimana ini adalah ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.

 

Keenam: Bertaubat

Termasuk yang ditekankan pula di awal Dzulhijah adalah bertaubat dari berbagai dosa dan maksiat serta meninggalkan tindak zholim terhadap sesama.

Intinya, keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.

Sudah seharusnya setiap muslim menyibukkan diri di hari tersebut (sepuluh hari pertama Dzulhijah) dengan melakukan ketaatan pada Allah, dengan melakukan amalan wajib, dan menjauhi larangan Allah.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Dicuplik dari tulisan Al-Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal, ST., M.Sc. di website www.rumaysho.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *