Salah Kaprah Memaknai Islam Sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin

At Tauhid edisi V/47

Oleh: Yulian Purnama

Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.

Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala: “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh manusia)” (QS. Al Anbiya: 107)

Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.

Secara bahasa arab, rahmat artinya ar-rifqu wa ath-tha’athuf; kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.

Penafsiran Para Ahli Tafsir

1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:

“Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat di sini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:

Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.

a) Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.

b) Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.

c) Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

d) Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.

Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”.

2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:

“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”

3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:

“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini: ”Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”… Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini: “Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya” (diterjemahkan secara ringkas).

4. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir:

“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)

Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”

Pemahaman yang Salah Kaprah

1. Berkasih sayang dengan orang kafir

Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar (pluralisme agama), dengan berdalil dengan surat Al Anbiya ayat 107.

Padahal ayat ini sama sekali tidak anjuran untuk perintah berkasih sayang kepada orang kafir. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat Allah dalam ayat ini bagi orang kafir adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu.

Selain itu, konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai.

2. Berkasih sayang dalam kemungkaran dan penyimpangan agama

Sebagian kaum muslimin membiarkan berbagai maksiat dan penyimpangan agama serta enggan menasehati mereka karena khawatir para pelakunya tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Sungguh aneh.

Islam sebagai rahmat Allah bukanlah maknanya berkasih sayang kepada pelaku kemungkaran dan penyimpangan agama serta membiarkan mereka terus melakukannya. Sebagaimana dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.

Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.

Sebagian orang yang dinasehati berkata: ‘biarkanlah kami dengan apa yang kami lakukan, jangan mengusik kami’. Ketahuilah pernyataan ini hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun: “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”

Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam kebaikan? Dalam surat Al Ashr dipaparkan: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1–3)

Pemahaman yang Benar

Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya di atas, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah:

  1. Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
  2. Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
  3. Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.
  4. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
  5. Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
  6. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.
  7. Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  8. Orang kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat kelak.
  9. Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta mereka.
  10. Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam berupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak akan ada kaum kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
  11. Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
  12. Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain Allah.
  13. Sebagian ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang kafir namun mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang mendapatkannya.
  14. Sebagain ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan orang mu’min.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, yang dengan sebab rahmat-Nya tersebut kita dikumpulkan di dalam Jannah-Nya. Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmush shalihat.. [Yulian Purnama]

6 comments

  1. Subhanallah. Semoga bermanfaat bagi kita semua & dapat menjadi bekal selama hidup di dunia sampai akherat. Amiin.

  2. HuwarRohmaanurRohiim….untuk itu ustadz Alloh memberikan peluang jihad untuk dakwah…agar umat islam di indonesia ini punya motivasi untuk” NGAJI ” secara kaaffah, kalau gak kaaffah ya gak tahu kalau “masa depan itu milik islam (Ali Imran:85)

  3. Toleransi antar umat beragama merupakan sebuah slogan yang indah. Toleransi memuat pesan-pesan berharga yang diinginkan umat manusia yaitu saling memahami, saling toleran, tidak memaksakan kehendak, tidak anarkis, dan sebagainya.

    Islam adalah agama toleran. Karena itu, Islam tidak memaksakan urusan memilih agama kepada umat manusia. Firman Allah l, artinya, “Tiada paksaan untuk masuk ke dalam agama (Islam).

    Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah: 256).
    Dalam jihad, Islam menawarkan tiga pilihan: Islam, membayar jizyah, atau perang. Ini juga merupakan bukti bahwa Islam tidak memaksa mereka untuk masuk Islam. Bahkan jika mereka memilih perang sekali pun, lalu menyerah dan memohon perlindungan, maka Islam memerintahkan untuk melindungi mereka. Dan yang luar biasa adalah perintah dari Allah f untuk mengantar mereka sampai ke tempat yang aman.

    “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-Taubah: 6).

    Bahkan sebagai wujud keindahan Islam yang sangat toleran terhadap agama lain, Islam melarang umatnya melanggar hak-hak non muslim, bahkan Islam menganjurkan umatnya berbuat baik kepada mereka. Adakah agama yang lebih toleran dari Islam?

    SALING MENGHORMATI SESAMA
    Prinsip dasar dalam menebarkan agama yang didasari oleh kebebasan beragama ini tentu melahirkan hubungan yang baik dan kondusif antar umat beragama. Dengan demikian, keyakinan Anda bahwa agama pilihan Anda adalah agama paling sempurna dan paling benar, tidak membawa Anda untuk bersikap anarkis. Bahkan Islam mengajarkan kepada Anda untuk tidak mengganggu dan melanggar hak-hak orang yang berseberangan agama dengan Anda.

    “Barangsiapa membunuh orang kafir yang menjalin perjanjian damai dengan negara Islam (mu’ahad), maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya dapat dicium sejauh perjalanan empat puluh tahun perjalanan.” (HR. Bukhari).

    Bukan hanya tidak mengganggu, bahkan Islam masih jua menganjurkan Anda untuk tetap berbuat baik kepada mereka.

    “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8).

    Sejarah kehidupan Nabi ` dan sahabat-sahabatnya di kota Madinah menjadi bukti nyata akan hal ini. Nabi ` mengikat tali perjanjian untuk bahu-membahu dengan Yahudi dalam mempertahankan kota Madinah, negeri mereka bersama, dari serangan musuh.

    Sahabat Abdullah bin ‘Amr c pada suatu hari menyembelih seekor kambing. Lalu ia berkata, “Apakah kalian sudah memberikan hadiah (daging sembelihan) kepada tetanggaku yang beragama Yahudi? Karena aku mendengar Rasulullah ` bersabda,

    “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, sampai aku menduga beliau akan menjadikannya termasuk orang yang berhak menerima warisan.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzy).

    Pergaulan yang baik dan etika yang luhur bukan hanya ditunjukkan semasa mereka hidup, bahkan sepeninggal mereka pun, Islam masih menekankan pergaulan yang baik. Sahabat Sahl bin Qais E mengisahkan satu praktik toleransi yang dicontohkan oleh Nabi ` dalam bermasyarakat dengan orang-orang yang berseberangan agama:

    “Pada suatu hari (serombongan orang membawa) jenazah melintas di depan Nabi `, maka beliau berdiri. Spontan para sahabat bertanya, “Sesungguhnya ia adalah jenazah orang Yahudi.” Beliau menjawab, “Bukankah dia juga jiwa (manusia)?” (HR. Bukhari).
    Demikianlah Islam mengajarkan toleransi dengan agama lain.

    TOLERANSI TAK BERARTI MENGGADAIKAN PRINSIP AGAMA
    Toleransi dianjurkan. Berbuat baik disyariatkan. Tolong menolong menjadi suatu kepastian walaupun Anda berseberangan agama dengan tetangga. Namun itu tidak berarti Islam membenarkan Anda untuk menggadaikan ideologi dan prinsip agama Anda. Islam tidak pernah mengizinkan kepada Anda untuk bersikap lunak dan dalam urusan akidah dan keimanan. Allah l berfirman, artinya, “Maka mereka menginginkan supaya engkau bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak pula kepadamu.” (QS. Al-Qalam: 9).

    Al-Mujahid berkata, “Mereka mendambakan jikalau engkau sedikit melunak (mendekat) kepada tuhan-tuhan mereka, dan meninggalkan sebagian dari kebenaran yang ada padamu.”
    Inilah prinsip Islam yang tidak dapat ditawar-tawar, sebagaimana yang tertuang pada firman Allah berikut, artinya,

    “Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6).

    Kita yakin dan beriman bahwa satu-satunya agama yang benar dan diterima di sisi Allah adalah agama Islam. Keyakinan ini tertanam kokoh dalam jiwa setiap muslim dan tak mungkin tergoyahkan oleh apa pun. Kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang sah harus selalu kita yakini. Kebaikan perilaku dan keluhuran tutur kata bukan berarti keraguan akan kebenaran agama yang kita yakini. Persahabatan dan kerjasama juga bukan berarti keraguan akan kesalahan agama orang lain.

    “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).

    “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah agama Islam.” (QS. Ali Imran: 19).
    Rasulullah ` bersbda, “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Tiadalah seorang pun dari umat ini, baik Yahudi maupun Nasrani, lalu ia mati, sedangkan ia belum beriman kepada agama yang aku diutus dengannya, melainkan ia menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim).

    Dengan demikian, bila toleransi yang diinginkan berupa hubungan yang baik, tidak saling melanggar hak dan kepemilikan, maka itu semua telah diajarkan dalam syariat. Namun bila yang dimaksud dari toleransi ialah lunturnya ideologi, iman, dan keyakinan, maka sejatinya itu bukan toleransi, tapi pelecehan harkat dan martabat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *