Nikmat Keamanan Sebuah Negeri

Buletin At-Tauhid edisi 07Tahun XIV

Rasa aman merupakan salah satu nikmat Allah yang besar dan salah satu pilar asasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena menurut sifat dasarnya, meskipun manusia hidup di tengah bangsa yang berperadaban tinggi, berkemajuan, dan berekonomi kuat, mereka tak akan mampu hidup dengan baik di tengah suasana yang dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran. Sebaliknya dalam suasana kehidupan yang aman, sebuah bangsa bisa membangun peradaban, dengan fokus dalam memaksimalkan berbagai sektor perekonomian seperti pertanian dan industri; memaksimalkan kegiatan ekspor dan meminimalisir kegiatan impor; di mana ilmu dan kegiatan pembelajaran yang baik tersebar luas, sehingga melahirkan generasi yang unggul.

 

Nilai penting keamanan dalam Islam

Dalam ayat 155 surat al-Baqarah, Allah ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan menguji manusia dengan apa yang menjadi kebalikan dari rasa aman, yaitu rasa takut. Allah ta’ala berfirman,

 “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah: 155)

Ketika menafsirkan ayat ini, al-Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan,

“Sungguh Kami akan mengujimu dengan sedikit ketakutan yang engkau peroleh dari musuhmu; Kami mengujimu di tahun-tahun yang engkau lalui, yang di dalamnya engkau mengalami kelaparan dan kesusahan. Kelak juga kamu akan diuji, sehingga sulit memenuhi kebutuhan, karena itu berkuranglah hartamu untuk memenuhinya; Peperangan antara kalian dan musuh yang kafir juga akan menjadi medan ujian, sehingga menyebabkan kuantitas kalian berkurang dan keturunan kalian meninggal; Buah yang kalian tanam pada suatu saat tak lagi berbuah, karenanya berkuranglah persediaan buah-buahan kalian. Semua hal itu adalah ujian dari Aku (Allah) kepada kalian, sehingga akan tersaring mereka yang keimanannya jujur dari mereka yang keimanannya dusta; akan teridentifikasi mereka yang memiliki bashirah dan berpegang teguh pada agama dari mereka yang munafik dan ragu pada agama.

Ayat tersebut adalah seruan bagi para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.” [Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an 3/220].

Meski ayat ini memaparkan berbagai bentuk ujian dari Allah ta’ala kepada para hamba-Nya, namun dari kandungan ayat ini kita dapat memahami bahwa keamanan itu merupakan suatu nikmat yang besar. Apabila rasa takut; kelaparan; berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan (pangan) merupakan ujian dari Allah, maka kebalikan dari itu berupa rasa aman, kenyang, kecukupan dalam harta dan jiwa merupakan nikmat dari-Nya. Kekasih Allah, ar-Rahman, bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihi as-salam meyakini akan hal ini ketika berdo’a kepada Allah, beliau meminta keamanan sebelum diberikan rezeki. Beliau memohon dengan berkata,

“Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS Al-Baqarah: 126).

Beliau memohon nikmat keamanan terlebih dulu karena:

  • Stabilitas keamanan merupakan salah satu sebab datangnya rezeki. Apabila keamanan tersebar luas dan stabil, manusia bisa bertebaran di muka bumi untuk mencari rezeki. Hal yang tidak bisa dicapai jika keamanan tidak tercipta.
  • kenikmatan baik berupa makanan atau minuman tidak dapat dimanfaatkan dan dinikmati secara optimal apabila tidak ada rasa aman. Apakah ada orang yang bisa merasakan kelezatan makanan dan minuman dengan baik jika dirinya dikelilingi rasa takut?
  • Hal yang lebih penting dari itu adalah dalam suasana kehidupan yang aman, seorang mukmin dapat beribadah kepada Rabb-nya ta’ala dengan hati yang tenang, dada yang lapang, dan jiwa yang bersih. Karena itulah sebab pokok mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah dari Mekkah al-Mukarramah menuju Madinah al-Munawwarah, adalah agar terbebas dari rasa takut dan penindasan yang dialami kaum mukminin di Mekkah, sehingga mereka pun berhijrah ke Madinah agar memperoleh kemenangan dan mampu menyembah Allah ta’ala dalam rasa aman sentosa. Hal ini seperti yang difirmankan Allah ta’ala,

 “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nur: 55).

 

Bagaimana Islam menjaga nikmat keamanan

Islam memberikan beberapa tuntunan yang apabila diterapkan insya Allah mampu menciptakan keamanan dalam suatu wilayah. Di antara hal tersebut adalah:

  • Mensyukuri nikmat keamanan

Suatu kenikmatan akan langgeng jika disyukuri dan akan sirna jika diingkari. Allah ta’ala berfirman,

 “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim: 7).

Terkait khusus dengan nikmat keamanan, Allah ta’ala berfirman,

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS An-Nahl: 112)

  • Menauhidkan Allah ta’ala dalam peribadahan

Karena tauhid adalah jaminan keamanan di dunia dan di akhirat. Telah disampaikan sebelumnya, di surat an-Nur ayat 55, bahwa kekuasaan yang mencakup keamanan di muka bumi dapat terealisasi ketika manusia menyembah Allah semata, tidak menjadikan tandingan bagi-Nya dalam peribadahan. Allah ta’ala juga berfirman,

 “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman syirik (yang merupakan lawan dari tauhid), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-An’am: 82).

 

  • Menerapkan hudud

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Selama para pemimpin kaum muslimin tidak berhukum dengan Kitabullah (al-Quran) dan tidak memilih ketentuan dari aturan yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam), niscaya Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka.” (Hadits shahih riwayat Ibnu Majah).

Tatkala landasan yang menjadi pegangan manusia dalam berhukum adalah aturan ilahi yang bersumber dari hukum-hukum agama, yang tergali dari al-Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini adalah jaminan garansi atas terciptanya keamanan dalam suatu wilayah.

 

  • Memerintahkan untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan (amar ma’ruf nahi mungkar)

Umat ini dimuliakan dengan karakter yang disebutkan Allah dalam firman-Nya,

 “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, yang menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran: 110).

Prinsip amar ma’ruf nahi mungkat merupakan sarana yang efektif untuk memperbaiki kondisi masyarakat, karena pengaruh hukum-hukum syari’at pada jiwa manusia dapat melemah dan berkurang seiring berjalannya waktu. Penerapan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar dapat mengatasi hal tersebut.

  • Menyebarkan Islam di atas pemahaman salaf ash-shalih

Karena salah satu faktor yang menyebabkan rasa aman itu hilang atau berkurang di tengah masyarakat adalah tersebarnya paham-paham keagamaan yang memahami dalil al-Quran dan as-Sunnah dengan tidak berlandaskan pemahaman salaf ash-shalih (generasi terbaik umat Islam). Bukankah terjadinya pengafiran secara serampangan; penghalalan darah sesama kaum muslimin; pembunuhan dan pengeboman orang-orang yang tidak berdosa, meskipun orang itu berstatus kafir, bersumber dari paham-paham yang keliru dala memahami Islam?

  • Menerapkan manhaj salaf dalam berinteraksi dengan penguasa kaum muslimin

Menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dengan ketentuan agama dalam berinteraksi dengan mereka seperti menghormati kedudukan mereka; mendengar dan taat pada kebijakan dan aturan mereka selama tidak bertentangan dengan aturan agama; berusaha mewujudkan persatuan, bersabar atas kezaliman, tidak keluar dari ketaatan kepada mereka, dan tidak melakukan provokasi dan agitasi yang menjatuhkan martabat mereka; mendo’akan kebaikan agar mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan baik dan tidak mencela mereka; serta memberikan nasihat dan kritik yang tulus dan membangun. Apabila hal ini diterapkan oleh setiap kaum muslimin dalam interaksi antara penguasa dan rakyat, niscaya keamanan dapat tercipta.

  • Berdo’a meminta keamanan

Karena itulah juga yang dipraktikkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti ketika melihat hilal, beliau berdo’a,

 “Allah Mahabesar, ya Allah, tampakkanlah al-hilal (bulan tanggal satu) itu kepada kami dengan membawa keamanan dan keimanan; dengan membawa keselamatan dan Islam; serta mendapat taufik untuk menjalankan apa yang Engkau cintai dan Engkau Ridhai. Rabbku dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah.”  (Shahih li ghairihi. HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan ad-Darimi).

Demikian pula di setiap pagi dan petang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdo’a,

 “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, saya memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan dalam urusan dunia dan akhiratku, untuk keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutupilah aib-aibku, berilah rasa aman kepada lubuk hatiku, jagalah saya dari arah depan, arah belakang, arah kanan, arah kiri dan arah atas, dan saya berlindung kepada-Mu agar aku tidak dihancurkan dari arah bawahku.” (Shahih. HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad; Abu Dawud; an-Nasaa-i; Ibnu Majah].

 

Penulis : Muhammad Nur Ichwan Muslim (Alumni Ma’had Ilmi Yogyakarta)

Murojaah : Ustadz Afiifi Abdul Wadud, B.A.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *