Tauhid Dulu, Ataukah Khilafah?

At Tauhid edisi V/16

Oleh: Ammi Nur Baits

Khilafah adalah cita-cita yang didambakan oleh seluruh kaum muslimin, lebih-lebih bagi mereka yang menjadi aktivis dakwah. Khilafah merupakan hadiah yang Allah persembahkan bagi umat ini setelah mereka berusaha untuk meniti kebenaran. Karenanya, kami ingatkan tulisan ini hanyalah sekelumit usaha untuk mewujudkan cita-cita munculnya khilafah. Tulisan ini bukanlah upaya untuk memecah belah persatuan kaum muslimin. Tulisan ini hanyalah sebatas nasehat antar sesama muslim yang mencita-citakan kesatuan dan persatuan kaum muslimin di atas kebenaran.

Kelompok yang Pertama Kali Menjadikan Khilafah Sebagai Prinsip Dakwah

Syaikh DR. Shalih bin Sa’ad As Suhaimi pernah ditanya tentang prinsip dakwah imamah (khilafah) dalam kesempatan dauroh bulan Juli 2008 di Mojokerto. Beliau menjawab:
“Imamah atau khilafah, yang pertama kali menjadikannya sebagai prinsip adalah kelompok Syi’ah dan Mu’tazilah. Imamah memang diharapkan. Setiap muslim berkeinginan agar kaum muslimin berada di bawah satu bendera dan satu khalifah. Namun keadaan ini (kaum muslimin di atas satu khilafah) sedah berakhir sejak masa Khulafa’ur rasyidun atau sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil dari kekhalifahan Abbasiyah….” (dikutip dari Majalah Adz Dzakhiirah edisi 42 tahun 1429 H).

Orang-orang syi’ah menjadikan Imamah (kekhalifahan) sebagai salah satu rukun iman mereka. Berikut adalah kutipan perkataan tokoh-tokoh syi’ah:
Muhammad Ridlo al Mudhofar Ar Rofidhi mengatakan: “Kami berkeyakinan bahwasanya imamah adalah salah satu asas agama. Keimanan tidak sempurna kecuali dengan memiliki keyakinan tersebut…” (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah)
Ibnul Muthohir al Hully dalam muqodimah kitabnya yang berjudul Minhajul Karomah mengatakan: “Amma ba’du, ini adalah risalah dan makalah yang mulia, yang berisi tentang pembahasan paling penting dalam masalah agama dan permasalahan paling utama bagi kaum muslimin; yaitu masalah imamah, dengan imamah bisa didapatkan derajat kemuliaan. Imamah adalah salah satu rukun iman. (Minhajul Karomah 1/20, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Rabi’ dalam Manhajul Anbiya fi Da’wah).

Bahkan sebagian mereka beranggapan lebih jauh dari pada perkataan tokoh sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa imamah lebih penting dari pada masalah Nubuwah (kenabian). Salah satu tokoh dan ulama mereka di zaman ini, Hadi At Thohroni mengatakan: “Imamah itu lebih mulia dibandingkan nubuwah. Karena imamah adalah tingkatan ketiga yang dengannya Allah memuliakan Ibrohim setelah (seblumnya) mengalami derajat Nubuwah dan Al Khullah. (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah).

Yang dimaksud Nubuwah adalah diangkatnya seseorang menjadi nabi. Sedangkan yang dimaksud Imamah adalah diangkatnya seseorang menjadi imam atau pemimpin. Dan yang dimaksud Al Khullah adalah diangkatnya seseorang menjadi kekasih terdekatnya Allah. Maksud perkataan Hadi At Thohroni adalah derajat diangkatnya seseorang menjadi imam atau pemimpin itu lebih mulia dari pada status diangkatnya seseorang menjadi nabi. Karena menjadi imam itu tingkatannya paling tinggi, yang di bawahnya ada tingkatan al khullah dan di bawahnya lagi baru tingkatan kenabian.

Hal yang senada juga pernah disampaikan oleh Abul A’la Al Maududi salah satu tokoh pergerakan di timur tengah. Beliau mengatakan: “Hakekat tujuan beragama adalah menegakkan aturan imamah yang baik dan lurus.” (Al Ushul Al Akhlaqiyah).

Alasan Mereka yang Gemar Meneriakkan Tegaknya Khilafah

Berikut kami sisipkan kutipan pendapat dan alasan mereka untuk menegakkan khilafah. Diambil dari salah satu makalah yang diterbitkan di situs mereka.
“Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.” (lih. Apa itu Khilafah?)
“Penderitaan dan kesengsaraan dunia yang dihasilkan dari negara-negara kapitalis, khususnya AS, tidak akan lenyap kecuali dengan tegaknya negara Khilafah yang akan menerapkan ideology yang haq, yaitu Islam yang agung yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.105)
“kita telah mengetahui bahwa umat Islam akan segera kembali menjadi negara adidaya, yaitu dalam Khilafah Rasyidah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.122)
“Masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan kecuali dengan berdirinya negara Khilafah Islam.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.135)
“Maka itu, keburukan yang telah mencengkeram dunia selama berabad-abad itu haruslah dibatasi. Harus pula diwujudkan sebuah negara yang mampu membatasi keburukan itu, yaitu negara Khilafah Islamiyah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.222)

Jika boleh disimpulkan, maka bisa ditarik satu benang merah bahwa tujuan utama kelompok ini dalam mendakwahkan tegaknya khilafah adalah menyelesaikan masalah umat. Karena bagi mereka, hanya dengan khilafah semata semua permasalahan umat ini bisa selesai. Setelah kaum muslimin berhasil mendirikan khilafah barulah mereka secara bersama-sama berdakwah menegakkan keadilan dan memerangi kedzaliman di muka bumi ini. Dakwah mengajak orang untuk mentauhidkan Allah baru diutamakan setelah tegaknya khilafah.

Tidak ada satupun orang yang menganggap jelek tujuan ini. Bisa dikatakan semua orang akan sepakat dengan tujuan yang indah dan mulia ini. Memperjuangkan kesejahteraan umat merupakan satu tekad yang mulia. Namun…ada yang perlu dijadikan bahan diskusi, benarkah bahwa khilafah adalah satu-satunya solusi bagi permasalahan umat. Sehingga hampir semua masalah umat hanya diberi satu jawaban “SEMUA INI BISA SELESAI HANYA DENGAN KHILAFAH”..?? (lih. Judul Bulettin Al Islam ketika memberikan jawaban atas kasus Gaza dua bulan yang lalu).

Jalan Menuju Kejayaan Umat Hanya Satu

Banyak jalan menuju mekkah. Demikian anggapan sebagian orang. Karena prinsip ini, sebagian orang acuh terhadap berbagai fenomena perselisihan yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Selama niatnya baik dan ada tekad untuk memperjuangkan islam, apapun caranya, semuanya tak jadi masalah. Mari sejenak kita renungkan. Kita meyakini bahwasanya Allah tidaklah menurunkan syariat ini baik yang penting maupun yang paling penting kecuali semuanya merupakan solusi terbaik bagi umat manusia untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka semua yang Dia ajarkan, baik melalui Al Qur’an maupun contoh perbuatan NabiNya merupakan jalan utama untuk menggapai kejayaan umat. Dengan kata lain, siapapun yang mengharapkan kejayaan umat namun dia memilih jalan yang tidak diajarkan oleh Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bisa dipastikan harapannya tidak akan tercapai. Disebutkan dalam hadis Ibn Mas’ud ketika menceritakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membuat satu garis lurus, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan Allah”. Setelah itu, beliau membuat beberapa garis cabang di sebelah kanan dan kiri garis lurus, kemudian beliau bersabda: “Ini ada banyak jalan, pada masing-masing jalan ada setan yang mengajak untuk menuju jalan tersebut.” Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah di surat Al An’am 153, yang artinya: “Inilah jalanku yang lurus, ikutilah. Janganlah kamu mengikuti banyak jalan cabang, karena kalian akan berpecah dari jalanya.” (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Berdasarkan riwayat ini bisa kita tegaskan jalan yang benar menuju kejayaan HANYA SATU.

Antara Al Qur’an, Hadis dan Sejarah

Seringkali orang yang berprinsip khilafah sebagai prioritas utama ketika menjelaskan pentingnya khilafah mereka menunjukkan bukti-bukti sejarah. Terutama sejarah khilafah Utsmaniyah yang runtuh pada abad ke-18 M. Berikut beberapa klaim mereka tentang sejarah kemenangan khilafah:
“Daulah Utsmaniyah, sebagai Negara Khilafah Islamiyah, pernah menjadi negara pertama hampir tiga abad lamanya, tanpa satu pesaing pun untuk kedudukannya hingga pertengahan abad ke-18 M.” (Mafahim Siayasiyah li…hal.34)
“Daulah Utsmaniyah telah membangkitkan kengerian di semua orang Kristen Eropa dan terwujud suatu kebiasaan umum di kalangan Kristen bahwa pasukan Islam itu tidak terkalahkan,” (Mafahim Siayasiyah li…hal.45)
“Ringkasnya, kondisi berbagai negara di dunia yang mengalami perubahan adalah sebagai berikut: Dunia pada masa lampau didominasi oleh Daulah Utsmaniyah, Prusia, Rusia, Austria, Inggris, dan Perancis. Negara-negara inilah yang dahulu mengendalikan berbagai urusan dunia, mengancam perdamaian, dan memutuskan perang.” (Mafahim Siayasiyah li…hal. 71)

Meskipun kutipan di atas diakui belum mewakili keseluruhan, namun penulis menyimpulkan, setelah membaca buku Mafahim Siayasiyah li.. bahwa terkesan mereka lebih menonjolkan bukti-bukti sejarah untuk mendukung prinsip mereka. Jika begitu hebatnya sejarah untuk dijadikan bukti mutlak prioritas khilafah, di manakah porsi Al Qur’an dan As Sunnah? Bukankah prinsip dakwah adalah bagian yang sangat vital dalam islam? Lalu mungkinkah penjelasan Al Qur’an dan Hadis tentang ini kurang mencukupi, sehingga kita harus beralih pada klaim sejarah? Jangan sampai kita bersikap apriori dan menutup mata terhadp kajian Al Qur’an dan Hadis dalam menentukan jawaban. Kita memiliki koridor baku yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan Hadis. Semata klaim sejarah belum cukup. Sebagaimana penjelasan ahli sejarah bahwasanya sejarah belum tentu sesuai fakta. Sejarah bukanlah realita. Klaim sejarah bisa dimanipulasi berdasarkan sudut pandang masing-masing pengamat. Karenanya, kesimpulan sejarah banyak dilatar belakangi dengan berbagai kepentingan. Kita tidak menutup mata atas kebaikan daulah Utsmaniyah yang telah menaklukkan beberapa negeri kafir. Bagi pengamat yang dilatar belakangi obsesi khilafah mengatakan bahwa daulah Utsmaniyah merupakan khilafah islamiyah yang terakhir runtuh. Namun bagi pengamat lainnya khilafah islamiyah al udzma sudah berakhir sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil dari kekhalifahan Abbasiyah. Karena sejak saat itu kekuasaan kaum muslimin sudah terpecah. (lih. Keterangan Syaikh Sholeh Suhaimi di majalah Adz Dzakhiroh edisi 42, 1419 H). Di sisi lain, bagi pengamat orang menganggap daulah Utsmaniyah merupakan bukti sejarah kejayaan umat karena khilafah. Namun bagi pengamat sejarah yang lain berpendapat sebaliknya, daulah Utsmaniyah sama sekali tidak menghukumi kaum muslimin dengan syariat Allah, kecuali dalam kaum muslimin yang tinggal di negeri mereka sendiri, dan itupun hanya sesuai dengan madzhab hanafi. Bahkan daulah Utsmaniyah telah menjadi pelindung bagi bid’ah dan kesyirikan. Lebih dari itu, raja terakhir dari daulah ini, Sultan Abdul Hamid II telah menjadikan Muhammad As Shayadi –pemimpin thariqoh Ar Rifa’iyah- sebagai penasehat utama kerajaan. (lih. Ar Rad ‘Ala Hizb. Karya Abdur Rahman bin Muhammad Sa’id Ad Dimsyaqi, hal. 71 & 72).

Ringkasnya, semata klaim sejarah bukanlah bukti utama untuk menegakkan satu prinsip dakwah. Bahkan klaim sejarah bukanlah bukti untuk menunjukkan realita. Namun bukan berarti kita menolak sejarah seutuhnya. Bahkan jika itu realita, kita terima seutuhnya. Akan tetapi selayaknya kita jadikan Al Qur’an dan Hadis sebagai acuan utama untuk menegakkan prinsip dakwah.

Mari kita pegangi dua prinsip di atas baik-baik, untuk memberikan jawaban yang tepat dan bijak terhadap permasalahan khilafah. Kita tetapkan jalan menuju kejayaan umat islam hanya satu, yaitu jalan yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu, jika meneriakkan prioritas khilafah adalah SESUAI DENGAN KORIDOR Al Qur’an dan Hadis maka mari kita sepakati bahwa Khilafah adalah JALAN SATU yang ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan keselamatan. Sebaliknya, jika memprioritaskan khilafah bukanlah jalan menuju kejayaan umat sebagimana yang DIGARISKAN Al Qur’an dan hadis maka berarti jalur ini termasuk diantara jalan menyimpang yang didiami setan.

Tinjauan Al Qur’an, Hadis dan Realita Sejarah

Penjelasan masalah ini bisa kita temukan dengan gamblang dalam Al Qur’an, Hadis, dan sejarah. Jika diantara kita ada yang merasa sulit untuk diajak menjawab masalah ini dengan Al Qur’an dan Al Hadis berdasarkan metode pemahaman ulama masa silam, mungkin bisa mempelajari REALITA SEJARAH kaum muslimin. Mudah-mudahan itu bisa memberikan jawaban yang menenangkan. Mengingat keterbatasan tempat, berikut hanya akan diberikan jawaban ringkas dan sederhana. Kami berharap semoga Allah menjadikannya bermanfaat.

Pertama, tinjauan dalil Al Qur’an

Tujuan utama Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul, dan Menurunkan kitab-kitabNya
Allah berfirman, yang artinya: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Allah berfirman yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwa tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku. Maka sembahlah Aku!” (QS. Al Anbiya’: 25).
Allah juga berfirman: “Inilah satu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Agar kamu tidak menyembah selain Allah…” (QS. Hud: 1-2).
Ibadah yang dilakukan oleh manusia tidak bisa dinamakan ibadah kepada Allah kecuali dengan meninggalkan pembatal-pembatal ibadah. Diantaranya adalah kesyirikan. Artinya, Ketika beribadah manusia dituntut untuk mentauhidkan Allah. Sebagaimana shalat tidak bisa disebut shalat keculai jika bersih dari pembatal shalat. Oleh karena itu, makna kata ibadah dalam ayat ini adalah adalah tauhid. Karena hakekat ibadah adalah menatuhidkan Allah dalam setiap menjalakan perintah dan larangan.

Khilafah adalah hadiah dari Allah bagi setiap orang yang bertauhid
Allah berfirman yang artinya: “Dan Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi (baca: mewujudkan khilafah) sebagaimana Allah telah memberikan kekuasaan kepada orang-orang sebelum kalian. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Dia ridhoi untuk mereka (Islam), dan Dia sungguh akan mengganti keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman. Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apappun.” (QS. An Nur: 55).

Dalam tafsir Al Jalain dijelaskan bahwa Allah telah mewujudkan janjiNya kepada kaum muslimin (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat) dan Allah memuji mereka dengan firmanNya di akhir ayat di atas: “Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apapun.” Maka ayat ini berstatus sebagai alasan kenapa Allah memberikan kekuasaan kepada mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat).

Oleh karena itu, secara urutan manusia dituntut untuk menegakkan tauhid terlebih dahulu barulah kemudian Allah memberikan hadiah kepada kaum muslimin dengan diwujudkannya kekuasaan (khilafah) bagi mereka. Bukan sebaliknya, khilafah dulu baru semua penyimpangan diselesaikan. Karena sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir di atas bahwa tauhid merupakan syarat mutlak suatu kaum itu mendapatkan khilafah. Dan demikianlah realita yang terjadi pada dakwahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah belasan tahun beliau mengajak umat kepada tauhid barulah Allah memberikan kekuasaan kepada beliau dan para sahabat tepatnya setelah mereka hijrah ke madinah.

Kedua, tinjauan dari dalil hadis

Oleh karena itu, dalam sejarah dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercatat bahwa beliau hanya mengajak umat untuk tunduk dan taat kepada Allah terutama tauhid. Tidak pernah sedikitpun mengajak umat untuk mendirikan daulah islam. Bahkan sebaliknya, beliau menolak semua tawaran orang-orang musyrikin Quraisy untuk menjadi raja Mekkah. Karena tujuan utama beliau bukanlah mencari kekuasaan namun mengajak manusia untuk memurnikan tauhid kepada Allah. Dan demikianlah keadaan dakwah para rasul ‘alaihim as sholatu was salam mereka tidaklah hadir di masyarakatnya untuk memusnahkan daulah yang berkuasa di sana kemudian membangun daulah yang baru. Mereka tidak menuntut untuk dijadikan raja maupun penguasa. Namun mereka datang dengan membawa hidayah bagi umat manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kemusyrikan.

Bahkan beliau sendiri pernah ditawari oleh Rabnya (Allah ta’ala) dan diberi pilihan antara menjadi seorang rasul sekaligus raja ataukah menjadi seorang rasul yang statusnya hanya hamba biasa. Kemudian beliau memilih untuk menjadi rasul yang statusnya hanya hamba biasa. (sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Al Bukhari & Muslim). Andaikan obsesi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menegakkan khilafah di muka bumi ini maka tentu beliau akan memenuhi tawaran orang kafir Quraisy atau bahkan tawaran Allah ta’ala untuk menjadi penguasa jazirah arab baru kemudian mendakwahkan tauhid. Ini menunjukkan bahwa sedikitpun beliau tidak berobsesi untuk menegakkan kekuasaan, namun obsesi beliau hanya satu, yaitu mengajak umat untuk berislam dengan mentauhidkan Allah sepenuhnya.

Ketiga, bukti sejarah bahwa kekuasaan bukanlah jaminan kemenangan

Sekali lagi, kita tidak menolak sejarah. Jika itu realita maka kita terima sepenuhnya. Berikut kami sisipkan beberapa realita sejarah bahwa kekuasaan tidaklah menjamin diterimanya dakwah.
Pertama, kisah raja Romawi yang sezaman dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja Heraklius. Disebutkan dalam shahih Al Bukhari hadis ke-7 di Bab “Bad’ul wahyi” bahwa setelah raja Heraklius menerima surat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia paham betul bahwa beliau adalah Nabi akhir zaman setelah berdialog dengan salah satu orang Quraisy (Abu Sufyan) yang berdagang ke Syam dan membandingkannya dengan apa yang ada di injil. Kemudian Heraklius memerintahkan para pembesar-pembesar Romawi untuk berkumpul di Daskarah (istana yang dikelilingi benteng) yang berada di kota Hims. Setelah semuanya masuk, dia perintahkan untuk menutup semua pintu istana. Kemudian Raja Nasrani ini berpidato: “Wahai masyarakat Romawi, siapa yang ingin mendapatkan kejayaan, kebenaran, dan kerajaan yang kokoh maka hendaknya dia membai’at Nabi ini.” Tiba-tiba para hadirin bubar berlarian seperti keledai liar menuju pintu-pintu istana. Namun ternyata semuanya tertutup. Setelah Heraklius melihat mereka pada berlarian dan dia putus untuk bisa mengajak mereka beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja ini meminta agar mereka berkumpul kembali. Kemudian dia berpidato: “Apa yang aku katakan barusan sesungguhnya hanyalah untuk menguji komitmen kalian terhadap agama kalian (nasrani).” Kemudian para hadirin bersujud pada Heraklius dan mau menerima keputusannya. Dan inilah akhir keadaan Heraklius.

Kedua, kisah raja Najasyi sang penguasa negeri Habasyah. Disebutkan dalam buku-buku siroh nabawiyah bahwa setelah Raja Najasyi mendengar keterangan tentang dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengar bacaan surat Maryam yang disampaikan oleh Ja’far (salah satu sahabat yang berhijrah ke Habasyah), beliau menangis dan masuk Islam. Hanya saja Raja yang adil ini menyembunyikan Islamnya di hadapan para uskup-uskupnya. Oleh karena itu, Allah ta’ala tidak memerintahkan NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Para ahli sejarah menjelaskan analisis hal tersebut disebabkan:
a) Posisi rijaluddin (tokoh agama) nasrani yang cukup kuat dalam pemerintahan. Keadaan ini selanjutnya membuat mereka mampu menghalangi dakwah islam di tengah masyarakat Habasyah
b) Raja Najasyi, meskipun beliau itu raja yang adil dan telah masuk islam, namun beliau tidak mampu menunjukkan secara terang-terangan kepada rakyatnya bahwa beliau telah meninggalkan nasrani. Ini menunjukkan kelemahan hukumnya. Sehingga setinggi apapun posisinya tidak mampu mengubah Habasyah menjadi daulah islamiyah. (lih. Siroh Nabawiyah jilid I, Mediu)

Demikianlah pelajaran berharga dari keadaan dua raja tersebut. Kekuasaannya tidak mampu menampakkan aqidahnya. Berbeda dengan Fir’aun. Sebab utama dia mampu menguasai kaumnya disebutkan oleh Allah dalam firmannya, yang artinya: “dia menakut-nakuti kaumnya, sehingga mereka mentaati Fir’aun..” (QS. Zukhruf: 54). Disebutkan dalam tafsir Jalalain bahwasanya Fir’aun menginginkan agar rakyatnya mendustakan Musa dengan menakut-nakuti mereka. Kemudian mereka-pun taat kepada Fir’aun. Mari kita bandingkan antara dua kasus di atas. Raja Najasyi dan Kaisar Romawi tidak mampu memaksakan aqidahnya karena sebelumnya dia tidak menyiapkan keadaan hati rakyatnya untuk menerima islam. Berbeda dengan Fir’aun, dia berhasil menguasai rakyatnya dan memaksa mereka untuk mewujudkan keinginannya setelah sebelumnya dia menyiapkan keadaan hati rakyatnya agar meyakini bahwa tujuan Musa adalah mengusir kalian dari Mesir.

Bisakah kita bayangkan, ketika Allah mewujudkan khilafah bagi kaum muslimin, sementara kebanyakan mereka tidak paham syariat islam. Mungkinkah mereka akan menerima aturan syariat yang ditetapkan oleh khilafah? Mungkin bisa kita pastikan; yang ada hanyalah kudeta. Bisa jadi ketika khalifah ingin menghilangkan kesyirikan, kemaksiatan, dan kebid’ahan, namun justru para pemuja kesyirikan, bid’ah dan maksiat akan melawan. Dengan kekuatan apa khilafah akan memaksa, sementara kelompok mereka (pemuja syirik, bid’ah dan maksiat) jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang memahami syariat. Atau… mungkin dengan alternatif yang kedua. Sistem Khilafah membiarkan sepenuhnya setiap kegiatan keagamaan rakyatnya meskipun itu sarat dengan syirik, khurafat, dan bid’ah. Karena yang penting rakyat bisa tenang, sehingga bersama-sama rakyat bisa menggulingkan kekuasaan hegemoni orang yahudi & nasrani. Membiarkan rakyatnya bergelimang dengan kesyirikan selama hukum hudud (seperti potong tangan, qisos, cambuk, dst.) ditegakkan? Demikiankah sistem khilafah yang diinginkan? Dengan tegas kita katakan: “Sistem ini bukan sistem khilafah islam!!!” ini sistem khilafah syirkiyah bukan islamiyah. Belum lagi ketika khilafah ini berdiri, sementara banyak masyarakat masih ambisi untuk meraih jabatan… apa yang terjadi? Tidak lain adalah perebutan kekuasaan.. dari mana kaum muslimin bisa bersatu.

Lalu mana yang lebih penting… berdakwah mengajak umat untuk membenahi agama mereka dengan menyempurnakan tauhid mereka masing-masing, ataukah… mengajak semua elemen untuk menegakkan khilafah tanpa peduli bagaimana aqidah mereka? Jika tujuannya untuk memahamkan rakyat dengan syariat maka harusnya yang pertama kali dilakukan adalah mendahulukan mengajarkan syariat islam sebelum mengajarkan fiqih politik. Kita mengkhawatirkan, jangan-jangan obsesi menggalang umat untuk mewujudkan khilafah ini hanyalah akan menjadi angan-angan belaka yang tidak mungkin terwujudkan selama kita membiarkan umat islam masih bergelimang dengan syirik, bid’ah dan maksiat. Mari kita renungkan perkataan para ulama:
“Siapa yang menginginkan sesuatu sebelum waktunya maka dia dihukum dengan tidak mendapatkannya”

Bahaya Sikap Lebih Mengutamakan Penegakan Khilafah Di Atas Lainnya

Ada beberapa konsekwensi negatif ketika seseorang itu berlebih-lebihan terhadap khilafah. Diantaranya:

  1. Menganggap semua oknum yang tidak memiliki andil dalam penegakan khilafah sebagai orang sesat. Jika dia mati maka mati dalam keadaan membawa aqidah jahiliyah. Atau dengan bahasa yang lebih kasar, mati kafir. Diantara dalil yang digunakan untuk menguatkan anggapan ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang berpisah dari jama’ah (mereka maknai dengan khilafah) maka dia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyah.” (HR. Al Bukhari). Karenanya siapa saja yang tidak mau gabung dengan khilafah, atau tidak ikut andil dalam menegakkan khilafah (karena khilafah belum berdiri) maka dia mati seperti matinya orang jahiliyah. Yang benar, hadis ini sama sekali tidak menunjukkan makna di atas. Karena yang dimaksud keluar dari jamaah adalah memberontak kepala negara kaum muslimin yang sah. Sedangkan yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati dalam keadaan bermaksiat bukan mati kafir. (lih. Fathul Bari 20/58).
  2. Meremehkan dosa besar atau bahkan kekafiran. Setelah Khumaini berhasil memberangus rezim Reza Pahlevi, datanglah beberapa utusan dari kelompok yang gemar memprioritaskan khilafah untuk menemui Khumaini dan menawarkan penegakan khilafah kepadanya. (lih. Majalah Al Khilafah At Tahririyah, edisi 18 bulan Agustus 1989). Disamping itu, kelompok ini juga sempat memuji tulisan Al Khumaini yang berjudul Al Hukumah Al Islamiyah, dimana pada tulisan ini ditegaskan Khumaini bahwa Imam (Khalafah) itu lebih utama dibandingkan malaikat atau para nabi. (lih. Majalah Al Wa’i At Tahririyah edisi 26, tahun ke-3 Dzul Qo’dah 1409). Padahal para ulama telah menyatakan kafirnya orang yang beranggapan: “para imam lebih utama dibandingkan para nabi.” (lih. Pernyataan Syaikhul Islam dan beberapa ulama lainnya sebagaimana disebutkan oleh Ibn Hajar Al Haitami dalam Al I’lam bi Qowathi’il Islam).
    Ditambah lagi keadaan orang-orang syi’ah yang mencela para sahabat, menghina para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengkultuskan ahli bait, menyimpangkan Al Qur’an dan beberapa penyelewengan syi’ah yang keterlaluan lainnya, bagi kelompok khilafah itu bukan masalah besar. Itu masalah kecil dalam pandangan mereka jika dibandingkan dengan masalah penegakan khilafah. Bukankah ini berarti merelakan untuk mengorbankan aqidah yang benar demi tegak dan kembalinya khilafah.
  3. Menganggap ajaran agama terbagi dua; bagian inti dan kulit. Kenyataan lain ketika terlalu ambisi terhadap khilafah. Mereka menggolongkan ke dalam dua golongan. Bagian inti dan kulit. Setiap masalah penting bagi mereka digolongkan sebagai inti agama, sementara masalah yang kurang penting bagi mereka digolongkan bagian kulit, meskipun hakikatnya itu dosa besar. Akibatnya, ketika diingatkan bahaya bid’ah, atau ancaman untuk orang-orang yang celananya menyelisihi syariat, atau masalah wanita terjun ke jalan, mereka menganggap itu masalah kurang penting. Karena lebih penting menjaga perasaan masyarakat agar mau menerima dakwah mereka ketimbang mengingatkan mereka yang justru membuat mereka lari.
  4. Munculnya obsesi kekuasaan sehingga tega untuk mencela ulama. Setelah mereka terkesima dengan sejarah khilafah daulah Utsmaniyah, mereka merasa terpukul berat dengan runtuhnya daulah ini. Sehingga tidak heran, ada sebagian di antara mereka yang memperingati tanggal mulai runtuhnya daulah Utsmaniyah dalam rangka mengenang sejarah berakhirnya khilafah bagi mereka. Sayangnya, kesedihan ini membuahkan satu sikap yang kurang tepat. Setelah meruntut sekian penyebab runtuhnya daulah Utsmaniyah mereka berkesimpulan bahwa salah sebab runtuhnya daulah ini adalah dakwah tauhid yang digencarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang bekerja sama dengan inggris. Abdul Qodim Zalum mengatakan: “Sesungguhnya tentara inggris telah membantu mereka (dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) dengan senjata dan harta untuk membangun asaa madzhab, mereka menginginkan untuk menguasai Karbala dan kuburan Al Hasan. Dan ketika kota Madinah sudah jatuh ke tangan mereka, merera hendak merobohkan kubah besar yang menaungi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam… dan masalah ini telah banyak diketahui, bahwa penyebab semua ini adalah Wahabiyah, anteknya inggris.” (lih. Kaifa Hudimat Al Khilafah hal. 10-12 karya Abdul Qodim Zalum, cet. 1962).

Perkataan Salah Satu Tokoh Pergerakan

Berikut perkataan salah satu tokoh da’i pergerakan, yang kebanyakan pengikutnya mendambakan tegaknya khilafah. Dalam kesempatan kajian di Darul Hadis di Mekkah, beliau juga pernah ditanya:
Isi pertanyaan: Sebagian mengatakan bahwa islam akan kembali jaya dengan hakimiyah (khilafah), sebagian yang lain mengatakan islam akan kembali jaya melalui jalur pelurusan aqidah dan tarbiyah jamaah. Manakah yang benar?
Beliau menjawab: “Dari manakah datangnya kekuasaan (khilafah) agama ini di muka bumi jika tidak ada da’i-da’i yang mengajak untuk meluruskan aqidah dan beriman dengan iman yang benar. Kemudian mereka diuji dalam beragama dan mereka bersabar, mereka juga berjihad di jalan Allah. Kemudian hukum agama Allah akan ditegakkan di bumi. Satu permasalahan yang sangat jelas sekali. Hakim (Khalifah) tidaklah datang dari langit, tidak pula turun dari langit. Segala sesuatu datang dari langit namun dengan usaha keras manusia. Allah tetapkan hal ini untuk manusia. Allah berfirman yang artinya: “Andaikan Allah menghendaki Allah akan menolong kalian dari (kejahatan) mereka (orang kafir). Namun Allah menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain..” (QS. Muhammad: 4). Maka wajib kita awali dengan meluruskan aqidah dan mendidik generasi dengan aqidah yang benar. Generasi yang akan diuji kemudian mereka mampu bersabar atas ujian, sebagaimana bersabarnya generasi yang pertama.” (Dikutip dari kitab: Minhaj Al Firqoh An Najiyah karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).

Terakhir kami akhiri tulisan ini dengan kutipan pidato salah satu da’i pergerakan internasional. Perkataan ini kami letakkan di akhir tulisan ini dengan harapan bisa menjadi kesimpulan bagi pembahasan di atas. Kami hanya bisa mengharapkan, andaikan pengikut beliau menuruti apa yang beliau sampaikan.

“Tegakkanlah daulah islam di hati kalian masing-masing, niscaya daulah ini akan tegak di bumi kalian”

28 comments

  1. Kami setuju dengan apa yang anda katakan tauhid dahulu baru khilafah Para pengajur Khilafah juga akan berkata begitu. Saya bisa pastikan sebab saya adalah bagian dari mereka. InsyaAllah kita ada dijalan yang sama. Khilafah adalah konsekuensi dari ketauhidan. Artinya siapapun yang mengaku bertauhid harus ikut menegakkan Khilafah dibarisan terdepan. OK?

  2. Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh…

    Subahanalloh walhamdulillah walaailaaha Illallohu Allohu Akbar!!!!

    Jazakillah khoir atas sharex yg sangat memukau dan membuka inspirasi untuk mempertajam mata dakwah…!!!

    Semoga hal ini bisa menjadi petimbangan tw tolok ukur dari sudut pandang da’i/ah yang berbeda alurnya… mohon azain artikelnya ana coppas yach…

  3. Saya lebih berpendapat bhw khilafah lebih penting di tegakkan utk ‘Memaksa‘ umat islam utk taat syariah serta mendakwahkan islam kpd non muslim. sekarang ini, rasa malu berbuat maksiat sudah tdk ada lagi. hal tsb hanya bs diluruskan dgn penegakan syariah.

  4. Mas, penegakkan syariah itu dimulai dulu dari tauhid. Bagaimana bisa kita menegakkan khilafah klo org2nya bnyk diisi dengan org2 yg tidak tahu tauhid??? Mau jadi apa khilafahnya???

    Ingatlah 3 tingkatan iman, membenarkan dengan hati (percaya), mengikrarkan dengan lisan (syahadat) dan mengamalkan dengan anggota tubuh (ibadah)

  5. pertama: ana ucapin terimakasih dan jazaakumullahu annaa khairan buat seluruh kru buletin ini yang telah menjadi corong dakwahnya ahlussunnah wal jamaah..
    kedua: sedikit komentar dari ana buat ikhwah yang semangat untuk menegakkan syariat islam..
    ya ikhwah yang budiman, islam disyariatkan oleh Allah ta’ala bukan untuk memaksa seseorang atau menumpahkan darah manusia.. bukan! tapi islam disyariatkan dan rasul diutus untuk mewujudkan ubudiyah kepada Allah.. dan tauhid merupakan rukun awal dari rukun-rukun islam. dengan artian, jikalau tauhidnya sudah benar dan kokoh.. yang lainnya akan mudah untuk ditegakkan..
    dan sirah rasullullah shallahu alaihi wa sallam, adalah contoh yang paling ideal buat kita jadikan teladan dalam berdakwah..
    wallahu a’lam bishshawaab

  6. tauhid dan khilafah adalah bagian dari syariat islam yg sama sama wajib untuk diamalkan,orang yg bertauhid haruslah orang yg terdepan menegakkan khilafah,begitupun orang menegakkan khilafah wajib bertauhid,kita semua wajib mengamalkan islam secara kaaffah,jangan memilih milih

  7. عَسَى اَنْ َتكْرَهُوْا شَيْئًاوَهوُ َخَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ

    “boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

  8. Assalamu’alaikum..
    Saya mohon izin mengambil artikelnya untuk di share ke facebook dan posting di blog.. Saya sangat suka dengan artikel ini, saya setuju bahwa memang ajaran tauhid lah yang pertama harus ditegakkan.. Jangan pernah bilang bahwa kemaksiatan itu hanya bisa dihilangkan dengan Khilafah, justru yang harus kita kuatirkan adalah akan banyak terjadinya “Pemaksaan akidah” dan pertumpahan darah setelah Khilafah berdiri, sementara tauhid dan akidah masih compang-camping.. Menyadarkan seorang musyrik ataupun pelaku maksiat bisa kok dengan jalan Dakwah yang santun.. Justru kebanyakan orang kembali pada syariat islam melalui cara dakwah yang santun seperti yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.. Bagi orang yang membenci Amerika dan Sekutunya, bisa dimulai dengan mematikan televisi dan musik pada kebiasaan masing-masing.. Jangan sampai kita menyerukan Khilafah namun akidah kita sendiri belum benar.. Ibaratnya bangunan akan runtuh bila pondasinya rapuh, di sinilah ajaran tauhid sebagai pondasi yang kokoh bagi tegaknya khilafah.. Saya sangat bersyukur telah membaca artikel di atas.. Syukran, Jazakallahu kharan katsiran..

  9. Benar bahwa dakwah dimulai dari Aqidah, dan itu yg yg menjadi pembahasan pertama bagi para kader yg memperjuangkan diterapkannya Islam secara menyeluruh..

  10. Kerusakan dan fitnah ini akan terus berkembang dan tak berkesudahan kecuali dengan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah yang mampu mengaplikasikan Syariah Islam secara sempurna sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat As Syuro : 13 : “Dan Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada kamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama dan jangnanlah kamu berpecah belah tentangnya….”

  11. #Syafiyah : Penegakkan agama tidak hanya melalui khilafah. Bahkan menegakkan tauhid, shalat berjama’ah, amar ma’ruf nahi munkar, mentaati pemerintah Islam yg sah selama bukan dalam perintah maksiat juga bagian dari menegakkan agama. Kami juga ingin khilafah tegak, tapi adalah sebuah kesalahan memprioritaskan khilafah ketimbang tauhid dalam berdakwah. Apakah syari’at Islam hanya sebatas penegakkan hukum had saja? Dakwah tauhid bukan syari’at Islam?

  12. assalamu’alaikum…jazakumullah atas kontribusinya semoga kita semua menjadi hamba Allah yang senantiasa berjuang dijalanNYA>>>

  13. Apa yg anda jelaskan bisa menjadi inspirasi bagi saya. lebih baik kita satukan hati utk perbaiki dlu akidah kita apa sudah benar2 tauhid. bnyk org ngaku tauhid tpi jga dtg ke makam keramat, ngalap berkah. tus ibadah hny utk keduniawian, apa itu tauhid. baru stelah itu semua kita satukan hati ttg persoalan ini(khilafah)

  14. jika kalian sudah membaca artikel diatas dengan pelan dan menyeluruh niscaya kalian akan memahami mengapa mendakwahkan akidah dan tauhid itu lebih penting dibandingkan langsung memaksakan tegaknya khilafah. pikir pake otak dan analisa dalam memahami hadis nabi sehingga kalian yg memaksakan ingin tegaknya khilafah tidak salah dalam memahami hadis.

  15. Ya Tauhid dahulu
    Dan diikuti khalifah.
    Mewujudkan tauhid dapat dilakukan diperingakat individu, manaka individu bertauhid mewujudkan khilafah.
    Nasib manusia diakhirat terletak pada tauhid atau syirik. Jika mati syirik pasti rugi. Jika mati bertauhid pasti berjaya, walaupun dia tak sempat mendirikan khalifah.

    Ini zaman fitnah. Bukan saja sukar mewujudkan khalifah, malah mewujudkan tauhid diperingkat individu pun sukar. Umpama pegang bara api. Kerana thoghut yang menguasai dunia, menyulitkan individu bertahid, malah memaksa syirik, iaitu syirik hukum.

    Syirik hukum?
    Ramai yang terperangkap dgn syirik ini. Dan ramai yang sudah tidak faham maksud syirik.

    Maka marilah kita fahami tauhid dan bertauhid. Marilah kita fahami syirik, dan menjauhi syirik.
    Kemudian dalam masa yang sama kira fahami khalifah dan berusaha menegakannya.

    Wallahua’alam.

  16. DAKWAH POLITIK BERTENTANGAN DENGAN DAKWAH TAUHID?

    Ada yang mengatakan bahwa dakwah politik itu bertentangan dengan dakwah para nabi dan dakwah Rasulullah saw. Sebab, dakwah Rasulullah saw. adalah dakwah tauhid. Bukan dakwah politik.

    Komentar:

    Ada yang mencoba mempertentangkan, bahwa dakwah politik (untuk menerapkan hukum Islam secara total) adalah bertentangan dengan dakwah tauhid, sebagaimana yang diemban oleh para nabi. Pemahaman tersebut adalah pemahaman yang salah dan tidak pada tempatnya. Atau bisa jadi, alur berpikirnya tidak bisa menyambungkan di antara keduanya (dakwah politik dengan dakwah tauhid). Ungkapan ‘dengan menggapai kekuasaan, maka Islam akan bisa diterapkan secara total dan membawa kebaikan pada umat manusia’ adalah ungkapan yang benar. Ungkapan tersebut bukanlah ungkapan yang salah. Ungkapan tersebut tidak bertentangan dengan ungkapan seperti ‘Kalimah tauhid wajib ditegakkan’. Sebab, hakikatnya kalimat tauhid (laa ilaaha illallah) akan bisa berdiri tegak jika ditopang oleh kekuatan-kekuatan politik. Kalimat tauhid (kalimah at-tauhid) tidak akan bisa tegak jika tidak ada kekuatan politik yang menopangnya. Kalimat tauhid, tidak lain adalah Islam itu sendiri. Jadi, tegaknya Islam hanya bisa ditopang dengan kekuatan negara (kekuatan politik). Tanpa adanya kekuatan politik, Islam hanya akan bisa diterapkan secara setengah-setengah. Misalnya akidah dan ibadahnya saja. Sedangkan dalam penegakan hukum syariat, tidak bisa diterapkan.

    Sebagai contoh, di lingkungan kita telah diterapkan sistem kapitalis di segala bidang. Riba tidak dilarang, membuka aurat dibiarkan, khamr merajalela, perzinaan dimana-mana, dan sebagainya. Jika kita hanya mengingatkan kepada para pelaku maksiyat itu dan mengatakan ini haram, itu juga haram, maka tidak akan menyelesaikan masalah. Semua itu akan tetap berlangsung. Tapi jika semua itu dilarang oleh negara, dan negara mewajibkan diterapkannya hukum Islam, maka berbagai kemaksiyatan itu tidak akan diberi tempat lagi. Dengan demikian kehidupan Islam akan bisa dilangsungkan. Tidak ada penyimpangan akidah, justru akidah akan dijauhkan dari berbagai pemahaman kufur. Riba dilarang. Zina dilarang. Khamr dilarang. Diskotik dilarang. Korupsi diberantas. Wanita akan lebih terhormat. Berbagai kezaliman akan ditumpas. Demikianlah, betapa pentingnya Islam diterapkan dalam konteks politik, yaitu dengan mengembalikan Daulah Khilafah Islamiyah. Inilah yang dimaksudkan dari perjuangan Hizbut Tahrir ingin mengembalikan kehidupan Islam. Berkaitan dengan proses menuju ke sana dan belum siapnya masyarakat menerima Islam dalam konteks politik, itu masalah lain. Jadi, tidak bertentangan antara dakwah tauhid dengan dakwah untuk tegaknya institusi politik Islam (khilafah Islam). Mempertentangkan di antara keduanya, jelas sikap yang salah dan ketahuan kalau alur berpikirnya terlalu pendek.

    Bicara soal tauhid adalah bicara soal akidah. Kita semua tahu, bahwa akidahlah yang menuntut kita menerapkan hukum syariah. Akidah pulalah yang menuntut kita mengusahakan agar hukum-hukum syariah bisa terlaksana, jika hukum itu belum diterapkan. Ibarat sebuah rumah, akidah adalah pondasinya, syariah adalah bangunan di atasnya. Sehingga akidah dan syariah tidak bisa dipisahkan. Apakah Anda mau memiliki rumah tapi cukup pondasinya saja, tanpa atap, lantai, tembok, pintu, jendela, dan tiang? Jika atap, lantai, tembok, pintu, jendela, dan tiang tidak diusahakan untuk ada, bagaimana bisa kita memiliki rumah yang baik? Jika yang didakwahkan hanya akidah saja, tanpa memiliki konsekuensi membangun syariah, itu sama artinya dengan membangun pondasi rumah saja. Bagaimana bisa disebut rumah, jika yang dibangun cuma pondasinya? Bagaimana orang-orang akan berlindung (dari angin, panas, hujan, dan binatang buas), jika yang ada hanya pondasinya saja? Pantas saja banyak orang-orang yang tidak terlindungi dari panas, hujan, angin, badai, binatang buas, dan sebagainya, lha wong yang ada cuma pondasinya saja. Atap tidak dibangun, tembok tidak ada, lantai juga entah kemana, jendela dan tiang juga tidak dibangun. Yang ada hanya pondasinya saja. Lalu mau berlindung pakai apa?

    Ini sama halnya dengan kaum muslimin. Pantas saja kaum muslimin dizalimi di mana-mana. Di Palestina, Uzbekistan, Afganistan, Iraq, dan di negeri kaum muslim lainnya, umat Islam dizalimi. Di dalam negeri (Indonesia), umat Islam juga tidak bisa berlindung dari kemiskinan, korupsi, kesesatan, liberalisme, kerusakan moral dan pemikiran. Ini karena umat Islam tidak memiliki atap, tembok, lantai, tiang, jendela, dan pintu. Sebab yang dibuatkan hanya pondasinya saja. Tidak heran, jika dakwah yang mengarahkan pada akidah SAJA, (bisa jadi) adalah dakwah yang tidak solutif. Artinya, dakwah yang tidak bisa memberikan solusi. Oleh karena itu, dakwah yang baik adalah yang tidak memisahkan antara akidah dan syariah. Jika akidahnya sudah disentuh (terbangun), tinggal membangun syariahnya.

    Wallahu a’lam

  17. Alhamdulillah..
    Jazakallohu khoiron atas sharing ilmunya.

    Saya izin copas ya..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *