Mencintai Sahabat dan Mengikuti Pemahaman Mereka

Mereka adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dihiasi dengan kemuliaan dan keutamaan. Tak layak kita mencela, sebab Nabi sangat memuliakan mereka. Diantara sabda Nabi sebagai bentuk pemuliaan kepada para sahabatnya (radhiyallahu anhum jami’an) adalah : Teruntuk Abu Bakar, Umar, dan Utsman, “Tenanglah wahai Uhud, karena sesungguhnya di atasmu ini ada seorang Nabi, seorang Ash-shiddiq dan dua orang Syahid” (HR. Bukhari) Teruntuk Ali bin Abi Thalib, “Tidakkah kamu rela kalau posisimu dariku seperti posisi Nabi Harun bagi Nabi Musa?” (HR. Bukhari) Teruntuk Zubair bin Awwam, “Sesungguhnya setiap nabi itu mempunyai hawari (pengawal setia), dan sesungguhnya pengawal setiaku adalah Zubair bin Awwam” (HR. Bukhari) Teruntuk Fathimah, “Fathimah ini adalah penghulu kaum wanita di surga” (HR. Bukhari) Teruntuk Hasan dan Husain, “Ya Allah, cintailah mereka berdua karena sesungguhnya aku mencintai mereka berdua” (HR. Bukhari) Teruntuk Ja’far bin Abi Thalib, “Kamu benar-benar sangat mirip dengan fisikku dan perangaiku” (HR. Bukhari) Teruntuk Aisyah, “Keutamaan Aisyah atas segenap kaum wanita adalah bagaikan ats-tsarib (makanan paling baik di kala itu -pen) dibandingkan seluruh makanan lainnya” (HR. Bukhari) Teruntuk Bilal bin Rabah, “Aku telah mendengar suara sandalmu di hadapanku di surga” (HR. Bukhari) Teruntuk Abdullah bin Umar, “Sesungguhnya Abdullah ini adalah seorang lelaki yang shalih” (HR. Bukhari) Teruntuk Sa’ad bin Muadz, “Arsy bergoncang karena wafatnya Sa’ad bin Mu’adz” (HR. Bukhari) Teruntuk Khalid bin Walid, “Adalah salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Bukhari) Teruntuk, Abu Ubaidah, “Setiap ummat memiliki seorang kepercayaan, dan sesungguhnya orang kepercayaan kita wahai ummat Islam adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah” (HR. Bukhari) Sungguh masih teramat banyak bentuk pemuliaan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Kita sebagai ummatnya juga harus meneladani beliau dalam hal memuliakan dan mencintai para sahabat dan menjalankan konsekuensinya. Semoga Allah meridhoi mereka semua.

Allah ridho terhadap sahabat

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah : 100)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menuturkan, “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia ridha kepada orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang yang mengikuti mereka dengan baik. Alangkah celakanya orang-orang yang membenci dan mencela para sahabat” (Tafsir Ibnu Katsir)

Nabi melarang mencela para sahabatnya

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela sahabatku, seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, tidak akan bisa menyamai satu mud (seukuran cakupan dua telapak tangan normal -pen) sedekah mereka, bahkan tidak pula setengahnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sahabat tidak boleh dicela, karena mereka adalah generasi terbaik ummat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’ut tabi’in)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena mereka adalah generasi terbaik, kita harus menjadikan mereka sebagai standar dalam beragama. Syaikh Abdul Malik Ramdhani mengatakan, “Hadits tersebut menegaskan bahwa masa (kurun waktu) yang dijadikan standar dalam memahami nash atau dalil adalah masa tiga generasi terbaik. Tidak boleh seorangpun menyelisihi mereka dengan mengada-adakan pemahaman yang baru, yang tidak dipahami oleh mereka.” (Sittu Duror Min Ushuli Ahli Atsar)

Kenapa beragama harus sesuai dengan pemahaman para sahabat?

Syaikh Abdullah bin Shalih Al ‘Ubailan menegaskan, “Sesungguhnya para salaf (sahabat) adalah orang yang paling cendekia akalnya, paling bagus pemahamannya, paling cemerlang pemikirannya, paling detail pemahamannya.” (Al Ishbaah fii Bayani Manhajis Salafi fiit Tarbiyati wal Ishlah)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menerangkan, “Siapa saja diantara kalian yang ingin mengikuti sunnah, maka ambillah dari orang yang telah wafat, karena orang yang masih hidup tidak akan selamat dari kesesatan. Orang-orang yang telah wafat ini adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah generasi terbaik ummat ini, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit memaksakan diri. Mereka adalah kaum yang telah dipilih Allah Ta’ala untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menegakkan agama-Nya. Karena itu, pahami keutamaan dan kemuliaan mereka, ikutilah jejak mereka, dan berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian. Sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhlihi)

Mengikuti sahabat di atas jalan yang lurus

Setelah menyimak keterangan di atas, tersimpulkan bahwa dalam memahami agama haruslah sesuai dengan pemahaman para sahabat dan orang-orang terdahulu yang istiqomah mengikutinya, yang kemudian selanjutnya terminologi pemahaman ini digeneralkan dengan istilah : Pemahaman Salafus Shalih.

Allah Ta’ala menjamin akan memberikan petunjuk di atas jalan yang lurus bagi para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy Syura : 52)

Tatkala membahas ayat ini, Syaikh Abdullah Al ‘Ubailan mengatakan, “Akan tetapi sayang, ummat Islam berpaling dari jalan yang lurus menjadi berkelompok-kelompok. Ini karena mereka telah melalaikan rukun yang berfungsi sebagai pendukung untuk memahami (dua rukun agama) yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Rukun yang ketiga tersebut adalah : Pemahaman Para Salafus Shalih terhadap Al Qur’an dan As Sunnah” (Al Ishbah fii Bayani Manhajis Salafi fiit Tarbiyati wal Ishlah)

Dalam surat Al Fatihah, telah dijabarkan siapakah orang yang berada di atas jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Yaitu orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka” (QS Al Fatihah : 7)

Ibnul Qayyim menjelaskan, “Tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang Allah ridhai, yang paling pantas mendapat anugerah ini dibanding rafidhah (Syi’ah dan para pencela sahabat). Karena itu, para ulama salaf menafsirkan shiratal mustaqim dengan Abu Bakar, Umar, serta sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Madaarijus Saalikin)

Beda standar dalam memahami agama, bisa tersesat

Kita bisa perhatikan, hampir semua aliran menyimpang terjerumus dalam kesesatan karena tidak memahami agama sesuai dengan pemahaman salafus shalih.

Sebagian aliran menyimpang keliru dalam memahami ayat (yang artinya), “Muhammad bukanlah bapak dari kalian, namun beliau adalah Rasulullah dan khatam para nabi” (QS. Al Ahzab : 40)

Menurut mereka, khatam di sini artinya cincin, sehingga status Rasulullah adalah perhiasan bagi para nabi dan masih terbuka peluang akan munculnya nabi berikutnya. Inilah sebabnya ahmadiyah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Berbeda dengan pemahaman salafus shalih yang meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai khatam (penutup) para nabi.

Sebagian aliran menyimpang keliru dalam memahami ayat (yang artinya), “Pada hari dimana semua manusia dipanggil bersama imam mereka” (QS An Nisa : 24)

Menurut mereka setiap manusia harus punya imam. Dan orang yang paling berhak menjadi imam adalah para pemuka aliran mereka. Padahal makna imam dalam ayat tersebut adalah kitab catatan amal. Sebagaimana ditunjukkan pada lanjutan ayat dan juga firman Allah dalam surat Yasin ayat 12.

Sebagian aliran sesat yang rajin melakukan bom bunuh diri, untuk membenarkan aksi terornya, mereka juga berdalil dengan firman Allah, akan tetapi sebenarnya mereka keliru memahaminya. Mereka keliru dalam memahami ayat (yang artinya), “Perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah (kekufuran), dan semua agama hanya menjadi milik Allah” (QS. Al Anfal : 39)

Mereka beranggapan, semua elemen pemerintah yang tidak menggunakan hukum Allah maka mereka semua dianggap kafir dan halal darahnya. Oleh sebab itu, mereka tega membantai umat Islam atas nama Jihad. (disadur dari salah satu artikel konsultasisyariah.com)

Oleh karenanya, agar kita semua selamat dan tidak tersesat, kita harus mencintai sahabat dan mengikuti pemahaman para sahabat dalam beragama.

Referensi : Sittu Duror Min Ushuli Ahli Atsar Al Ishbah fii Bayani Manhajis Salafi fiit Tarbiyati wal Ishlah www.konsultasisyariah.com Penulis : Erlan Iskandar, S.T. (Alumni Ma’had Al Ilmi Yogyakarta) Muroja’ah : Ustadz Aris Munandar, M.PI

6 comments

  1. Kalau sama sahabat ya kita memang harus saling mencintai… karena udah lebih deket daripada temen. Semoga kita bisa bersama-sama dengan sahabat kita terus dalam berbuat kebaikan

  2. Subhanallah, semoga kita bisa meneladani para Sahabat sehingga keislaman kita tetap terjaga dengan baik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *