Islam Tidak Mungkin Dijalani dengan Cara Liberal

Buletin At-Tauhid edisi 42 Tahun ke X
Pembaca mulia, akhir-akhir ini umat Islam diresahkan dengan munculnya tokoh-tokoh yang mengusung pemikiran liberal dalam beragama. Mereka mengklaim membawa pemahaman dan tafsir baru terhadap Islam, dengan penafsiran yang lebih segar dan kontekstual –menurutnya-. Mereka selalu mengedepanan akal dan logika untuk mengklaim benarnya argumentasi mereka. Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap akal? Apakah Islam melarang pemeluknya menggunakan akalnya?

Dalam Al Qur’an, Manusia Diminta untuk Berpikir

Kalau kita perhatikan dalam Al Qur’an, kita dapati bahwa metode
Al Qur’an untuk mengajak kaumnya yang kafir agar bertauhid kepada Allah Ta’ala, yang pertama-tama adalah dengan mengajak mereka berlogika dengan akal sehatnya. Contohnya, sebagaimana yang tercantum dalam ayat berikut ini (yang artinya), “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun (yakni secara tiba-tiba) ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka yang telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabb-mu atau mereka pula yang berkuasa?” (QS. At Thur : 35-37)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memerintah kita sebagai manusia agar bisa menggunakan akalnya dengan benar, bahwa alam semesta tidak mungkin ada dengan sendirinya, jadi pasti ada yang menciptakannya.

Akan tetapi, di antara hikmah Allah Ta’ala, Ia tidaklah membebani manusia agar mengetahui semua ilmu di alam semesta ini. Bahkan, hikmah-hikmah yang terdapat dalam Al Qur’an pun, tidaklah dibebankan kepada manusia agar mengetahui semuanya. Akan tetapi, Allah hanya menuntut manusia minimalnya agar menyadari logika paling dasar, yaitu bahwa keteraturan di alam semesta ini tidak mungkin bisa berjalan sendiri, pasti ada penciptanya, yaitu Allah. Setelah manusia menyadari dan memahami logika dasar tersebut, barulah manusia diajak berpikir logis bawah konsekuensi dari hal tersebut adalah manusia harus menyembah Sang Pencipta-nya, dan mengikuti apa yang diperintah-Nya.

Inilah hikmah besar dari Allah Ta’ala. Dengan ini, kita bisa memahami bahwa Islam bukanlah agama eksklusif. Islam bukanlah agama yang hanya bisa diterima dan dipahami oleh orang yang memiliki kepandaian ataupun kecerdasan jenius. Islam adalah agama bagi semua jenis manusia, termasuk bagi mereka yang kurang memiliki akses pendidikan yang layak, maupun mereka yang tidak memiliki kecerdasan sebagaimana yang dimiliki orang-orang jenius, asal masih bisa berpikir dengan logika dasar dan tidak sampai pada tingkat scizhophrenia (baca : gila). Karena ketika seseorang sudah sampai pada tingkat tidak bisa berpikir dengan benar alias gila, Islam justru tidak memberikan beban syariat pada orang tersebut (tidak wajib puasa, zakat, haji, dan seterusnya).

Belajar Harus Terus, Akal Jangan Dipuja

Islam adalah agama yang dipahami hanya dengan belajar. Tidaklah mungkin hukum-hukum Islam diketahui dengan sendirinya, kecuali dengan belajar. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam memotivasi kita dalam sabdanya, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan tunjukkan baginya salah satu jalan dari jalan-jalan menuju ke surga” (HR. Abu Dawud).

Belajar atau menuntut ilmu, tentunya pasti menggunakan akal. Akan tetapi, akal manusia terbatas, tidak mampu menjangkau semua ilmu Allah yang sangat luas. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memberikan batasan-batasan bagi manusia dalam menggunakan akalnya. Tidak semua yang dianggap baik menurut akal manusia, adalah baik dalam hakikatnya. Demikian pula, tidak semua yang dianggap buruk oleh akal manusia, adalah buruk dalam hakikatnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)

Oleh karena itu, merupakan kesalahan yang fatal apabila seorang yang mengaku sebagai muslim, menggunakan akalnya terlalu bebas, tanpa memerhatikan batasan-batasan yang ditentukan oleh syariat Islam. Sebagai contoh, ada tokoh Islam Liberal yang dengan akalnya menyatakan bahwa pernikahan wanita muslim dengan laki-laki kafir diperbolehkan. Menurut akal pikirannya, hal tersebut tidak menimbulkan madharat.

Pemikiran tokoh liberal tersebut merupakan hal yang sangat keliru, karena sesuatu yang menurut akal manusia tidak madharat, tetaplah tidak boleh dilakukan jika itu bertabrakan dengan ketentuan syariat Islam. Maka, jika Allah Ta’ala telah melarang wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, cukuplah itu sebagai batasan kita.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS. Al Mumtahanah : 10)

Hanya Ada Satu Jalan Menuju Surga

Sebagian orang liberal menyatakan bahwa ada banyak cara manusia dalam mencari Tuhan-nya. Oleh karena itu, menurutnya : tidak sepantasnya bagi manusia untuk menyatakan vonis sesat terhadap agama lain, atau sekte agama tertentu. Baginya, yang dibutuhkan di dunia ini adalah nilai-nilai kebenaran universal, yang dapat diterima semua pemeluk agama, bukan yang diklaim kelompok agama tertentu.

Pernyataan liberal di atas merupakan hal yang keliru, dan bahkan hal yang tidak masuk akal sama sekali. Coba kita pikirkan dengan akal kita, “Logiskah apabila Pencipta alam semesta ini menciptakan manusia, kemudian Dia membiarkan manusia menyembah Tuhan yang bermacam-macam sesuai interpretasi manusia yang bermacam-macam pula?” Bukankah itu tidak logis sama sekali? Bukankah yang logis adalah Tuhan hanya mau disembah dengan cara yang sesuai dengan keinginan-Nya, bukan dengan cara (baca : agama) lain?

Oleh karena itu, setelah Allah Ta’ala memerintah manusia untuk merenungi bahwa alam semesta ini tidak mungkin berdiri sendiri tanpa pencipta-Nya, Allah kemudian memerintah manusia untuk menyembah dan beribadah semata-mata hanya kepada-Nya, bukan sesembahan-sesembahan lain yang diklaim manusia. Dengan demikian, jika seseorang ingin mencari jalan menuju surga, maka ia harus mencari jalan yang diridhoi oleh Allah. Bukan jalan-jalan ajaran agama lain yang dibuat-buat akal pikiran manusia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bersaksi bahwa Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya, dan kalimat yang Dia berikan kepada Maryam, dan ruh dari-Nya, serta bersaksi bahwa surga dan neraka itu benar adanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga bagaimanapun amalannya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tak Sekadar Pengakuan, Harus Siap Melaksanakan Konsekuensinya

Hadits yang kami kutip di atas secara sepintas menunjukkan bahwa siapa saja yang bersyahadat, sudah pasti masuk surga. Memang benar bahwa hadits tersebut shahih. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa persaksian kita bahwa sesembahan kita adalah Allah, mengandung konsekuensi bahwa kita harus meninggalkan segala peribadatan terhadap sesembahan-sesembahan lain, selain Allah. Tidak boleh di satu sisi kita meyakini Tuhan kita adalah Allah, tetapi di sisi lain kita meyakini penguasa laut selatan adalah Nyi Roro Kidul, penguasa padi adalah Dewi Sri, atau masih menyediakan sesajen yang ditujukan kepada pohon keramat tertentu, dan menyakini jimat dapat menolak kesialan. Ketika kita bersaksi bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang Maha Kuasa, maka kita harus menolak segala bentuk peribadatan terhadap Tuhan-Tuhan palsu atau Tuhan-Tuhan buatan yang tidak punya kuasa sama sekali.

Demikian pula, ketika kita bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan rasul-Nya, kita harus menjalankan konsekuensinya, yaitu:

  1. Menaati apapun yang beliau perintahkan
  2. Membenarkan berita apapun yang beliau bawa, termasuk berita yang belum terjadi atau belum kita lihat di masa kita hidup, seperti datangnya Dajjal, kehidupan alam kubur, hari kiamat, surga, neraka, dan lainnya.
  3. Meninggalkan apapun yang beliau larang
  4. Melakukan peribadatan kepada Allah, dengan tata cara yang beliau contohkan, bukan membuat tata cara menurut akal kita sendiri

Semoga kita termasuk di antara umat manusia yang dapat menggunakannya akalnya dengan benar, yang justru semakin meningkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah Ta’ala. Dan semoga kita termasuk di antara hama-Nya yang dapat menyembah dan beribadah kepada-Nya dengan cara yang benar, sesuai yang diajarkan oleh nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allahumma aamiin.

Penulis                 : Ustadz Ginanjar Indrajati Bintoro (Ketua Umum tim Peduli Muslim)

6 comments

  1. overall arikelnya sangat bagus.
    tetapi seharusnya tidak menyebut schizofernia sebagai gila, karena beberapa kasus schizofernia masih memiliki kesadaran, dan penyamaan istilah tersebut agak terlalu fulgar, seharusnya bisa disebut “hilang akal”

  2. Terima-kasih sekali atas paparannya, semoga dgn ini Allah Swt menjadikan kita yg membaca & menyimaknya: mendapat hikmah-Nya {rahmat-Nya} untuk selamanya, sampai kita dibangkitkan kembali kelak. insya Allah

  3. Pingback: | SimpangTujuh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *