Larangan Loyal dengan Orang Kafir

At Tauhid edisi VII/49

Oleh: Yhouga Ariesta

Jangan loyal pada orang kafir, demikianlah keyakinan yang mesti dimiliki setiap muslim. Namun apa yang dimaksud loyal dan dalil larangannya, insya Allah akan dikaji dalam artikel berikut ini. Semoga Allah memberi hidayah untuk memahaminya.

Larangan Bersikap Loyal Terhadap Orang Kafir

Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang untuk melakukan sikap muwalah (cinta, loyalitas) terhadap kaum Yahudi dan Nasrani, dan kaum musyrikin di banyak tempat dalam Al Qur’an. Demikian pula bahwa sikap tersebut dapat membatalkan keimanan kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir, dan bahwa sikap tersebut merupakan sebab fitnah dan kerusakan di muka bumi.

Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi aulia’ (teman-teman setia) yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al Mumtahanah : 1)

Kemudian Allah memotivasi hamba-Nya yang beriman untuk mengikuti jalan kekasih-Nya Ibrahim alaihissalam, meneladani beliau dalam sikap memusuhi musuh-musuh Allah Ta’ala dan berlepas diri dari apa yang mereka sembah dari selain Allah, dan menampakkan sikap kebencian dan permusuhan selama mereka masih ingkar kepada Allah.

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami bara’ (berlepas diri) dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata” (Al Mumtahanah : 4)

Dan barangsiapa yang tidak meneladani Ibrahim ‘alaihissalam dalam sikap permusuhan tersebut, maka ia memperbodoh dirinya sendiri karena meninggalkan millah Ibrahim. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al Baqarah : 130)

Terlarangnya Sikap Wala’ terhadap Orang Kafir Meskipun dalam Bentuk Minimal

Allah Tabaraka wa ta’ala berfirman,

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya’ , pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain” [QS. Al-Maaidah: 51]

Kemudian Allah Tabaraka wa ta’ala memperingatkan dengan keras akan sikap loyal dan mengancam dengan tegas dalam firman-Nya,

“Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah: 51]

Sebagian ahli tafsir berkata, “Dalam ayat ini terkandung peringatan keras untuk menampakkan sikap loyal walaupun bukan dalam bentuk hakiki”. Oleh karena itu ayat ini menjelaskan kadar minimal seseorang dikatakan telah berwala’ kepada orang kafir (yaitu dengan mengangkat pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani), meskipun ia tidak bermaksud untuk itu. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin beliau berkata, “Abdullah bin Utbah berkata : Hendaklah salah seorang di antara kalian takut, ia menjadi Yahudi atau Nasrani tanpa ia sadari. Beliau berkata : Maka aku mengira hal ini merupakan maksud ayat tersebut (yaitu QS Al Maidah : 51 diatas -pen)”

Akan tetapi maksud menjadi Yahudi atau Nasrani di sini bukanlah menjadi kafir dan keluar dari agama Islam, melainkan dalam sifat-sifatnya. Karenanya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsir beliau,

“Sikap wala’ yang sempurna melazimkan keluarnya seseorang dari agama Islam, sedangkan sikap wala’ yang sedikit (seperti dalam ayat di atas -pent) akan mendorong pelakunya kepada sikap wala’ yang banyak, kemudian sedikit demi sedikit lagi bertahap, hingga jadilah ia bagian dari mereka (yaitu setelah ia melakukan sikap wala’ yang sempurna dan menjadi kafir -pent)”

Oleh karena itu bersikap wala’ terhadap orang kafir adalah terlarang, meskipun hanya sedikit dan tidak bermaksud untuk hal tersebut. Apalah lagi sikap wala’ yang memang disengaja dan merupakan bentuk keridhaan terhadap agama mereka?!

Menjelang perayaan natal bagi nashrani, kita akan saksikan sebagian muslim turut serta dalam acara tersebut di antaranya adalah dengan mengucapkan selamat natal. Padahal ini adalah sikap yang keliru karena bertentangan dengan aqidah yang mesti seorang muslim yakini.

Ibnul Qayyim dalam “Ahkam Ahludz Dzimmah” berkata :

“Adapun tahni’ah (mengucapkan selamat) atas syi’ar-syi’ar kaum kuffar yang khusus bagi mereka, maka hal ini haram dengan kesepakatan para ulama. Misalnya memberi ucapan selamat atas hari-hari raya mereka dan puasa mereka, dengan ucapan seperti “Eid Mubarak (Selamat hari raya!)”, atau selamat hari ini dan itu, maka hal ini seandainya pun orang yang mengucapkannya selamat dari kekafiran, ia tetap melakukan suatu hal yang diharamkan. Yaitu, telah memberi ucapan selamat atas penyembahan mereka kepada salib, yang mana hal tersebut bahkan perbuatan yang paling tercela di sisi Allah, lebih-lebih lagi memberi ucapan selamat atas perbuatan mereka dalam meminum khamr dan membunuh jiwa-jiwa tanpa hak, berbuat zina dan berbagai perbuatan haram lainnya. Kebanyakan orang yang awam dalam masalah agama terjatuh dalam perbuatan tersebut, dan tidak mengetahui keburukan perbuatan tersebut. Maka barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba atas maksiatnya, atau bid’ah dan kekufuran yang telah ia lakukan, maka ia menghadapi kemurkaan Allah”

Maka meridhai kekufuran, dengan cara memberikan selamat atau bahkan membantu mereka dalam perayaan tersebut, merupakan perbuatan yang diharamkan. Hal ini dikarenakan Allah Ta’ala sendiri tidak meridhai hal tersebut, dalam firman-Nya :

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)

“Pada hari ini telah Aku sumpurnakan agamamu dan Kulengkapi nikmatku, dan Aku ridha kepadamu Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3)

Terlebih dengan ikut merayakan hari raya tersebut, maka hal ini tentu lebih dilarang lagi. Sebagaimana sebagian kaum muslimin yang merayakan hari kasih sayang, padahal hal ini dilarang dan tidak disyariatkan sama sekali dalam agama ini. Allah Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85)

(lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad ibn Shalih Al Utsaimin, ringkasan Fahd As Salman 3/45-46)

Fatwa Lajnah Daimah lil Buhutsi wal Ifta’ (Dewan Riset dan Fatwa) Saudi Arabia tentang Ucapan Selamat Natal

Pertanyaan: Apakah hukumnya mengucapkan selamat kepada orang kristen pada hari besar mereka, karena saya mempunyai paman yang mempunyai tetangga yang beragama kristen yang dia (paman) mengucapkan selamat kepadanya dalam kebahagiaan di hari besar. Dan dia (tetangga) juga mengucapkan selamat kepada paman saya dalam kebahagiaan atau hari besar dan setiap ada kesempatan. Apakah hal ini boleh, muslim mengucapkan selamat kepada orang kristen dan orang kristen mengucapkan selamat kepada muslim pada hari besar dan kebahagiaan? Berilah fatwa kepada saya semoga Allah Subhanahu wa ta’ala membalas kebaikan untukmu.

Jawaban: Tidak boleh bagi seorang muslim mengucapkan selamat kepada orang kristen dengan hari‐hari besar mereka, karena hal itu termasuk tolong menolong terhadap perbuatan dosa dan kita dilarang dalam hal itu. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala (yang artinya):

“Dan tolong‐menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong‐menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa‐Nya.” (QS. al‐Maidah: 2)

Sebagaimana dalam hal itu ada sifat cinta kepada mereka, mengharapkan cinta mereka, dan menyatakan ridha (senang) terhadap mereka dan terhadap syi’ar agama mereka, dan ini hukumnya tidak boleh. Bahkan yang wajib adalah menampakkan permusuhan dan menyatakan kebencian kepada mereka, karena mereka menentang Allah Subhanahu wa ta’ala dan menyekutukan Dia dengan yang lain, serta menjadikan bagi‐Nya istri dan anak. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala (yang artinya) :

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang‐orang yang menentang Allah dan Rasul‐Nya, sekalipun orang‐orang itu bapak‐bapak, atau anak‐anak atau saudara‐saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang‐orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka

dengan pertolongan yang datang daripada‐Nya. Dan dimasukkan‐Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai‐sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah Subhanahuwata’alla ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)‐Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. al‐Mujadilah:22)

Dan firman Allah Subhanahu wa ta’ala (yang artinya) :

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang‐orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama‐lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (QS. Al‐Mumtahanah: 4)

Wa billahit taufiq, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. (Fatawa Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu Dan Fatwa 3/213. -diterjemahkan oleh Muhammad Iqbal A. Gazali editor: Eko Haryanto Abu Ziyad, Islamhouse.com-)

[Penulis: Yhouga Ariesta]

2 comments

  1. buat saudaraku muslim, apakah memberikan selamat kepada orang itu perbuatan jahat? pakah kita menjadi berdosa karena itu? hati kecil adalah tempat malaikat terang berjaga dan dia tidak pernah berbohong, tanyakan pada hati kecil mu adakah perbuatan itu salah? kamu terikat oleh aturan yang bertentangan dengan hati kecilmu sendiri kan? sadarlah saudaraku….tidak perlu manusia mengaturmu….saya yakin seyakin-yakinnya…. bahwa mengucapkan salam itu adalah perbuatan baik, dan perbuatan baik disenangi oleh Tuhan, hanya iblis yang tidak senang dengan perbuatan baik…

  2. #atarakareba
    Selamat apa dulu? bagaimana dengan selamat berzina, selamat mencuri, selamat minum bir? itu perbuatan baik?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *